Mohon tunggu...
Mufi Dini
Mufi Dini Mohon Tunggu... Jurnalis - Rasa Aksara

Rasa aksara untuk wawasan kita semua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kue Perantara

20 November 2020   05:55 Diperbarui: 21 November 2020   08:11 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa anak yang lain juga  berbaris mengular di belakang Dimas. Mengantre untuk membeli kue warna-warni milik Romi yang menggiurkan. Romi semakin semangat melayani teman-temannya. Tak beberapa lama...

"HEI HEI HEI... WAKTU NGAJI MALAH NGGEROMBOL..., " ucap Pak Alwan memecah suasana riuh yang mengerubungi tubuh kecil Romi. Mata Romi seketika membelalak. Tangannya bergerak cepat merapikan dagangan. Tak sengaja tangannya malah menyenggol kotak yang berisi uang recehnya. Semua berhamburan dan berceceran. Tak ada kawannya satu pun yang membantu.

Gelegar suara Pak Alwan sukses membuat semuanya diam. Tak berani berkutik. Reflek ia memunguti banyak uang yang tercecer karena dirinya sendiri. Romi terlalu fokus pada banyak uang receh yang bertaburan di atas karpet hijau. Hingga bayangan seseorang menutupi tubuh kecilnya. Reflek Romi menghentikan aktivitasnya dan perlahan menoleh ke atas. Manik cokelatnya mendapati seorang pria paruh baya menatapnya bersungut.

"Sudah tak kandani kalau mengaji itu ya fokus. Sebelum saya kesini itu kamu udah siap sama buku yang akan kamu pelajari. Cah cilik kok buat maksiat aja, "ucap Pak Alwan dengan mata memicing menatap Romi. Yang ditatap malah menunduk sambil memainkan uang recehnya.

"Tapi Pak Alwan wong saya itu lagi,,, " ucap Romi terinterupsi oleh Pak Alwan yang sudah siap menjawabnya. " Kamu cah cilik sudah berani menjawab orang yang lebih tua. Dibilangin orang tua itu manut. Kamu berhak datang ke rumah saya. Saya juga berhak untuk mengatur tamu saya. Untuk mengatur murid saya. Orang tua kalian juga sudah memasrahkan kalian pada  saya.

Jadi, bagaimanapun cara saya mendidik kalian, harus kalian terima dan setidaknya diperhatikan kemudian dilaksanakan, " ucap beliau masih menatap Romi serius. " Aslinya itu saya mesakke sama kamu. Tapi kok cilik-cilik buat maksiaaat terus. Siapa yang tidak jengkel. Unyil-unyil nggregetake, " ucap Pak Alwan meninggalkan Romi dan berjalan menuju meja besar yang biasa beliau tempati untuk mengajar mengaji.

Bukan Romi kalau hanya diam setelah menerima luapan kemarahan Pak Alwan. Romi langsung menenteng kotak bambunya yang masih berisi setengah makanan yang ia jajakan dan buku sampul cokelat miliknya. Kedua matanya yang kini mulai memerah melirik pada Pak Alwan yang ternyata juga sedang menatap dirinya. Dahi Pak Alwan reflek mengernyit. Romi langsung beranjak begitu saja dari tempat mereka mengaji. 

Dengan kaki dihentak-hentakkan ia keluar dari tempat mengaji yang berada di teras rumah Pak Alwan. Maklumlah, terasnya begitu luas. Romi memakai sandal barunya dengan asal dan berlari menuju rumahnya. Beberapa temannya hanya menatap punggung Romi dengan wajah tak dapat diartikan. Beberapa mengernyit takut-takut. Beberapa malah memelas sambil menatap jajanan Romi yang telah mereka beli.

Dalam perjalanan, linangan air mata tak berhenti mengalir dari mata indah Romi. Meski tak bersuara, namun tangisnya sukses membuat orang merasa iba. Beberapa orang mencoba mendekati Romi dan menanyakan alasan kesedihannya. Namun, mulutnya lebih memilih bungkam daripada melayani orang-orang yang terkesan hanya ingin tahu tentang hidupnya.

"Brakkk..., ". Romi langsung mendorong pintu rumahnya yang ringkih. Seorang wanita yang masih terlihat ayu di usia 35 tahunnya, reflek berlari mencari asal suaranya.

Begitu ia sampai di depan pintu rumah, ia hanya mendapati kotak bambu yang tadi ditenteng anak laki-lakinya. Wanita itupun bergegas menuju kamar sang anak. Matanya sedikit membelalak mendapati anak laki-laki itu tengkurap dan tersedu sambil memeluk guling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun