"Tadi ada telepon dari rumah, Bu," ucap sekretarisnya saat Tiar memasuki ruang kerjanya kembali. Perempuan itu mengerutkan alis, tak biasanya orang rumah menghubungi melalui telepon kantor. Seketika ingat ia telah mematikan ponselnya saat sedang rapat tadi. Hatinya mulai risau, jika bukan  hal penting, siapapun tak akan menelepon ke kantor.
"Mama," gumam Tiar lirih, mendadak perasaan tidak enak menyergap, Â pikirannya mulai tidak tenang. Perempuan itu segera menghubungi ponsel mamanya, tapi beberapa kali mencoba, ponselnya tidak aktif. Tiar mulai cemas.
Tiba-tiba telepon di mejanya berdering, perempuan itu segera mengangkat.
"Mbak Tiar," Suara seseorang di seberang sana, seperti menahan tangis.
"Iya, Ris. Ada apa?" Rasa cemas mulai menyelimuti perasaan perempuan muda itu.
"Ibu, Mbak ... ibu...."
"Mama kenapa, Ris?" potong Tiar cepat, dadanya berdebar, firasatnya mengatakan sesuatu terjadi pada mamanya.
"Ris ...." Sepi tak ada suara dari seberang sana, hanya sesekali isak tangis terdengar lirih.
"Riska!" pekik Tiar ketika sambungan terputus. Dengan cepat ia membereskan meja kerjanya, lalu menyambar tas dan berlari keluar ruangan.
"Yesi, Â tolong atur untuk pengajuan cuti saya selama tiga hari kedepan," pesannya pada sekretarisnya. Perempuan itu hanya mengangguk tak berani bertanya apapun.
Tiar segera memesan taksi menuju bandara, beruntung bisa mendapatkan tiket pesawat yang membawanya pulang ke Surabaya. Sepanjang penerbangan perempuan bertubuh mungil itu terus berdoa, berharap semoga tidak terjadi apa-apa pada mamanya.