Inklusivitas di Dunia Digital
Materi ini di sampaikan di GMLD pertemuan ke 9 dengan jumlah peserta 411 melalui grup whatasap. Peserta terdiri dari seluruh tanah air dengan gaya belajar yang serius tapi santai dan di akhiri dengan tanya jawab. Apa tujuan dari Inklusivitas di Dunia Digital?
Tujuan Materi
- Memahami konsep inklusivitas di era digital.
- Mengetahui manfaat inklusivitas dalam dunia digital.
- Mengenal strategi menciptakan lingkungan digital inklusif.
Apa itu Inklusivitas?
- Kemampuan mengakomodasi keberagaman.
- Mencakup semua golongan, tanpa diskriminasi.
- Relevan dalam dunia digital sebagai ruang publik modern.
Mengapa Inklusivitas Penting?
- Menghindari eksklusi digital (digital divide).
- Memberdayakan individu dari berbagai latar belakang.
Inklusivitas adalah prinsip, sikap, dan pendekatan yang berupaya menciptakan ruang atau lingkungan yang terbuka, merangkul keberagaman, dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu tanpa diskriminasi. Konsep ini menekankan penghormatan terhadap perbedaan dan keberlanjutan kerja sama antar kelompok dengan latar belakang yang berbeda.Â
Aspek Teoritis dari Inklusivitas
Keberagaman (Diversity)
- Mengacu pada variasi karakteristik manusia, seperti ras, etnis, gender, orientasi seksual, status sosial, budaya, usia, agama, kemampuan fisik, dan lainnya.
- Menurut teori Diversity Management (Thomas & Ely, 1996), keberagaman meningkatkan kinerja organisasi melalui kreativitas, inovasi, dan perspektif yang beragam.
Kesetaraan (Equity)
- Berfokus pada memberikan setiap orang akses yang adil terhadap peluang dan sumber daya berdasarkan kebutuhan spesifik mereka.
- Pendekatan ini didukung oleh Equity Theory (Adams, 1963) yang menyoroti perlunya keseimbangan dalam memperlakukan individu.
Aksesibilitas (Accessibility)
- Penyesuaian lingkungan, alat, atau proses agar dapat digunakan semua orang, termasuk penyandang disabilitas atau individu dengan kebutuhan khusus.
- Diinspirasi oleh Universal Design Theory (Ron Mace, 1980-an), yang berprinsip bahwa lingkungan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa perlu modifikasi khusus.
Keterlibatan (Engagement)
- Mengacu pada partisipasi aktif individu dalam aktivitas atau komunitas tanpa rasa terpinggirkan.
- Social Inclusion Theory (Silver, 1995) menyebutkan pentingnya memasukkan kelompok terpinggirkan ke dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi secara aktif.
Pengakuan (Recognition)
- Pengakuan terhadap identitas, pengalaman, dan kontribusi individu dari semua latar belakang.
- Merujuk pada teori Recognition Theory (Honneth, 1995), yang menekankan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai dasar dari inklusivitas.
Definisi Inklusivitas Menurut Ahli
UNESCO (2005):
Inklusivitas adalah pendekatan dalam semua aspek kehidupan yang memastikan bahwa tidak ada individu atau kelompok yang dikecualikan karena perbedaan apa pun.Turner (1982):
Inklusivitas adalah proses sosial yang melibatkan individu dan kelompok dalam semua dimensi masyarakat secara sejajar, terlepas dari perbedaan ras, gender, atau kelas sosial.Booth dan Ainscow (2002):
Inklusivitas adalah sikap yang terus-menerus menantang semua bentuk diskriminasi dan berusaha untuk meningkatkan partisipasi serta keberhasilan semua individu.
Ciri-Ciri Inklusivitas
- Menghormati perbedaan tanpa memandang latar belakang seseorang.
- Memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu.
- Menghapuskan hambatan struktural, kultural, dan sosial.
- Memprioritaskan aksesibilitas di segala aspek, terutama dalam pendidikan dan teknologi.
Inklusivitas adalah paradigma modern untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kohesi sosial dan mendorong keadilan.
Contoh Inklusi untuk Menghindari Eksklusi Digital (Digital Divide):
Program Internet Gratis di Area Terpencil
- Contoh: Program "Bakti Kominfo" di Indonesia yang menyediakan infrastruktur internet di wilayah pedalaman, terpencil, atau daerah tanpa akses jaringan telekomunikasi.
Perangkat untuk Pendidikan Online
- Contoh: Selama pandemi COVID-19, beberapa organisasi atau perusahaan, seperti Google dan Microsoft, menyediakan laptop, tablet, atau smartphone untuk siswa dari keluarga kurang mampu agar mereka bisa mengikuti pembelajaran daring.
Pelatihan Teknologi untuk Lansia dan Kaum Rentan
- Contoh: Di beberapa negara, pemerintah atau komunitas lokal mengadakan pelatihan teknologi untuk lansia agar mereka bisa menggunakan layanan digital, seperti e-banking, telemedicine, dan aplikasi sosial.
Contoh Memberdayakan Individu dari Berbagai Latar Belakang:
Platform Digital Multibahasa
- Contoh: Wikipedia memungkinkan orang untuk membaca dan menyumbangkan konten dalam berbagai bahasa, yang memberdayakan masyarakat lokal untuk mengakses informasi dalam bahasa mereka sendiri.
Startup Digital untuk UMKM Lokal
- Contoh: Tokopedia atau Bukalapak di Indonesia membantu pelaku usaha mikro dari latar belakang ekonomi lemah untuk menjual produk mereka secara daring dan memperluas pasar mereka.
Program Coding untuk Anak Muda Tidak Mampu
- Contoh: Gerakan seperti Girls Who Code atau Digital Talent Scholarship memberikan pelatihan coding bagi perempuan dan anak muda kurang mampu untuk meningkatkan keterampilan mereka di era digital.
Aplikasi untuk Penyandang Disabilitas
- Contoh: Aplikasi "Be My Eyes" yang membantu tunanetra mendapatkan bantuan visual dari sukarelawan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.
Dengan langkah-langkah ini, inklusivitas dalam dunia digital tidak hanya mengurangi kesenjangan, tetapi juga meningkatkan partisipasi semua individu, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih adil dan setara.Â
Contoh Bias Teknologi Berbasis Data Tidak Inklusif
Bias teknologi berbasis data terjadi ketika sistem atau algoritma digital menghasilkan keputusan yang tidak adil atau diskriminatif karena bias yang tertanam dalam data pelatihannya, cara algoritma dirancang, atau dalam proses pengambilan keputusan otomatis. Berikut adalah contohnya:
1. Bias Gender dalam Rekrutmen Otomatis
- Contoh: Algoritma rekrutmen Amazon (2014-2017) diketahui memiliki bias gender. Sistem ini cenderung memberikan preferensi kepada kandidat laki-laki karena data pelatihannya didasarkan pada rekam jejak perekrutan sebelumnya, di mana sebagian besar pelamar yang dipekerjakan adalah laki-laki. Hal ini mengabaikan kompetensi kandidat perempuan dengan latar belakang yang sama.
2. Pengawasan Berbasis Kamera yang Bias Ras
- Contoh: Sistem pengenalan wajah (facial recognition) dari beberapa perusahaan besar, seperti IBM atau Microsoft, cenderung kurang akurat dalam mengenali wajah orang kulit gelap dibandingkan dengan orang kulit terang. Hal ini disebabkan oleh data pelatihan yang didominasi gambar individu berkulit terang. Bias ini berisiko memperparah diskriminasi di lingkungan tertentu, seperti keamanan dan penegakan hukum.
3. Pinjaman Finansial yang Tidak Adil
- Contoh: Algoritma yang digunakan oleh beberapa platform kredit digital menolak aplikasi kredit dari individu di wilayah dengan pendapatan rendah atau kelompok minoritas tertentu. Data yang digunakan mengasosiasikan alamat atau status pekerjaan mereka dengan risiko kredit yang lebih tinggi, meskipun aplikasi individu tidak berisiko.
4. Rekomendasi Konten yang Eksklusif
- Contoh: Algoritma rekomendasi di YouTube atau Netflix cenderung menampilkan konten yang populer di komunitas mayoritas, sementara konten dari kelompok minoritas atau bahasa daerah menjadi kurang terlihat. Ini membatasi eksposur kelompok minoritas dalam lingkungan digital.
5. Aplikasi Kesehatan Tidak Aksesibel untuk Semua Kelompok
- Contoh: Beberapa aplikasi prediksi kesehatan menggunakan dataset yang didominasi oleh data dari kelompok etnis tertentu (misalnya, populasi kulit putih di Eropa atau Amerika Serikat). Hal ini menghasilkan rekomendasi kesehatan yang tidak relevan atau tidak akurat bagi orang dengan etnis yang berbeda.
6. Bias dalam Asisten Virtual
- Contoh: Asisten virtual seperti Siri, Alexa, atau Google Assistant pada awal pengembangannya cenderung lebih baik memahami aksen tertentu (misalnya, aksen Amerika) dibandingkan dengan aksen non-standar atau bahasa Inggris daerah, yang membuat pengalaman pengguna kurang inklusif.
Solusi untuk Mengatasi Bias:
- Diversifikasi data pelatihan.
- Menerapkan audit algoritma secara berkala.
- Melibatkan kelompok lintas latar belakang dalam pengembangan teknologi.
- Membuat regulasi teknologi yang mengutamakan keadilan.
Dengan menghadapi masalah bias, teknologi dapat dirancang lebih inklusif dan bermanfaat untuk semua golongan masyarakat.
Contoh Bias Teknologi Berbasis Data Tidak Inklusif dalam Pendidikan di Indonesia
Bias teknologi dalam pendidikan terjadi ketika sistem atau platform digital yang digunakan dalam proses pembelajaran atau administrasi pendidikan memberikan hasil yang tidak adil atau diskriminatif karena data, algoritma, atau desain yang tidak mencerminkan keberagaman konteks pendidikan di Indonesia.
1. Platform Pendidikan Daring dengan Keterbatasan Bahasa Lokal
- Contoh: Sebagian besar aplikasi pembelajaran daring, seperti Ruangguru atau Zenius, lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia formal. Ini membuat siswa di daerah terpencil yang lebih terbiasa dengan bahasa daerah atau memiliki keterbatasan Bahasa Indonesia mengalami kesulitan dalam memahami materi.
- Dampak: Siswa dari daerah dengan kemampuan Bahasa Indonesia yang lebih rendah cenderung tertinggal dibandingkan siswa dari kota besar.
2. Sistem Penilaian Otomatis yang Tidak Memahami Variasi Jawaban Lokal
- Contoh: Algoritma pada beberapa ujian daring (online exams) menggunakan kata kunci untuk mengevaluasi jawaban esai, tetapi tidak mampu mendeteksi variasi jawaban dengan struktur bahasa atau terminologi lokal, meskipun konsepnya benar.
- Dampak: Siswa dengan gaya penulisan atau latar belakang kultural yang berbeda mendapat nilai lebih rendah dibandingkan siswa yang menggunakan istilah atau gaya penulisan lebih umum.
3. Kesenjangan Akses Teknologi di Wilayah Terpencil
- Contoh: Sistem pembelajaran daring, seperti Google Classroom atau Microsoft Teams, dirancang untuk siswa dengan akses internet stabil. Namun, banyak siswa di wilayah pedalaman Indonesia yang tidak memiliki akses ke internet atau perangkat memadai sehingga terputus dari kegiatan pembelajaran.
- Dampak: Kesenjangan digital (digital divide) semakin memperburuk ketidaksetaraan pendidikan antara kota besar dan daerah terpencil.
4. Rekomendasi Jurusan Berdasarkan Data yang Bias
- Contoh: Sistem manajemen pendidikan berbasis data menggunakan algoritma untuk merekomendasikan pilihan jurusan kepada siswa berdasarkan hasil ujian. Namun, sistem sering kali mengutamakan data statistik dan mengabaikan potensi atau minat siswa di bidang tertentu, terutama siswa dari daerah dengan akses terbatas ke pendidikan berkualitas.
- Dampak: Siswa dari latar belakang sosial-ekonomi rendah lebih mungkin diarahkan ke jurusan kejuruan atau praktis meskipun mereka memiliki potensi akademik di bidang lain.
5. Akses Terbatas ke Konten Pendidikan bagi Difabel
- Contoh: Banyak platform pembelajaran daring di Indonesia yang tidak mendukung aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, seperti tunanetra (tanpa dukungan pembaca layar) atau tunarungu (tanpa teks atau subtitle).
- Dampak: Siswa difabel tidak memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembelajaran daring dan sering kali bergantung pada pendampingan yang tidak selalu tersedia.
6. Kesenjangan Penilaian Berbasis Data di Sekolah Negeri dan Swasta
- Contoh: Sistem manajemen data pendidikan, seperti Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sering kali memprioritaskan data siswa di sekolah negeri. Sementara itu, sekolah swasta di daerah terpencil dengan sumber daya terbatas tidak mendapatkan perhatian yang sama dalam distribusi teknologi pendidikan.
