Hari berlalu seakan berpacu dengan waktu, bulan terus berganti, namun belum ada perubahan pada diri Lintang, senyumnya masih jarang, bahkan aktifitas pun dilalui dalam diam.Sitha dan Gischa prihatin dengan perubahan Lintang, khawatir kesedihan akan berpengaruh pada kesehatan Lintang. Meski ia selalu berkata baik-baik saja, tapi kedua sahabatnya tahu benar bahwa Lintang sedang tak baik-baik saja.
Sore itu Lintang duduk di teras menikmati hujan yang turun dengan damai menjelang senja. Sesekali Lintang memejamkan mata, menghirup dalam-dalam aroma petrikor hingga memenuhi rongga dadanya. Lintang membayangkan ia berlari masuk dalam derai hujan agar bisa menangis tanpa seorang pun tahu air mata kesedihan  dan kehilangan yang tersembunyi di antara buliran air hujan.
"Hai... " Sitha menyentuh lembut bahunya. Lintang menoleh terkejut, Â ada Gischa yang juga menghampiri dan mengambil tempat duduk di sebelahnya.
Lintang memandang kedua sahabatnya, bertanya-tanya dalam hati, intuisinya mengatakan ada sesuatu  jika keduanya datang bersamaan.
"Lintang, kita tahu benar hatimu masih terluka, tapi sampai kapan kamu mau seperti ini terus? Kamu juga sudah terlalu lama menjanda, dan beberapa kali sempat ingin menikah walau gagal, kenapa nggak mencoba lagi untuk move on?" Sitha membuka pembicaraan.
"Move on dan membuka hati kembali, dibarengi dengan move up, berikhtiar dan lebih mendekatkan diri pada Allah, agar hatimu lapang dan ikhlas pada takdir-Nya." Gischa menimpali
"Menjanda berlama-lama juga nggak baik,"
Lintang menghela nafas panjang, pandangannnya menerawang.
"Entahlah aku belum bisa."
"Belum bisa karena kamu tidak berusaha membuka hati untuk orang lain," tandas Sitha.
"Begini saja, Mumpung ada laki-laki yang bersungguh-sungguh ingin menikah sama kamu, gimana kalau kamu pertimbangkan?" tanya Sitha