Suntuk
dengan pekerjaan di kantor dan banyaknya masalah membuatku nekad melakukan perjalanan sendiri. Berangkat dari terminal Purabaya, aku menyebutkan tujuan ke kota Magetan pada kondektur. Perjalanan malam hari memakan waktu sekitar 5 jam dengan bis ekonomi menuju kota yang mendapat julukan The sunset of East Java tersebut. Kota yang letaknya di ujung barat Jawa timur itu terkenal dengan wisata gunung yang indah, berhawa sejuk, dengan panorama alam yang memukau.Pukul 03.00 dini hari bis yang kutumpangi tiba di terminal Magetan. Masih terlalu dini untuk melanjutkan perjalanan karena jadwal tiba lebih cepat dari yang kuperhitungkan.Aku masuk ke dalam ruang tunggu terminal yang hanya berupa ruangan sempit memanjang. Meletakkan ransel dan menyandarkan punggung yang terasa pegal karena tempat duduk di bis yang kurang nyaman.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya seseorang membuyarkan rasa kantukku. Aku membuka mata dengan malas, dan menegakkan punggung kembali. Seorang laki-laki berusia sekitar tigapuluhan tahun berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Aku menatap sekilas, tak ada yang mencurigakan, wajahnya sedikit pucat dengan sorot mata tajam. Dari penampilannya aku menebak sepertinya dia seorang pendaki gunung atau pelancong.
"Saya mau ke Sarangan, Mas," jawabku Â
"Kebetulan kita searah, Mbak bisa bareng saya kalo mau," ujarnya menawarkan. Aku menautkan alis ragu.
"Mas mau ke Sarangan juga?"
"Kami mau ke Gunung Lawu, kita searah."
Aku bergeming ragu, menimbang. Sebenarnya kalau mau ikut dengan laki-laki itu lumayan, aku tak perlu menunggu sampai pagi di terminal ini. Namun, rasanya kok risih jika harus ikut bersama laki-laki yang baru kutemui. Meski sebenarnya di kalangan para pendaki hal seperti itu wajar. Jalinan persaudaraan sesama pendaki sangat kuat, dan saling menjaga satu sama lain.
"Kami bertiga, kok, dan ada ceweknya juga," ujar laki-laki itu lagi, seperti bisa membaca keraguanku.
"Ohhh ...." Aku mengangguk canggung
"Daripada Mbak harus menunggu sendirian, monggo kalo mau bareng," lanjut laki-laki dengan Hoody hitam itu lagi. Akhirnya aku mengiyakan ajakan laki-laki yang belum mengenalkan diri tersebut, mengikuti langkah panjangnya menuju sebuah jeep Willys, sebuah mobil kuno yang terkenal tangguh dan pernah menjadi andalan tentara militer Angkatan Darat Amerika Serikat pada perang dunia kedua.
"Kenalin ini teman-teman satu rombonganku," ujar laki-laki itu sambil menunjuk teman-temannya yang berdiri di sekitar mobil.
"Tiara," ucapku sambil mengulurkan tangan pada satu-satunya perempuan dengan potongan rambut ala tahun 70-an. Aku hanya membatin heran melihat gaya dan cara berpakaian perempuan itu sangat jadul. Namun, senyum yang merekah dan sikapnya yang ramah menggusur keraguanku.
"Menik," jawab perempuan itu menyambut uluran tanganku. Â
"Dan ini Alex," lanjutnya sambil menunjuk laki-laki yang tadi bersamaku, "Sedangkan yang pegang kemudi itu Wahyu."
"Mbak mau ke Sarangan?" tanya Menik.
"Iya, sekalian ke Grojogan Sewu," jawabku.
"Dari Tawangmangu ke Gunung Lawu udah dekat, lho, Mbak," ujar Alex.
"Benar, sekalian aja ikut kita ke Gunung Lawu," ajak Menik.
"Hmmm, gimana, ya?" Aku mempertimbangkan.
"Ikut aja, Mbak, udah tanggung perjalanannya," tambah Menik setengah memaksa. Akhirnya lagi-lagi aku mengiyakan.
Jalanan masih sepi, dengan pertimbangan agar tidak terlalu malam, kami sepakat membalik rute. Telaga Sarangan kami letakkan sebagai tujuan akhir.
Di Kawasan Cemoro Sewu kami berhenti sejenak untuk sekadar mengisi perut dan tentu saja ngopi. Hujan turun rintik-rintik tidak  menyurutkan niat kami. Meski awalnya aku tidak berencana mendaki, tapi melihat pemandangan yang memukau, aku justru paling bersemangat. Jalur yang kami lewati adalah jalur via Cemoro Sewu yang paling populer di Gunung Lawu dan merupakan jalur yang paling cepat dibandingkan jalur lainnya. Oleh karena itu jalur ini cukup ramai.
Dari lereng yang kami lewati tampak jelas pemandangan Bukit Mongkrang dan Gunung Lawu Selatan.
"Gunung Lawu ini terkenal dengan hal-hal mistis." Wahyu yang selalu menjajari langkahku membuka pembicaraan. Â
"Bukankah di setiap gunung di Indonesia ada penunggunya," sanggahku, "Meski benar atau tidak, tapi sering terjadinya kejadian-kejadian di luar nalar yang terjadi di gunung membuat masyarakat makin percaya dengan hal-hal mistis di gunung."
"Tapi Gunung Lawu termasuk gunung yang dipercaya oleh masyarakat memiliki misteri yang belum terpecahkan.Beberapa misteri yang sering terjadi di sini, antara lain memiliki nyawa, pasar setan, burung jelmaan Kyai Jalak, larangan memakai baju hijau, hingga larangan pendakian dengan jumlah ganjil."
"Jadi itu alasannya kalian mengajak aku?" pancingku sambil tersenyum.
"Yah ..., kira-kira begitu," ujar Wahyu sambil tersenyum. Diam-diam aku memandang laki-laki dengan tinggi sekitar seratus tujuhpuluh senti tersebut, lumayan tampan dengan hidung bangir yang bertengger di atas bibir tipis. Kulitnya yang putih membuat wajahnya terlihat sedikit pucat ketika udara dingin mulai menusuk tulang.
Perjalanan dari Cemorosewu sampai ke puncak sekitar 7 kilometer, tapi karena hujan, kami harus ekstra hati-hati  menyusuri jalan setapak yang sudah di beri batuan gunung.
"Apakah tidak sebaiknya kita kembali ke basecamp," saranku saat hujan mulai lumayan deras.
"Kita terus saja," ujar Alex memotong
"Alex benar, jika kembali ke base camp kita akan terjebak hujan di hutan, terlalu bahaya," timpal Wahyu.
Akhirnya kami tetap melanjutkan perjalanan. Namun, entah kenapa semenjak dari pintu masuk Cemoro Sewu, aku merasa ada burung merpati putih mengikuti kami. Padahal hari sedang hujan, apakah ada burung yang berhujan-hujan ria .... Meski berempat, tapi aku merasa gamang, bulu kudukku sedikit meremang. Sesekali di sekitar lembah juga sepeti ada orang yang sedang tertawa, seperti ada keceriaan di sana.
"Apakah itu yang dikatakan Pasar Setan?"gumamku lirih, lebih tepatnya setengah membatin.
"Di Gunung Lawu, para pendaki tidak boleh melanggar peraturan yang ada," tegas Wahyu, lagi-lagi dia seperti bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku.
"Sangat dilarang berkata kasar, merusak alam, berpikir negative  hingga berbuat tidak senonoh. Apabila melanggar, konon akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti diikuti oleh sosok astral."
Aku hanya mengedikkan bahu, diam tak menjawab. Seingatku aku tidak berkata kasar atau melanggar aturan apapun. Lalu burung merpati putih yang mengikuti tadi ... apakah itu penjelmaan Kyai Jalak seperti yang dikatakan Wahyu. Aku merasa seperti ada yang meniup-niup tengkuk hingga bulu kudukku meremang. Aku merapatkan tubuh pada Wahyu agar merasa lebih tenang.
Alhamdulillah, meski dengan susah payah akhirnya kami bisa melewati medan yang sangat sulit hingga kami sampai di padang Edelweis. Artinya jarak menuju puncak tinggal sedikit lagi. Â
Wahyu memetik beberapa tangkai Edelweis, bunga berkelopak kecil kekuningan itu diikat menjadi satu rangkaian kemudian diserahkannya padaku. Aku menatap ragu, bukankah ada larangan tidak boleh memetik Edelweis di gunung.
"Simpan saja di dalam ranselmu," ujar Wahyu. Lagi-lagi dia bisa membaca pikiranku.
"Tapi apakah tidak termasuk melanggar aturan?" tanyaku.
"Cuma sedikit, aku ingin memetik untukmu," bantahnya. Aku mengembuskan napas, kenapa laki-laki ini selalu bisa membaca pikiranku. Aku memang sudah lama ingin membawa pulang Edelweis, terutama dari Gunung Lawu yang terkenal berbeda dari gunung-gunung lain. Hanya saja aku tak memiliki nyali karena jika ketahuan dendanya lumayan besar.
