Pendidikan Nasional bangsa Indoensia belum berjalan sesuai yang dicita citakan. Masih banyak penyelewenagan baik yang dilakukan oleh Guru, peserta didik dan masyarkat. Akibatnya produk (lulusan) pendidikan belum mampu berbuat banyak untuk pembangunan bangsa.Â
Jika dirunut dari awal, sebenarnya Radikalisme tidak selalu identik dengan kekerasan atau teror. Akibat proses sosial akhirnya radikalisme menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang. radikalisme menyerang siapa saja termasuk lembaga pendidikan yang seharusnya membimbing dan membina agar peserta didik tidak terkena imbas radikalisme.Â
Radikalisme yang melanda dunia pendidikan tidak bisa dibiarkan, tetapi harus dilakukan langkah langka secepatnay agar mampu menekan atau meredam perilaku radikalisme sehingga pendidikan benar benar mampu menjalankan misinya sebagai proses memanusiakan manusia (humanisasi).
Radikalisme dapat dikatakan suatu faham atau cara fikir yang menjadi landasan untuk melakukan geralan kriminal atau teror meskipun dilihat akar sejarahnya radikalisme bersifat positif. Dalam dunia pendidikan tidak bisa terhindar dari fenomena fenomen kekerasan yang menjadikan tujuan pendidikan gagal di raih.Â
Radikalisme bisa muncul dari berbagai elemen dalam pendidikan. Secara umum fenomena radikalisme dalam pendidikan lahir dari guru kepada siswa, dari siswa kepada guru dan juga dari orang tua/ masyarakat kepada elemen elemen yang ada di dalam pendidikan.
 Berdasarkan catatan Harian Bali Post bahwa Selama tahun 2010-2014 tercatat gerakan kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan sebanyak 21.689.797 ( bali post 14 mei 2015). Bentuk bentuk kekerasan tersebut dialami oleh siswa ataupun guru.Â
Saekan Muchith ( 2008: 1-2) dalam buku Pembelajaran Kontekstual menjelaskan bahwa fenomena atau fakta kekerasan yang dapat dipahami sebagai bentuk radikalisme bisa dilihat dari beberapa kasus antara lai ; Di Magelang, siswa SD di tempeleng gurunya hanya gara gara siswa menyela pembicaraan guru yang sedang memberi pengumuman acara pertunjukan sulap. Di Tanjing pinang ada oknum guru olahraga menendang siswanya saat pembelajaran dengan alasan mendidik.Â
Di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan para guru mogok mengajar karena alasan salah satu guru agama di sekolah tersebut di penjara 6 bulan gara gara memukul siswanya. Aksi mogok mengajar dimaksudkan sebagai aksi protes agar oknum guru agama yang dipenjara/ tahan di bebaskan.
 Bentuk radikalisme dalam pendidikan tidak semuanya berupa aksi kekerasan, tetapi juga dapat diwujudian dalam bentuk ucapan dan sikap yang berpotensi melahirkan kekerasan yang tidak sesuai dengan norma norma pendidikan. Sikap yang berpotensi melahirkan kekerasan tersebut berimplikasi kepada munculnya situasi dan kondisi sekolah yang tidak menyenangkan bagi siswa dalam belajar.Â
Peran atau fungsi sekolah yang memiliki fitrah membimbing, mengarahkan siswa, tempat bermain dan belajar anak anak sekarang sudah berubah atau bergeser menjadi lembaga yang menakutkan, mencemaskan, menegangkan, bahkan menyiksa lahir dan batin para siswa.
Mengapa demikian? Karena orientasi pendidikan sudah berkurang yang awalnya sebagai bagian dari proses penyadaran menjadi proses pemaksaan dalam mengetahui, memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
 Perubahan situasi dan lingkungan serta suasana pendidikan yang melahirkan perubahan orientasi tersebut bukanlah tanpa sebab. Justru perubahan atau pergeseran itu merupakan akibat dari perkembangan atau dinamika budaya yang menerpa masyarakat. Artinya masing masing elemen dalam pendidikan tidak mampu mengambil nilai nilai positif atau manfaat akibat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan.Â
Mayoritas masyarakat justru mengambil makna negatif dari perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan. Misalnya, gerakan reformasi yang tujuannya sangat mulia untuk menegakkan aturan dan keadilan malah menjadi ajang saling " pembantaian" sosial. Transparansi yang dimaksudkan untuk sarana pertanggung jawaban tugas dan perannya malah berubah menjadi ajang mencari cari kesalahan orang lain yang akhirnya menyengsarakan pihak pihak tertentu. Sikap humanis atau memanusiakan orang lain yang dimaksudkan sebagai bagian dari upaya saling menghargai dan menghormati malah berubah menjadi realitas saling menyepelekan yang berujung tidak ada kepatuhan dan saling menghormati satu dengan lainnya.
 Etika dan sopan santun yang seharusnya dijunjung tinggi semua pihak, tetapi di lembaga pendidikan seperti sekolah seakan akan tidak ada lagi saling hormat antar guru, antara siswa kepada guru dan antara guru dengan pimpinan. Siswa inginya instan, sekolah serba mudah, cepat dan meraih hasil yang memuaskan.Â
Guru juga selalu mengharap pekerjaan yang serba mudah sehingga terkesan tidak mau repot dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Orang tua yang seharusnya mendukung penuh proses pendidikan dan pembelajaran anaknya di sekolah juga terkesan kurang perhatian atau kurang mendukung sehingga seolah olah sekolah dibiarkan menjalankan tugas tugas pendidikan.
 Berbagai fenomena budaya yang cenderung negatif tersebut, secara pelan pelan melahirkan kebiasaan yeng berakibat tidak atau kurang menghargai profesi dalam pendidikan. Guru dan sekolah sebagai lembaga lembaga pendidikan sangat mudah di lecehkan oleh siswa dan orangtua siswa atau masyarakat. Tidak sedikit siswa yang dengan mudah secara langsung maupun tidak langsung melakukan ancaman kepada gurunya yang notabenenya telah mendidik dan mengajar mereka jika sewaktu waktu siswa mengalami perlakuan yang kurang mengenekkan.Â
Orang tua siswa atau masyarakat begitu mudah dan cepat menyalahkan guru atau pihak sekolah jika mendapatkan anaknya memperoleh perlakuan yang tidak menyenangkan dari pihak guru atau sekolah. Atas nama hukum dan keadilan siswa ataupun orangtua siswa selalu menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di dalam proses pendidikan dan pembelajaran.Â
Apa implikasi dari fenoemana tersebut? Diakui atau tidak, guru dan pihak sekolah akan berfikir panjang ketika akan melakukan pembinaan kepada siswanya meskipun siswa ya diketahui akan " nakal" atau "ndableg" atau kurang memiliki motivasi dalam belajar. Dengan kata lain guru sering kali menerima ancaman hukum pidana umum jika dianggap telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan pihak siswa atau orang tua.
 Undang undang nomor 14 tahun 2005 pasal 39 ayat 1-5 secara jelas dan eksplisit bahwa guru minimal memmperoleh tiga macam perlindungan yaitu perlindungan hukum, perlindungan profesi dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Perlindungan hukum adalah perlindungan dari semgala macam ancaman tindak kekerasan, intimidasi, perlakuan diskriminatif dari peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain.Â
Perlindungan profesi adalah perlindungan dari perilaku pihak lain yang tidak sesuai peraturan perundang undangan yang terkait dengan menjalankan tugas profesi, misalnya pemutusan hubungan kerja, pemberian imbalan atau penghargaan yang tidak wajar, pembatasan dapam penyampaan pandangan, pelecehan profesi dan sehala bentuk pelarangan yang menghambat guru mengembangkan karir profesinya. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja adalah perlindungan dari berbagai bentuk gangguan keamanan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja.
 Aturan yang sudah sangat jelas atau terang benderang sampai sekarang belum bisa dilaksanakan secara optimal. Para guru masih diposisikan lemah terutama pada saat menjalankan tugas profesinya. Karena sikap dan perilaku guru saat menjalankan tugas profesinya tidak diselesaikan menggunakan aturan etika profesi tetapi langsung diselesaikan menggunakan aturan hukum peradilan pidana umum. Inilah sumber sekaligus bentuk dati lahirnya radikalisme dapam dunia pendidikan.
Mengeliminir Radikalisme
 Radikalisme bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tidak peduli anak anak, remaja, orang dewasa, tidak pandang mereka miskin atau kaya, tidak pandang mereka kelompok elit ataupun rakyat jelata. Radikalisme lebih banyak disebabkan oleh adanya faham atau pemikiran yang sempit terhadap suatu fenomena.Â
Oleh sebab itu radikalisme alan bisa ditelan atau dieliminir bahkan dihilangkan hatus diawali dati pembinaan atau bimbingan cara pandang atau cara fikir terhadap suatu fenomena. Nur Syam ( 2009) dalam buku Tantangan Multikulturalisme Indonesia memiliki analisis yang cukup menarik bahwa untuk melahirkan cara pandang yang tepat perlu belajar dari ideologi ahlussumah wal jamaah atau NU yang dicirikan dengan empat hal;
 Pertama, tawasuth ( moderat). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan suatu aktivitas tetapi sebebas apapun manusia masih dibatasi oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya dapam meraih keuksesan, manusia wajib ihtiyar secara optimal tetapi jangan lupa bahwa Allah swt juga ikut menentukan keberhasilan. Setelah berusaha manusia wajib berdoa dan pasrah kepada Allah swt.
