"Sebagai Komandan pelatih tembak, di Akmil Magelang sini, hingga peristiwa itu terjadi. Saya harus kehilangan satu kaki  ketika tidak sengaja terkena mortir nyasar seorang taruna."
"Innalillahi, terus gimana, Pak," kata Tiar menyela prihatin
"Yah, begitulah nasib. Karena tulang kering saya hancur, akhirnya kaki saya harus diamputasi," ujar laki-laki itu, ada nada sedih dalam suaranya. Tiar menghela nafas panjang, turut merasakan kegetiran yang dialami laki-laki pemilik gerobak minuman itu, mendadak rindu pun menyeruak, rindu pada sosok laki-laki perkasa yang telah pergi untuk selamanya.
"Setelah kejadian itu saya mengundurkan diri dari kedinasan, Mbak. Meski komandan awalnya ndak mengizinkan, tapi saya maksa, saya cukup tahu diri, lha wong tentara kok buntung. Kan saya ndak enak toh, seperti makan gaji buta."
"Lalu Bapak jualan seperti ini?"
"Iya, Mbak sebagai pengisi waktu senggang. Kalo malam saya ngajar, ngasih les-les privat untuk anak-anak tetangga yang membutuhkan tambahan ilmu."
"Wow, keren itu, Pak," ucap Tiar takjub. "Bapak mengajar apa?"
"Macam-macam yang saya bisa, Mbak. Biasanya Kimia, Fisika, Matematika, saya memang bukan ahlinya, tapi ya... kalo cuma mata pelajaran anak SMA Insya Allah saya masih menguasainya."
Tiar manggut-manggut, hatinya kagum, laki-laki yang masih tampak gagah itu seperti tak mengenal kata sedih, senyumnya selalu merekah, dan matanya tetap berbinar menyorotkan harapan yang tinggi.
"Mbak ini namanya siapa?" tanya Laki-laki itu lagi.
 "Tiar, Pak.  Nama saya Tiara."