Di Kawasan Cemoro Sewu kami berhenti sejenak untuk sekadar mengisi perut dan tentu saja ngopi. Hujan turun rintik-rintik tidak  menyurutkan niat kami. Meski awalnya aku tidak berencana mendaki, tapi melihat pemandangan yang memukau, aku justru paling bersemangat. Jalur yang kami lewati adalah jalur via Cemoro Sewu yang paling populer di Gunung Lawu dan merupakan jalur yang paling cepat dibandingkan jalur lainnya. Oleh karena itu jalur ini cukup ramai.
Dari lereng yang kami lewati tampak jelas pemandangan Bukit Mongkrang dan Gunung Lawu Selatan.
"Gunung Lawu ini terkenal dengan hal-hal mistis." Wahyu yang selalu menjajari langkahku membuka pembicaraan. Â
"Bukankah di setiap gunung di Indonesia ada penunggunya," sanggahku, "Meski benar atau tidak, tapi sering terjadinya kejadian-kejadian di luar nalar yang terjadi di gunung membuat masyarakat makin percaya dengan hal-hal mistis di gunung."
"Tapi Gunung Lawu termasuk gunung yang dipercaya oleh masyarakat memiliki misteri yang belum terpecahkan.Beberapa misteri yang sering terjadi di sini, antara lain memiliki nyawa, pasar setan, burung jelmaan Kyai Jalak, larangan memakai baju hijau, hingga larangan pendakian dengan jumlah ganjil."
"Jadi itu alasannya kalian mengajak aku?" pancingku sambil tersenyum.
"Yah ..., kira-kira begitu," ujar Wahyu sambil tersenyum. Diam-diam aku memandang laki-laki dengan tinggi sekitar seratus tujuhpuluh senti tersebut, lumayan tampan dengan hidung bangir yang bertengger di atas bibir tipis. Kulitnya yang putih membuat wajahnya terlihat sedikit pucat ketika udara dingin mulai menusuk tulang.
Perjalanan dari Cemorosewu sampai ke puncak sekitar 7 kilometer, tapi karena hujan, kami harus ekstra hati-hati  menyusuri jalan setapak yang sudah di beri batuan gunung.
"Apakah tidak sebaiknya kita kembali ke basecamp," saranku saat hujan mulai lumayan deras.
"Kita terus saja," ujar Alex memotong
"Alex benar, jika kembali ke base camp kita akan terjebak hujan di hutan, terlalu bahaya," timpal Wahyu.