 Kedua, tawazun ( keseimbangan). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia dalam memandang suatu realitas tidak boleh bersifat ektrem baik kekiri atupun ke kanan. Artinya manusia yang bauk tidak terlalu berlebihan pada saat senang atau benci kepada sesuatu. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sebaik baik menurut pandangan manusia belum tentu baik menurut Allah swt, sebaliknya sejelek jelek dalam pandangan manusia juga belum tentu jelek menurut Allah swt.
 Ketiga, i'tidal ( keadilan). Doktrin ini mengajarkan bahwa diantara sesama manusia harus saling memberikan kepercayaan dan kepercayaan yang dibangun harus memberikan peran secara proporsional. Dunia akan cepat hancur jika masing masing elemen tidak memiliki kesadaran untuk melaksanakan peran masing masing secara proporsional.
 Keempat, tatharruf ( universalisme). Doktrin ini mengajarkan Setiap manusia agar lebih mengedepankan pemahaman Islam yang bersifat universal ( global/ umum). Kebenaran Islam dilihat dari norma norma yang bersifat umum seperti keadilan, kemanusiaan, keselamatan dan kesejahteraan.
 Menurut M. Saekan Muchith, dalam Buku Pembelajaran Kontekstual (2008: 2-3), dari perspektif pendidikan, salah satu cara mengeleminir radikalisme bisa ditempuh dengan pola pembelajaran Kontekstual yaitu pola pembelajaran yang ditekankan kepada upaya pemberdayaan siswa bukan penindasan secara intelektual, sosial maupun budaya. Guru kadangkala terjebag kepada sifat penindasan daripada pemberdayaan siswa pada saat proses pembelajaran. persepsi guru yang sok pinter, menganggap siswa tidak mengerti apa apa atau bodoh akan menyebabkan potensi besar melakukan penindasan kepada siswa. dari sinilah yang melahirkan radikalisme atau kekerasan dalam pendidikan baik yang menyangkut kekerasan secara intelektual, psikologis, sosial dan budaya.
 Langkah berikutnya yang bisa dilakukan untuk mengeliminir atau membendung gerakan radikalisme dalam pendidikan adalah dengan cara memperkuat pola jaringan kerjasama internal sekolah dan jaringan eksternal antara sekolah dengan masyarakat dan orang tua siswa. Kerjasama internal adalah kerjasama yang rapi dan kompak antara pimpinan kepada guru, antar sesama guru dalam menghadapi, memahami dan menyelesaikanersoapan siswa.Â
Lengkah langkah yang dilakukan antara guru satu dengan lainnya, antara pimpinan satu dengan yang lain harus singkron sehingga tidak muncul kesan berbeda beda dalam melihat persoalan siswa. Kerjasama antar sekolah dengan masyarakat dan orang tua adalah pola koordinasi secara rutin dan sistematis jika terdapat persoalan yang muncul. Kerjasama dilakukan sesuai dengan jenis problem dan kepentingan yang ada, dan kerjasama tidak hanya dilakukan dalam konteks memberikan solusi atas persoalan yang muncul tetapi juga harus dilakukan dengan tujuan antisipasi atau pencegahan mumculnya persoalan dalam pendidikan.
Ada kesan sekolah atau pendidikan dipinggirkan dalam artian jika ada persoalan yang muncul, semua sebab musabab dianggap hanay dari kelemahan elemen elemen yang ada di sekolah. Akibatnya semua elemen menumpakan penyelesaian persoalan seakan akan menjadi tugas dan tanggung jawab sekolah.Â
Sekolah atau lembaga pendidikan merupakan open system yaitu suatu sistem tata organisasi yang sangat terbuka sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh pihak pihak luar. Artinya apa yang terjadi di dalam sekolah atau lembaga pendidikan terdapat faktor dominan dari pihak luar pendidikan. Oleh sebab itu dalam penyelesaiannya juga harus bersifat utuh dan komprehensif.
 Secara tehnis regulatif, untuk mengeliminir lebih meningkatnya gerakan radikalisme dalam pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan atau melaksanakan secara sungguh sungguh amanah undang undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen khususnya pasal tentang perlindungan.Â
Sebagai salah satu profesi, guru dalam menjalankan tugasnya harus diberikan tiga jenis perlindungan seperti yang tercantum dalam pasal 39 ayat 1-5 sehingga guru dalam menjalankan tugasnya merasa nyaman dan aman. Jika pasal tersebut diberlakukan maka pihak pihak lain tidak bisa serta merta melakukan penyelesaian melalui peradilan pidana umum. Apa bila guru melakukan hal hal yang dianggap kurang tepat dalam waktu menjalankan tugas profesi atau di dalam proses pembelajaran dan pendidikan maka harus diselesaikan melalui undang undang profesi yang ditegakkan oleh dewan kehormatan etika profesi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H