Mohon tunggu...
Tari Abdullah
Tari Abdullah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nama lengkap Mudjilestari tapi lebih sering disapa dengan Tari Abdullah profesi sebagai penulis, conten creator, dan motivator. Ibu dari 4 anak berstatus sebagai single parent. Berdarah campuran sunda - jawa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal dalam Bingkai Rindu

7 Mei 2021   15:28 Diperbarui: 7 Mei 2021   16:36 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikustrasi/sesal/photo:pixa

  Mobil berhenti tepat di pekarangan sebuah rumah dengan bangunan kokoh berornamen kayu jati dengan ukiran  Jepara yang khas. Tiar bernafas lega, mata bulatnya memandang sekeliling, rindu yang bertahun-tahun terpasung meronta untuk dibebaskan.Seorang laki-laki dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih keluar, senyumnya mengembang saat sepasang mata tuanya menatap sosok perempuan yang baru turun dari mobil yang ditumpanginya.

"Apa kabar, Paklek?" sapa perempuan bertubuh mungil sambil mencium punggung tangan laki-laki yang dipanggilnya Paklek.

"Alhamdulillah, Nduk. Kamu kemana aja kok lama ndak ada kabarnya? Ini tadi langsung dari Surabaya?" Laki-laki tua itu menepuk-nepuk punggung keponakannya. Tiar tertawa lebar.

"Bulekmu ada di belakang," ujar laki-laki itu lagi, seakan bisa membaca pikiran Tiar, "ayo, langsung aja ke belakang, Nduk!"

"Eee,  kok njanur gunung, toh. Mimpi apa kamu nyampe sini?" Seorang perempuan bertubuh kurus tergopoh-gopoh keluar, matanya berbinar, sepasang tangannya mengembang menyambut keponakannya yang menghambur ke arahnya.

"Apa kabar, Bulek?" tanya Tiar sambil mencium pipi perempuan yang dipanggilnya Bulek.

"Alhamdulillah, Nduk. Yo wes ngene iki paklek sama bulekmu, sudah tua," ujar perempuan berusia enam puluhan.  "naik apa tadi dari Surabaya? Lha, apa bisa jalan to mobilnya, ndak kena cegatan?"

"Bareng sama teman yang kebetulan tugas ke Magelang, Bulek."

"Enak kalo gitu, ndak kena cegatan."

"Oya, Mbak Dini apa kabarnya, Bulek?"

"Mbakyumu kabare yo apik, cuma tahun ini ndak jadi pulang lagi wong katanya ndak boleh mudik.  Padahal bulekmu ini udah kangen dua kali lebaran mbakyumu itu ndak pulang."

Tiar tertawa, dalam hati ia juga rindu pada sepupunya itu,  hampir tujuh tahun tidak bertemu, sejak Tiar memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya di Jakarta dan memilih menetap di Surabaya.

"Ya, udah. Kamu mandi-mandi dulu sana, trus istirahat," perintah buleknya sambil tertawa, senyumnya terus mengembang tanda hatinya riang. "kebetulan tadi Pardi nguras kolam lele, sebentar tak bikinin mangut lele kesukaanmu."

"Iya, Bulek. Aku mandi dulu, ya," pamit Tiar, melangkah menuju kamar yang biasa ia tempati bila mengunjungi adik mamanya.

Perempuan cantik itu mengempaskan badannya di tempat tidur, matanya menyapu sekeliling. Tak ada yang berubah, masih tetap seperti dulu saat ditinggalkan sepuluh tahun lalu. Tiar mengembuskan nafas panjang, diraihnya photo yang bingkainya sedikit retak akibat tak sengaja terjatuh kala itu.

Wajah dalam bingkai itu seakan tengah tersenyum padanya, kala jemari lentiknya mengusap lembut gambar perempuan yang punya arti istimewa dalam hidupnya, didekapnya photo itu, matanya terpejam, desiran halus mengusik dadanya.

"Tiar kangen, Ma," bisiknya, buliran bening meloncat tanpa permisi dari sudut matanya, menghadikan sesal yang membingkai rindu.

**

Suara takbir mulai terdengar dari sudut-sudut kampung. Gemanya seakan menggetarkan bumi,  melangitkan ribuan syukur atas pengagungan Sang Pencipta yang Maha Besar.

Ada perih yang menyelinap bersama rindu yang tak bermuara, melahirkan rasa bersalah atas sikapnya yang telah keliru. Seandainya waktu bisa diputar ulang, ingin ia kembali ke masa itu, mengulang kembali lembar demi lembar yang terjalani dengan lebih hati-hati agar sesal tak perlu terjadi.