- Dampak: Sekolah swasta kecil, terutama di daerah dengan pendanaan minim, mengalami diskriminasi teknologi dan sulit mengejar ketertinggalan.
Solusi untuk Mengurangi Bias Teknologi di Pendidikan Indonesia
- Diversifikasi Data Pelatihan Algoritma: Libatkan data dari berbagai latar belakang budaya, bahasa daerah, dan konteks geografis.
- Aksesibilitas Universal: Desain platform yang mendukung pengguna dari seluruh kemampuan fisik dan bahasa.
- Internet Gratis di Daerah Terpencil: Seperti program Merdeka Belajar yang diintegrasikan dengan infrastruktur digital di wilayah terluar.
- Audit Algoritma Secara Berkala: Untuk memastikan algoritma tetap relevan dan inklusif terhadap perkembangan pendidikan.
Dengan upaya ini, bias teknologi dapat diminimalkan, menciptakan pengalaman pendidikan yang adil dan inklusif di Indonesia.
Contoh Bias Teknologi Berbasis Data Tidak Inklusif dalam Pendidikan di Indonesia dalam Implementasi Sehari-hariÂ
1. Keterbatasan Sistem Absensi Daring untuk Sekolah di Daerah Pedalaman
- Implementasi: Banyak sekolah menggunakan sistem absensi daring berbasis aplikasi seperti WhatsApp, Google Forms, atau aplikasi khusus. Namun, siswa di daerah pedalaman dengan jaringan internet terbatas atau tidak ada sinyal sering tidak dapat mengaksesnya.
- Akibat: Data siswa yang tinggal di daerah terpencil dicatat sebagai absen atau terlambat, yang dapat memengaruhi catatan kehadiran mereka, meskipun ini terjadi karena masalah infrastruktur.
2. Platform Pembelajaran Tidak Memadai untuk Siswa Difabel
- Implementasi: Aplikasi seperti Ruangguru, Zenius, atau Google Classroom sering kali tidak menyediakan fitur aksesibilitas, seperti pembaca layar untuk tunanetra atau teks video untuk tunarungu.
- Akibat: Siswa difabel menghadapi tantangan besar dalam memahami materi yang diajarkan, menyebabkan ketertinggalan dalam proses pembelajaran sehari-hari.
3. Algoritma Penilaian yang Tidak Memahami Konteks Jawaban Lokal
- Implementasi: Tes berbasis daring dengan sistem koreksi otomatis (misalnya, untuk soal esai atau pemrograman) biasanya mengacu pada kata kunci tertentu. Jawaban siswa dari daerah yang menggunakan istilah lokal atau struktur bahasa berbeda dianggap salah oleh sistem.
- Akibat: Siswa dari latar belakang budaya lokal dirugikan, meskipun konsep jawaban mereka sebenarnya benar.
4. Konten Digital yang Bias terhadap Siswa di Daerah Perkotaan
- Implementasi: Materi pembelajaran digital sering kali dirancang dengan asumsi bahwa semua siswa memiliki perangkat modern, seperti laptop atau tablet, serta akses internet cepat. Siswa di daerah terpencil atau dari keluarga kurang mampu sulit mengikuti pembelajaran harian yang menggunakan media tersebut.
- Akibat: Siswa dari daerah miskin tertinggal karena tidak memiliki sarana yang dibutuhkan untuk belajar dengan teknologi ini.
5. Sistem Ujian Daring yang Diskriminatif
- Implementasi: Banyak sekolah menggunakan ujian berbasis daring dengan sistem waktu tetap. Siswa yang tinggal di daerah dengan koneksi internet tidak stabil kehilangan waktu untuk menjawab soal akibat masalah teknis, sementara sistem ujian tidak menyediakan waktu tambahan.
- Akibat: Siswa di daerah dengan akses internet terbatas mendapatkan nilai lebih rendah, bukan karena kurangnya kemampuan akademis, tetapi karena kendala teknologi.
6. Penggunaan Learning Analytics yang Mengabaikan Faktor Sosial dan Ekonomi
- Implementasi: Beberapa platform menggunakan learning analytics untuk melacak kemajuan siswa dan memberikan rekomendasi personalisasi. Namun, algoritma ini sering gagal mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi siswa, seperti keterbatasan waktu belajar karena harus membantu orang tua bekerja.
