Di balik kisah pilu yang dialami Binar, Â tersimpan juga kisah bahagia di dalamnya, yang mengajarkan bahwa harapan itu selalu ada selama kita tidak menyerah, tugas kita adalah menjaga harapan itu tetap tumbuh dan menyingkirkan segala keinginan untuk berhenti melangkah, hingga memiliki kekuatan untuk melawan kemustahilan.
Banyak pelajaran berharga yang Tiar petik dari perjuangan Binar, seorang gadis penderita Leukemia, yang tak mau menyerah, dan bagaimana seorang mantan tentara yang kehilangan satu kaki harus bertahan di tengah kerasnya kehidupan untuk hidup dan biaya pengobatan anak perempuan satu-satunya.
Tiar belum pernah sebahagia ini, bahkan ketika mengetahui perempuan penulis itu adalah seorang pengelana, Binar meminta untuk menceritakan tentang  perjalanannya, seperti apa kejadian di luar sana.
Hari mulai berangkat senja, Tiar masih asyik berkisah tentang laki-laki gila yang mencari kekasihnya, pertemuannya dengan seorang perempuan cantik yang difitnah sebagai pembawa sial, juga tentang kisah sekelompok anak muda berprestasi yang justru dianggap aneh oleh sebagian orang, karena apa yang mereka lakukan berseberangan dengan kebiasaan di daerah tersebut.
Wajah Binar bersuka cita, mata indahnya menyorotkan bahagia, setengah memicing ia menggenggam tangan Tiar.
"Makasih ya, Mbak, sudah membuat Binar bahagia," ucapnya berbisik.
"Bahagia itu kita yang menciptakan, bukan orang lain, karena bahagia itu ada di sini." Tiar mengarahkan telunjuknya ke dada perempuan berwajah pucat itu.
"Mbak." Binar menatap Tiar lekat. "Doain aku bisa berjuang sampai lulus, ya." Â
"Kamu milih jurusan apa?" Tiar bertanya sambil tersenyum.
"Pendidikan guru," jawab gadis berambut pendek, sepertinya efek kemoterapi telah membuat rambutnya rontok.
"Cita-cita yang bagus," puji Tiar. Mata gadis itu berbinar, kembali diraihnya tangan Tiar.