Siang itu sepuluh tahun yang lalu, ketika sedang memimpin rapat dengan para sub-kontraktor, ponsel Tiar tiba-tiba menjerit memekak telinga. Deadline di ambang mata, negosiasi masih alot, membuat perempuan cerdas yang menduduki jabatan sebagai Manager Area itu mengabaikan panggilan yang masuk ke ponselnya, dengan sekali sentuh, benda pipih itu pun mati.

Setelah hampir seharian melakukan negosiasi yang alot,  akhirnya berhasil mengantar pada project sesuai waktu yang ditentukan. Tiar tersenyum lega. Jabat tangan dan ucapan selamat terucap langsung dari jajaran manajer yang makin takjub dengan prestasinya.

"Tadi ada telepon dari rumah, Bu," ucap sekretarisnya saat Tiar memasuki ruang kerjanya kembali. Perempuan itu mengerutkan alis, tak biasanya orang rumah menghubungi melalui telepon kantor. Seketika ingat ia telah mematikan ponselnya saat sedang rapat tadi. Hatinya mulai risau, jika bukan  hal penting, siapapun tak akan menelepon ke kantor.

"Mama," gumam Tiar lirih, mendadak perasaan tidak enak menyergap,  pikirannya mulai tidak tenang. Perempuan itu segera menghubungi ponsel mamanya, tapi beberapa kali mencoba, ponselnya tidak aktif. Tiar mulai cemas.

Tiba-tiba telepon di mejanya berdering, perempuan itu segera mengangkat.

"Mbak Tiar," Suara seseorang di seberang sana, seperti menahan tangis.

"Iya, Ris. Ada apa?" Rasa cemas mulai menyelimuti perasaan perempuan muda itu.

"Ibu, Mbak ... ibu...."

"Mama kenapa, Ris?" potong Tiar cepat, dadanya berdebar, firasatnya mengatakan sesuatu terjadi pada mamanya.

"Ris ...." Sepi tak ada suara dari seberang sana, hanya sesekali isak tangis terdengar lirih.

"Riska!" pekik Tiar ketika sambungan terputus. Dengan cepat ia membereskan meja kerjanya, lalu menyambar tas dan berlari keluar ruangan.

"Yesi,  tolong atur untuk pengajuan cuti saya selama tiga hari kedepan," pesannya pada sekretarisnya. Perempuan itu hanya mengangguk tak berani bertanya apapun.

Tiar segera memesan taksi menuju bandara, beruntung bisa mendapatkan tiket pesawat yang membawanya pulang ke Surabaya. Sepanjang penerbangan perempuan bertubuh mungil itu terus berdoa, berharap semoga tidak terjadi apa-apa pada mamanya.

Ingatannya seperti diputar ulang,  mamanya menatap lama saat ia pamit hendak ke kembali Jakarta. Perempuan yang merawatnya sejak bayi itu memeluknya erat seakan tak ingin melepas anak perempuannya pergi, tapi Tiar harus mengejar pesawat pertama yang akan membawanya kembali pada rutinitasnya untuk minggu ke depan.

Diciumnya pipi mamanya kiri dan kanan, sekilas ia melihat pipi itu makin tirus, hatinya berdesir, betapa ia tak pernah memperhatikan sedetil itu, mata tua mamanya yang mulai mengabur seakan menyimpan rindu dan ingin berlama-lama bersamanya. Tiar mengelus punggung tangan perempuan yang selalu menjadi tempatnya bercerita. Namun, akhir-akhir ini kesibukannya semakin meningkat hingga ia sering harus tinggal di Jakarta lebih lama, tiba-tiba perempuan itu merasa kangen bermanja di pangkuan mamanya, sekedar melepas penat sambil merasakan belaian tangan mamanya yang selalu membuatnya ingin bermanja meski usianya tak lagi remaja.

"Mama sabar, ya. Minggu ini banyak yang harus diselesaikan sebelum libur lebaran.  Insya Allah nanti lebaran aku cuti, kita sama-sama ke Magelang," ujar Tiar lembut. Mamanya cuma mengangguk, tangannya yang keriput mengelus kepala Tiar yang tertutup jilbab segiempat bermotif bunga-bunga kecil.

"Janji, ya," pinta mamanya lirih, menatap penuh harap. "Mama rindu Paklek sama Bulekmu."

"Iya, Ma. Sekarang aku pergi dulu, ya." Tiar mencium punggung tangan mama, perempuan itu memeluk putri kesayangannya sekali lagi, kali ini lebih erat seakan tak ingin melepaskan, sudut matanya basah.

Namun, janji tak selamanya bisa ditepati, lebaran Tiar lagi-lagi tak bisa pulang, ada rapat mendadak dengan para Manager Area se Asia Tenggara,  di Cipanas. Bahkan perempuan itu hanya sempat bersabar melakukan pesan singkat,  karena seluruh penjuru pikirnya terfokus pada evaluasi kinerja cabang yang dibawahinya. Sebulan setelah lebaran pun berlalu, hingga telepon dari Riska asisten rumah tangga yang bertugas merawat mamanya siang itu menyentakkan ingatan pada janjinya pada perempuan yang amat disayang.

