Berbicara politik secara umum menyangkut dua hal, pertama bagaimana memperoleh kekuasaan yaitu cara cara yang dilakukan seseorang (pribadi) atau kelompok untuk memperoleh jabatan di pemerintahan, khususnya jabatan legeslatif atau kepala daerah atau jabatan lain yang berkaitan dengan kekuasaan.Â
Politik dalam tahap ini biasa disebut politik praktis dimana aktornya adalah partai politik dan lembaga legeslatif.Â
 Kedua, bagaimana proses atau langkah langkah memberikan  penyadaran (pemberdayaan) kepada masyarakat agar memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang etika berbangsa dan bernegara. Tanggal 27 juni 2018 dan pemilu legeslatif dan pemilu presiden yang akan dilaksanakan bulan april 2019.  pada tahap ini biasa disebut politik kebangsaan (politik kultural) yang dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa kecuali.
Pada tahun 2018 dan 2019 seluruh bangsa Indonesia akan melaksanakan proses politik praktis yang ditandai dengan Pemilu Kepala Daerah (pilkada) serantak tahun 2018, pemilu legeslatif (Pileg) Â dan Pemilu Presiden (Pilpres) pada bulan april 2019. Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana pandangan masyarakat Jawa Tengah terhadap perhelatan politik praktis. Â
Persepsi terhadap Politik uangÂ
Survey yang dilakukan penulis bersama Lembaga survey  Tasamuh Indonesia Mengabdi (Time) Jawa Tengah pada bulan desember 2017 dengan jumlah memperoleh ahsil yang sangat mengejutkan. Terhadap pertanyaan " Bagaimana Pendapat anda tentang Money Politic dalam pemilu ?. Yang menjawab pilihan A. (Akan saya terima uangnya, pilihan terserah saya), sebanyak 16 %. Yang menjawab pilihan B (Money Politik tidak salah kalau untuk ganti uang transport) sebanyak 48 %, dan yang menjawab pilihan C (Apapun alasanya, money politik tidak boleh) sebanyak 36 %.
Berdasarkan hasil survey tersebut, hanya 36 % masyarakat yang secara jelas menolak segala bentuk praktik politik uang dalam pemilu/pilkada. Selebihnya sekitar 64 % proses menyatakan politik uang dianggap hal yang wajar.Â
Dilihat dari  perspektif sosial, hasil survey ini dapat dikatakan bahwa ditengah tengah masyarakat telah terjadi anomali (penyimpangan), satu sisi bangsa Indonesia sedang giat giatnya upaya untuk memberantas korupsi, tetapi disisi lain masyarakat masih memiliki persepsi bahwa politik uang dalam pemilu sesuatu hal yang wajar.Â
Padahal Politik uang merupakan salah satu bentuk praktik korupsi yang harus dibersihkan tanpa pandang bulu.
Larangan politik uang secara eksplisit diatru dalam Undang Undang Nomor 10 tahun 2016 pasal 187 A yaitu " Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberi uang atau materi lainya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara lanagsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilih dnegan cara tertentu sehingga suaranya tidak sah, memilih calon tertentu atau tidaka memilih sebagaimana pasal 73 ayat 4 dipidana paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 Milyar".
Pasal dalam undang undang ini sangat jelas tidak memberi ruang gerak siapapun untuk melakukan politik uang dengan berbagai modusnya. Oleh sebab itu bunyi pasal ini harus benar benar dipahami oleh seluruh masyarakat agar semua pihak taat dan patuh serta memiliki komitmen untuk tidak melakukan praktik politik uang. Kenapa masih terjadi praktik politik uang dan justru masyarakat memiliki persepsi yang wajar terhadap piolitik uang?. Â Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan maraknya praktik politik uang,
Pertama, faktor ekonomi (kemiskinan). Di tengah masyarakat yang tingkat perekonomiannya belum stabil, memberi peluang besar terjadinya praktik politik uang. Hal ini disebabkan karena masyarakat miskin secara materi selalu menginginkan materi untuk mempertahankan nasib kehidupan sehari hari.