Mendekati puncak kami melepas lelah di warung milik Mbok Yem, pemilik warung di puncak Gunung Lawu yang namanya pernah diberitakan media. Warung sederhana yang hanya terbuat dari dinding kayu. Para pendaki menjuluki sebagai warung tertinggi karena berada di ketinggian 3.150 mdpl atau hanya selisih 115 mdpl dari puncak Gunung Lawu.
Kami hanya berhenti sekitar 15 menit di warung Mbok Yem. Namun, sepanjang perjalanan menuju puncak perasaanku tidak enak. Selain hawa dingin yang menusuk tulang, aku mencium aroma wangi yang belum pernah kukenali sebelumnya. Berulang kali aku mencium Edelweis di tanganku, tapi wanginya tidak sama. Bulu kudukku kian meremang.
Meski hujan, tapi di puncak tetap dipenuhi pendaki yang nekad seperti kami. Pemandangan dari puncak gunung memang selalu mempesona. Aku menghidu udara sepuasnya, merasakan sensasi udara di ketinggian lebih dari 3000 meter.
Namun, tiba-tiba aku tersadar bahwa aku terpisah dari rombongan, tiba di puncak sendirian. Aku mengingat-ingat, sepertinya aku terakhir berbicara dengan Wahyu ketika meninggalkan warung Mbok Yem. Bertemu dengan beberapa pendaki lain membuatku tak sadar bahwa aku tidak bersama rombonganku lagi.
Aku celingukan mencari-cari sosok teman seperjalanku, tapi tak tampak di antara pendaki yang baru tiba di puncak.
"Maaf, Mas, liat temen saya nggak?" tanyaku pada seorang pendaki yang baru tiba.
"Teman yang mana? Bukankah dari tadi Mbak ini sendirian?" jawab laki-laki dengan jaket kulit coklat.
"Saya tadi berempat, Mas," bantahku. Laki-laki itu mengerutkan alis. Aku menatap tak mengerti.
"Mbak ini tadi naik dari Cemoro Sewu, kan?" tanyanya lagi. Aku mengangguk.
"Saya liat Mbak sendirian sejak tadi, makanya saya heran ... kok Mbak ini sendirian hujan-hujan," ujar laki-laki itu lagi. Mendengar penjelasan laki-laki yang mengaku bernama Bimo tersebut aku kebingungan. Bulu kudukku makin meremang, dingin makin menusuk tulang.
"Saya hampir tiap minggu memandu para pendaki di sini, Mbak, menggantikan ayah saya," papar Bimo.
"Dulu ayah saya menemukan tiga pendaki yang meninggal di dekat padang Edelweis. Dua laki-laki dan seorang perempuan, konon seorang laki-laki yang bernama Wahyu nekad memetik Edelweis untuk kekasihnya. Karena posisi bunga itu agak menjorok ke jurang, dia terpeleset dan jatuh ke jurang. Kedua temannya yang berusaha menolong justru ikut tertarik ke bawah dan mayatnya tidak pernah diketemukan. Sejak itulah ayah saya selalu memandu para pendaki, memastikan tidak ada yang memetik Edelweis agar kejadian tragis itu tidak terulang lagi."
Penjelasan panjang Bimo membuat lututku lemas seketika, benarkan Wahyu yang dimaksud adalah Wahyu yang bersamaku tadi. Bulu kudukku makin meremang, keringat dingin mulai mengucur deras, seluruh tubuhku gemetar ....
"Kapan kejadian itu, Mas?" tanyaku lirih, lemas seketika hari sudah beranjak sore, gelap mulai merayap dan kabut turun sehingga kami harus menggunakan senterseakan kekuatan yang menopang tubuhku tersedot habis.
"Sudah lama sekali, sih. Sekitar tahun 70-an, tapi konon setelah kejadian itu ada pendaki yang pernah melihat penampakan mereka datang  menggunakan jeep Wilys yang diparkir di dekat base camp Cemoro Sewu."
Aku merasa tubuhku bergetar hebat, aroma harum yang sejak tadi mengikutiku makin kuat. Wajah Wahyu, Alex, dan Menik menari-nari dengan seringai yang menakutkan. Â Seikat Edelweis yang kugenggam langsung kulempar, telapak tanganku dingin dan selanjutnya aku hanya bisa mendengar teriakan panik Bimo menyebut namaku.
Sidoarjo, 21 Agustus 2022
#Sebuah kenangan tentang sahabat
#Mengenang seorang sahabat yang hilang di Gunung Lawu
#Al Fathihah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H