Taksi Bandara yang ditumpanginya berhenti tepat di depan rumah, Tiar tersekat, pandangannya nanar, hatinya berdegup kencang, rumahnya ramai. Tetangga berkumpul di halaman yang sudah terpasang tenda dan beberapa orang nampak sedang menyiapkan keranda.

"Mama," pekik Tiar berusaha menerobos kerumunan orang yang memadat di ruang tengah. Kakinya mendadak lemas, perempuan itu jatuh terduduk ketika matanya menatap tubuh yang terbujur kaku terbungkus kafan. Air matanya tumpah tak terbendung, tangisnya pecah menyayat, bahunya terguncang.

"Mbak Tiar, yang ikhlas, Mbak." Seorang perempuan mengelus bahunya lembut.

"Mamamu orang baik, insya Allah husnul khotimah," ujar Bu Sri, sahabat mamanya sambil memeluk Tiar yang makin terguncang dalam sesal. Seandainya ia tak egois, mementingkan pekerjaannya, seandainya ia lebih mendengar kata hatinya, dan memilih pulang untuk memenuhi janji pada mamanya, mungkin ia masih sempat merayakan lebaran bersama  mamanya untuk  terakhir kalinya.  

Masih terngiang keinginan mamanya untuk lebaran di Magelang, kota kelahirannya, dan ia telah berjanji ... janji yang tak sempat ditepati. Namun, sesalnya tak berarti, mamanya telah pergi bersama rindu yang tak terobati.  Selanjutnya Tiar hanya bisa menyesali apa yang terjadi. Air matanya semakin deras mewakili sesal yang membungkus rindunya.

"Kamu kangen mamamu?" Tiba-tiba Bulek sudah berada di sampingnya. Tiar mengangguk, menatap mata teduh adik perempuan mamanya, kemiripan wajah yang terbingkai kecantikan di usia senja itu membuat Tiar semakin merasakan rindu dan penyesalan yang berebut menguasai pikiran.

"Mamamu orang baik, insya Allah dia sudah tenang di sana," ujar Buleknya, mengambil pigura dari tangan Tiar, meletakkan kembali di meja, "jangan lupa doakan setiap habis salat, buat papamu juga, ya."

Tiar mengangguk sekali lagi, dipeluknya perempuan paruh baya itu erat, "Aku egois, Bulek. Aku cuma mentingin karirku, kerjaanku, aku sama sekali nggak mikirin perasaan Mama, bahkan aku lupa janjiku pada Mama."

"Kamu ndak salah, Nduk. Ndak ada yang pantas disalahkan, semuanya qodarullah," ucap buleknya menenangkan, meraih kepala keponakannya dalam pelukan, membiarkannya menangis menumpahkan risau hatinya.

"Mama sangat menyayangimu. Tak pernah sedikitpun Mama mengeluhkan kesibukanmu, bahkan mama amat bangga padamu. Dimata mamamu, kamu adalah perempuan tersayang yang hebat."

Tiar mengangkat kepalanya dari pelukan Bulek, perlahan berdiri menuju lemari, tangannya mengambil sesuatu, dibukanya bungkusan berwarna merah muda. Masih rapi tak tersentuh seperti sepuluh tahun lalu saat Bulek memberikan bungkusan itu.

"Bukalah, Nduk," ujar buleknya lembut, "dulu mamamu ingin kamu ndak hanya sibuk dengan karirmu, tapi dia ingin anak perempuan kesayangannya bisa berangkat Umroh satu saat nanti."

Perlahan tangan mungil Tiar mulai merobek kertas pembungkus, nampak sebuah mukena dengan warna putih bersulam mutiara yang indah, Tiar memeluk benda itu erat, bibirnya tak henti menyebut asma Allah, air matanya kembali mengalir, seakan merasakan pelukan cinta mama dalam pakaian salat itu.

"Pakailah untuk salat Ied besok,  supaya bisa mengobati kangenmu pada mamamu,  Nduk! " ucap bulek sambil mengusap kepala Tiar yang tergugu dalam pelukannya.

Sebuah kertas terjatuh, dengan gemetar Tiar mengambil dan membacanya.

[Kelak satu hari nanti, ketika raga kami tak bisa lagi mendampingimu, tetaplah berada dalam barisan ketaatan. Hingga akhlak dan hatimu beraroma wangi. Namun jangan jadikan wangimu sebagai  perusak agamamu, melainkan  sebagai penjagamu, bagian dari ketaatan pada Rabb-mu
Dari kami untuk perempuan tersayang.]

**
Sidoarjo,  07 Mei 2021
Tari Abdullah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun