DERITA PRAHARA
Oleh Muchwardi Muchtar
(“Maaf, Rita. Meski sunnah Rasulullah membolehkan, namun aku tidak bisa. Betapa murkanya Sang Pencipta, jika ucapan & perbuatan 'harus adil' itu hanya slogan belaka bagi laki-2 yang melakukannya”)
“Bapakku didakwa koruptor, dan Ibuku kemudian terjerumus jadi lonte kelas tinggi”, ujar gadis di sampingku ini dengan dingin, tanpa ekspresi.
“Rita…..?!”
Aku terkejut. Bersamaan dengan direm mendadaknya Bus Wisata Taman Mini Indonesia ---yang berangkat dari terminal bus Cililitan--- ini oleh Pak Supir. Penumpang banyak yang tersentak. Badan mereka terdorong ke jok muka dibawa gaya sentakkan rem yang tiba-tiba itu.
Rupanya ketika lampu lalulintas akan berwarna kuning tadi, Pak Supir berniat tancap gas menerobos memanfaatkan kondisi arus kendaraan dari sebelah kanan yang sepi. Akan tetapi karena di belakang tiang listrik yang terbuat dari beton muncul Pak Polantas, maka supir bus wisata ini membatalkan niatnya.
Akibatnya sudah tentu penumpang yang menaiki bus pada menggerutu. Sebaliknya Pak Supir hanya nyengir-nyengir kuda menutupi kecerobohannya yang bisa merusak citra pelayanan pariwisata di ibukota Jakarta tersebut.
Apakah di era semangat ingin menjadikan dunia pariwisata sebagai primadona untuk menggantikan komoditi migas, kejadian yang baru saja kami alami ini akan didiamkan begitu saja?
***
Karena kalimat yang keluar dari mulut wanita yang duduk di sebelah kiriku, bagaikan main-main, aku menoleh ke samping memandang wajahnya.
“Tidak dapatkan nona lebih serius dalam menjawab tanya seorang teman?”
“Ini serius lho, Bung”, balasnya, menantang mataku. “Apa situ tidak percaya dengan penjelasan saya barusan?”
“Percaya sih percaya”, ujarku sambil tersenyum. “Cuma menyangkut datanya itulah yang saya sangsikan”.
“Aih…., ngomongnya tinggi banget”, bibir tipisnya memantulkan senyum. “Kalau menyangkut data dan fakta saya malah segan bercerita. Jangan-jangan Si Bung ini wartawan”.
Kemudian wanita yang mengenakan kaus warna kuning muda lengan panjang yang dikombinasikan dengan celana jins warna abu-abu ini, membuka tas kecil yang menyangkut di bahunya. Sebuah benda plastik bulat persegi yang bernama vape (rokok elektrik) dikeluarkannya, dan langsung diisapnya beberapa detik.
Kemudian vape tersebut buru-buru dimasukkannya kembali ke dalam tasnya. Tampaknya mengisap vape beberapa saat tadi, sebagai penambah semangatnya dalam berdialog dengan teman laki-lakinya yang duduk di sebelah kanannya.
Melihat adegan kilat ---mencuri kesempatan untuk mengisap vape beberapa detik di kendaraan umum--- yang diperlihatkan wanita ini aku kembali tersenyum. Aku heran campur iba dengan perilaku temanku ini. Kalau di awal pembicaraan tadi kalimat yang diucapkannya membuat aku terkejut, maka sekarang perbuatannya yang menyedot vape yang membuat aku tersentak.
“Kenapa situ tersenyum? Apa ada yang lucu?”, selidik wanita di samping kiriku ini lagi.
“Saya senyum karena yang wanitanya pengisap vape, dan sebaliknya yang laki-lakinya malah tidak. Dan yang membuat saya ketawa, kok kita bisa sering-sering bertemu, ya?”
Dia kembali menatap mataku. Sementara itu aku membayangkan kembali fragmen demi fragmen yang tanpa direncanakan sebelumnya menyeret kami jadi bersahabat, dan malah semakin akrab.
Aku mula pertama kali mengenal wanita ini adalah ketika berada di negeri orang. Di pojok selatan Arab Street, Singapura.
Bagi turis yang pernah menginjak negara bikinan Lee Kwan Yew ini pasti tahu, bahwa di kawasan Arab Street ada beberapa toko yang menjajakan barang berupa perabotan atau aksesori kegemaran wanita modern.
Semua barang tersebut terbuat dari rotan. Sebagai “turis dadakan” yang percaya pada Buku Panduan Singapura (Guides Book to Singapore), sudah jelas wanita yang bersua denganku di Rattan Shop itu, disuruh buku panduan tersebut untuk datang ke selatan Arab Street.
Pertemuan yang biasa saja barangkali. Dia menawar barang dalam Bahasa Inggris, tapi ketika bicara dengan temannya yang wanita juga, pakai bahasa ibunya. Dialek Jakarta, lagi.
Ketika teman di sebelahku Aloysius Perdata, yang terkenal sense of humour-nya nekad menggoda. Dan ternyata, gayung bersambut.
“Ngeborong nih, ye?”, tegur Aloy.
Dua wanita yang tampaknya akan keluar meninggalkan Rattan Shop tersebut menengok kepada kami. Dan, keakraban awal pun terjadi.
Kaum hawa ini lupa, laki-laki yang baru dikenal jangan pernah disenyumi. Sebab ---umumnya sifat laki-laki normal--- jika dapat hati akan meminta jantung. Inilah yang repot. Entah karena Aloys yang pakai stelan jins atas bawah ini bertubuh bebas dari tato, entah karena aku yang memakai baju kaus motif batik bali tidak ada potongan pelaut, atau karena wanita di negeri orang ini butuh teman laki-laki, kami cepat akrab.
Bahkan ketika wanita (yang ditemani asisten pribadinya) tersebut memperkenalkan nama lengkapnya dengan Derita Prahara, mengajak kami singgah ke flatnya di Glove Avenue, kami menurut saja. Kusingkirkan tanda tanya di kepalaku, mendengar namanya yang rada aneh bunyinya itu. Kubuang hobi “melapor” (melamun porno) yang muncul tiba-tiba, ketika ia begitu ramah menjamu kami dua laki-laki di flat yang disewa orangtuanya.
Itu adalah perkenalan pertama yang tidak dilanjutkan dengan perjanjian untuk bertemu lagi hari beriktunya. Biarlah pertemuan yang terjadi terasa indah, tanpa dilanjutkan dengan kunjungan-kunjungan lain. Ini adalah prinsipku, yang selalu kupegang semenjak menginjakkan kaki bekerja di dunia laut.
Tapi, ketika aku naik feri KMF Halimun menyeberangi Selat Sunda, dari Bakeuheni ke Merak, kemudian berjumpa lagi dengan seorang wanita yang pernah menghidangkan teh manis beserta kue bolu buatku di sebuah flat di Singapura, mestikah aku menyalahkan nasib?
Apakah persahabatan selama satu bulan lebih (ketika aku menunggu kapal tempatku bertugas naik dok) akan disambung lagi di kota tempat aku dibesarkan, menunut ilmu dan…. bahkan mendapat kerjaan guna menunjang hidup dan kehidupan ini?
“Lho, kok Rita ada di sini?”, sapaku ketika melihatnya sedang duduk di salon feri sambil menyedot jus jeruk.
Tanpa membuka kaca mata pantai yang dikenakannya, gadis ini tersenyum. Duh, senyumnya….berbingkai nirwana, bisik hatiku. “Dan, Anda…. kok juga di sini?”
Jawaban baliknya ini sebetulnya menyebalkan. Karena aku tahu ia coba menguburkan kenangan beberapa waktu yang lalu ketika kami bertemu di Singapura, maka aku juga pura-pura dungu menghadapi tindakannya itu.
“Kenalkan, nama saya Edward Tator”, ujarku, seraya menyodorkan tangan untuk bersalaman.
Tanganku ditempiskannya. Kemudian ia tertawa. (duh.. manisnya…). “Salaman, sebut nama. Salaman, perkenalkan nama. Bosan..! Kayak namanya cakep aja”.
“Setidaknya nama saya lebih enak didengar dari nama situ”, kataku membalas gurauannya.
“Jadi nama Derita Prahara yang kusebutkan tempo hari masih dianggap nama palsu?”, dan lagi-lagi ia memendam senyum.
Maka menyeberang selama hampir dua jam setengah itu sekejap saja rasanya. Di atas feri inilah aku mengenal ia lebih banyak lagi. Seorang gadis nyentrik, cantik, menarik penuh misteri yag kadang-kadang menggemaskan dalam berbicara. Ia naik feri bersama Mama dan Papanya (yang ada di kamar di lantai dua) adalah kembali dari Pringsewu, Lampung Selatan. Baru saja Papanya membeli 5 HA tanah yang kelak akan mereka olah jadi lahan pertanian, pengisi hari-hari pensiunnya.
Pertemuan di salon feri malah berlanjut dengan hal-hal yang tak pernah kuduga. Wanita yang kunilai cerdas ini semakin membingungkan dengan kepolosan dan keterusterangannya dalam berkisah. Adakah wanita manis di dunia ini yang begitu baiknya memberikan identitas dirinya berupa foto e-KTP, dan nomor telepon rumah (serta nomor Hape) kepada seorang laki-laki yang belum sepenuhnya ia kenal secara pribadi?
Ya, Derita Prahara-lah orangnya.
***
Seorang anak bungsu (empat bersaudara) dari mantan pejabat eselon satu Kementerian Basah di republik ini yang memilih sendirian jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Kini duduk di sampingku, di tengah perbauran penumpang bus yang naik dari teras Pusat Grosir Cililitan (PGC) Cililitan.
Kemarin siangnya, Sabtu yang tak terduga, kami bertemu di trotoar Ratu Plaza. Pusat perbelanjaan yang popular di zamannya, yang terletak di perempatan Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Pertemuan yang sudah sekian lama tak ada, membuat keakraban yang sempat terjadi ketika ia studi di Lasalle College Singapore, kembali terulang.
Sebagai gadis modern yang sudah lama kukenal ketika kapal tempatku bertugas naik dok di Sembawang Shipyard Singapore, Rita tidak sungkan-sungkan menggamit tanganku mengajak untuk mampir dulu ke basemen Ratu Plaza.
Rupanya gadis ini mencoba mengingatkan nostalgia kami ketika makan siang di lantai dasar apartemennya. Di Ratu Plaza, Rita mengajakku untuk mencicipi sushi sashimi dengan minuman cincau (grass jelly) menyegarkan. Minuman pertama yang mengikat tali persahabatan kami keberkenalan dan bersahabat panjang di Singapura dulu kembali terhidang di atas meja kami.
Ketika aku mau pamit ---karena aku ada acara bertemu dengan teman sesama penulis & penyair di Citos, Cilandak--- gadis ini dengan manja merengek kembali. Derita Prahara minta padaku agar mau kiranya menemani dia Minggu pagi jam 10.00 ke Taman Mini Indonesia Indah. Aku tak dapat menolak, karena alasananya semenjak lepas dari SD di Blok B Kebayoranbaru sudah puluhan tahun ia tidak pernah berkunjung ke TMII.
Ya, permintaannya untuk menemani keliling TMII guna meminta brosur dan memahami adat kebiasan suku-suku di Nusantara, aku penuhi. Kesepakatan dibuat, bahwa kami bertemu nanti sebelum jam 09.00 di teras barat Pusat Grosir Cililitan (PGC). Tidak perlu datang berkunjung ke rumahku yang entah di mana ia tak pernah ingin tahu.
Aneh.
Edan.
***
Hari ini, ya di Minggu pagi ini permintaannya kupenuhi. Kami menaiki Bus Wisata Taman Mini yang berwarna pelangi tersebut. Kami sepakat memilih bangku deretan ke tiga di belakang supir. Soalnya bangku deretan pertama di samping dan pas di belakang supir adalah bangku khusus untuk penumpang disabilitas dan lansia.
Aku gembira dan bangga, rupanya angkutan umum jenis bus way / Trans Jakarta sudah mengikuti Standar Resolusi PBB menyangkut pelayanan bagi penumpang disabilitas, lansia dan wanita hamil. Bangku deretan pertama yang ada dalam bus adalah milik mereka.
Dalam perjalanan menuju TMII sudah tentu aku tidak akan menanyakan kenapa kakaknya yang tiga orang, seperti tidak merasakan kesepian dan kekosongan adiknya dalam hidup.
Dan aku pun tidak akan menanyakan lebih lanjut, kenapa tubuhnya yang masih bahenol ketika pertama kali berkenalan di Arab Street tempo hari, montok kelihatannya ketika bertemu di feri penyeberangan Bakauheni Merak dulu, kini kulihat begitu cepatnya merosot? Dan aku pun tidak akan menanyakan, semenjak kapan ia mulai mengenal racun nikotin?
Hari ini adalah hari gembira. Paling tabu kalau disusupi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan mengganggu keindahan suasana. Lagi pula, gadis ini ketika mengajak ke TMII dalam perjumpaan di Ratu Plaza kemarin, berjanji bahwa pertemuan yang terjadi sekarang ini adalah (mungkin) untuk terakhir kali.
Ooh, kenapa Rita? Akan kembali-lagikah esok hari ibu kota Jakarta kehilangan seorang gadis yang kalah dalam perjuangan hidup nan fana? Jangan memilih jalan singkat itu, nona. Oleh sebab itulah maka aku begitu antusias buat memenuhi ajakannya ke TMII.
Mungkin aku tidak begitu cukup merekam kisah yang dikeluarkannya dalam setiap perjumpaan. Tapi aku tahu, ia adalah alumni SMA yang terpandang di Selatan Jakarta. Pernah duduk di perguruan tinggi ternama di kawasan Jakarta Pusat selama empat semester. Kemudian studi masalah kecantikan dan perawatan wajah di college Singapura.
Sayangnya badai kehidupan yang begitu dahsyat melanda keluarganya ---orangtuanya--- tidak sanggup diterima oleh si bungsu ini. Ia biasa manja. Ia biasa ceria. Di rumah selama ini cukup tersedia.
Bahkan lebih, malah. Jalan-jalan ke luar negeri tiap liburan sekolah, sudah jadi kebiasaan dalam keluarganya. Kini, badai yang begitu dahsyat itu memporakporandakan mereka.
Papanya yang jadi kebanggaannya selama ini, yang paling dihormatinya, kini meringkuk di Sukamiskin, Bandung. Jika ada pakar analis politik tempo hari mengatakan, bahwa yang terkena OTT adalah mereka yang sedang apes saja, memang ada benarnya. Yang jelas Papa dari Rita adalah pejabat yang kena OTT.
Aku masih ingat, Mahfud MD (mantan Menko Polhukam) dalam dialog di Metro TV (16/8/24 : 21.00) mengatakan seluruh Kementerian RI ada korupsinya...!!! Dan, jauh-jauh hari sebelum reformasi 1998 dilahirkan Amien Rais dkk, begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo pun mengatakan hal yang sama : bahwa anggaran belanja RI tiap tahun bocor >30%. Bahkan ---aku masih ingat--- Ketua BPK Umar Wirahadikusuma pernah memberi statemen ke pers, bahwa tidak satu pun Departemen di zaman Orba yang bersih dari korupsi. Jadi, adalah sebuah statemen yang sublim, jika dimaklumkan yang terkena OTT adalah pejabat-pejabat yang sedang apes!!