- Akibat: Siswa dari keluarga ekonomi rendah dianggap kurang berprestasi, meskipun kondisi eksternal sangat memengaruhi hasil belajar mereka.
Solusi untuk Mengatasi Bias dalam Implementasi Sehari-hari
- Infrastruktur Internet yang Lebih Merata: Pemerintah dan penyedia teknologi perlu memastikan semua daerah mendapatkan akses internet yang setara.
- Desain Inklusif untuk Difabel: Platform pembelajaran harus menyediakan fitur seperti teks otomatis, pembaca layar, atau pengaturan suara untuk siswa berkebutuhan khusus.
- Fleksibilitas Ujian Daring: Menambahkan opsi waktu tambahan untuk siswa di daerah dengan koneksi yang tidak stabil.
- Pelatihan Guru di Daerah Pedalaman: Guru di daerah terpencil dilatih untuk menggunakan teknologi secara maksimal dalam kondisi terbatas.
Bias dalam implementasi teknologi pendidikan sehari-hari dapat diperbaiki dengan langkah strategis yang berorientasi pada inklusivitas dan keadilan bagi semua siswa di Indonesia.
Contoh Mengubah Pandangan dan Budaya di Dunia Pendidikan untuk Inklusivitas
Mengintegrasikan Pendidikan Inklusif di Sekolah
- Masalah: Masih ada pandangan bahwa anak dengan kebutuhan khusus tidak dapat belajar bersama anak lain di kelas reguler, sehingga mereka sering dikelompokkan secara terpisah.
- Perubahan yang Diperlukan:
- Menggeser budaya dari eksklusi ke inklusi dengan mengenalkan pembelajaran yang ramah untuk semua anak, termasuk kurikulum yang fleksibel.
- Melatih guru untuk menangani keragaman di kelas dan memberikan perhatian sesuai kebutuhan setiap siswa.
Contoh Implementasi:
- Menyediakan kelas inklusif yang mengakomodasi siswa dengan kebutuhan khusus dengan perangkat bantu, seperti teknologi pembelajaran berbasis AI atau aksesibilitas di ruang kelas.
- Menggunakan metode pembelajaran kolaboratif yang melibatkan semua siswa untuk saling mendukung dalam proses belajar.
2. Mempersempit Kesenjangan Akses Pendidikan
- Masalah: Banyak anak di daerah terpencil tidak memiliki akses ke pendidikan yang sama dengan anak di kota, sering kali karena asumsi bahwa pendidikan berkualitas hanya bisa diberikan di daerah perkotaan.
- Perubahan yang Diperlukan:
- Menggeser perspektif bahwa pendidikan berkualitas hanya dapat dilakukan dengan fasilitas lengkap.
- Membangun budaya kolaborasi dan inovasi dengan memanfaatkan teknologi seperti pembelajaran daring atau modul offline. Contoh Implementasi:
- Memberikan perangkat belajar sederhana (tablet dengan modul digital) yang dirancang untuk bekerja secara offline kepada siswa di daerah terpencil.
- Memanfaatkan guru keliling yang didukung materi pembelajaran berbasis teknologi agar siswa di daerah sulit dijangkau tetap dapat mengakses pendidikan.
3. Menghilangkan Stereotip terhadap Perempuan dalam Pendidikan Sains dan Teknologi
- Masalah: Pandangan lama bahwa bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) lebih cocok untuk laki-laki masih sering ditemui di masyarakat.
- Perubahan yang Diperlukan:
- Mengubah budaya pendidikan dengan memberikan kesempatan yang sama bagi anak perempuan untuk mengeksplorasi STEM.
- Menumbuhkan kepercayaan diri siswa perempuan dengan memberikan role model perempuan sukses di bidang STEM.
Contoh Implementasi:
- Mengadakan program coding dan teknologi yang dikhususkan untuk anak perempuan di sekolah dasar dan menengah.
- Mengintegrasikan cerita inspiratif perempuan di bidang STEM dalam kurikulum.
Kesimpulan
Mengubah pandangan dan budaya di dunia pendidikan memerlukan pendekatan yang melibatkan semua pihak—guru, siswa, orang tua, dan pemerintah—dengan mengedepankan nilai inklusivitas untuk memastikan bahwa pendidikan dapat diakses, diterima, dan dinikmati oleh semua individu tanpa diskriminasi.
#Mudafiatun Isriyah
#23 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H