Ibu yang tercinta ---yang tidak siap dan tak kuat menghadapi perubahan drastis dari permainan kehidupan di duniawi--- terjungkir ke lembah tak terduga. Ibunda tempat selama ini ia berbagi duka dan cerianya kehidupan, terbawa arus kehidupan kelas tinggi.
Ibu yang masih berhati muda, berwajah jelita, terbawa godaan kaum jet set yang bagai surga. Suka sama suka bercinta dengan suami orang, di hotel atau di motel boleh saja, bukan?
Dan Derita Prahara ---adikku yang selama ini ceria--- kini seakan tanpa cita-cita. Kutemani ia berkeliling di TMII sampai sore. Makan gado-gado, minum es kopyor dan menikmati Indonesia di Teater Imax. Ohooi hari yang ceria.
Tapi Ketika Rita meminta alamatku, berniat datang bertamu ke rumahku ---tempat kediaman kakaknya ini--- di belahan timur Jakarta, aku mulai sangsi. Pertemuan demi pertemuan yang tidak disengaja, yang kemudian menimbulkan rasa simpati itu, tampaknya akan membuahi sesuatu. Akankah hukum evolusi terhadap manusia kembali berlaku?
Bukan aku tak mau dikunjungi. Bukan aku tidak suka padamu. Bukan itu, Nona. Ah…., kalau saja hidup ini dapat diulang dari awal, betapa indahnya.
“Rita, sebaiknya persahabatan yang sejati itu adalah persahabatan yang tidak dirasuki unsur lain, adikku”, demikian pernah aku menulis SMS via WhatsApp padanya. Ketika sama-sama mencicipi minuman cincau (grass jelly) Ratu Plaza, kalimat yang sama juga kuulang.
Dan…… ucapan itu kuulang lagi hari ini….., ketika butir-butir air sudah mulai membasahi kelopak mata Rita. Ia merebahkan kepalanya ke dadaku di bangku taman yang terletak di pojok anjungan Sumatra Barat, tanpa kuminta.
Meski adegan bagai dalam film India ini membuat pengunjung anjungan TMII siang menjelang sore itu banyak yang tertegun ketika melewati tempat kami duduk, aku tidak perduli. Persetan dengan pengunjung lainnya. Kalian membeli tiket masuk, aku juga. Jadi hak kita sama di TMII. Jangan ganggu kami…!
Isak Rita semakin keras. Kuusap kepalanya dengan kasih. Kubetulkan anak rambutnya yang tergerai ke wajahnya. Tapi akankah semua ini dapat mentuntaskan gejolak dari sanubari kami?
Sayang kediamanku sudah ada yang memagarnya, Nona.
Meski niatmu tulus barangkali, tapi aku takut dengan kenyataan yang sering kualami dulu-dulu. Sungguh dik, dalam perjumpaan kita terakhir ini, aku merasakan sesuatu dari tatapan matamu itu. Mulut dapat diajak berdusta, tapi beningnya bola matamu yang menusuk hatiku mungkinkah dapat diajak sandiwara? Dan perasaaanku terhadapmu belakangan ini?
Cinta itu ---kata orang nan bijak--- memang indah, mempesona dan juga memabukkan. Ia jadi malapetaka besar bagi orang yang sudah mempunyai pelabuhannya di tempat lain. Akh, kalau saja hidup ini dapat diputar ulang…..
Dapatkah kau memahami ceritaku yang kau suruh tuliskan di Kompasiana yang jadi langgananmu dalam menikmati bacaan yang bermutu di medsos ini?
Bekasi Jaya, 17 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H