 Kedua, faktor akademis, yaitu ketidak tauhan atau ketidakpahaman masyarakat terhadap regualsi atau undnag undnag yang mengatur tentang pemilu dan praktik politik uang. Ketidak pahaman terhadap regulasi pemilu khususnay yang mengatur politik uang menyebabkan  masih belum banyak masyarakat yang paham betul apa manfaat pemilu bagi kelangsungan demokrasi.Â
Akibatnya ada kecenderungan  masyarakat yang menganggap pemilu adalah proses memberi dan menerima uang akan membuka peluang besar para oknum untuk melakukan praktik politik uang.
 Ketiga, faktor budaya. Adanya anggapan seseorang yang rajin memberi sesuatu materi dianggap orang yang baik dan sukses secara kultur akan mendorong tumbuh suburnya praktik politik uang yang dikemas dengan berbagai istilah seperti, shodaqah politik, pengganti uang transport atau tanda ucapan terima kasih dan lain sebagainya.
Makna Pemilu /PilkadaÂ
Pada bulan pebruari 2018, penulis bersama lembaga survey Tasamuh Indonesia Mengabdi (Time) melakukan survey tentang pemahaman masyarakat Jawa Tengah terhadap pemilu atau pilkada. Survey dnegan jumlah responden 461, secara umum dapat dikatakan bahwa mayoritas amsyarakat Jawa tengah memahami bahwa Pemilu atau pilkada baru bisa melahirkan pemimpin tetapi belum mampu mensejahterakan rakyat.
Terhadap pertanyaan Apa yang anda pahami tentang manfaat Pemilu/Pilkada ?  yang menjawab A ( pemilu adalah menghasilkan pemimpin yang mensejahterakan elit/kelompoknya sendiri ) sebanyak  39 %. Yang menjawab B ( pemilu adalah menghasilkan pemimpin tetapi tidak bisa mensejahterakan rakyat kecil) sebanyak 27%. Yang menjawab C (pemilu hanya melahirkan pemimpin saja, tidak bisa mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia) sebanyak 11%. Yang menjawab D ( melahirkan pemimpin dan mampu mensejahterakan rakyat kecil) sebanyak  2  %.  Yang menjawab E (pemilu adalah melahirkan pemimpin yang mampu mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia) sebanyak 5 %.  dan Yang  menjawab F (tidak tahu) sebanyak 16 %.
Berdasarkan survey diperoleh data bahwa masyarakat Jawa Tengah  mengatakan kalau Pemilu/Pilkada mampu melahirkan pemimpin. Tetapi dalam hal urusan kesejahteraan masih jauh dari harapan.Â
Hanya 2 % masyarakat yang memiliki persepsi atau pemahaman bahwa pemilu/pilkada adalah melahirkan pemimpin yang mampu mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Selebihnya memiliki persepsi bahwa pemilu itu belum mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Persepsi seperti ini jika dibiarkan akan berakibat fatal dalam membangun iklim demokrasi bangsa Indonesia. Konsekuensinya harus segera ada sosialisasi yang tepat kepada masyarakat kecil (arus bawah) tentang materi yang berisi pemahaman pentingnya dan manfaat pemilu/pilkada bagi rakyat.Â
Arus bawah harus benar benar paham bahwa pemilu itu akan memberikan banyak manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat.Â
Pemilu/Pilkada selain melahirkan sosok pemimpin juga akan menghasilkan prodiuk produk perundang-undangan atau regulasi yang bermanfaat secara langsung ataupun tidak langsung kepada seluruh masyarakat.
Pemerintah dan elemen terkait harus segera menyampaikan informasi yang utuh bahwa Pemilu/Pilkada itu benar benar bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh elemen bangsa Indoensia. Pemilu/Pilkada bukan kepentingan elit saja tetapi kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Pemahaamn atau persepsi yang salah terhadap manfaat pemilu/pilkada akan berakibat rendahnya partisipasi masyarakat dalam memberikan hak pilihnya. Oleh sebab itu agar angkat partisipasi pemilih lebih besar/tinggi, maka sosialisasi secara tepat sasaran dengan materi yang  utuh dan komprehensif segera dilakukan oleh KPU dan elemen yang terkait.
Pemilu Langsung
Selain manfaat Pemilu/Pilkada, survei juga menggali tentang persepsi masyarakat tentang sistem pemilu/pilkada. Terhadap pertanyaan Apakah Pemilu/Pilkada harus dilaksanakan dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat ? yang menjawab A ( harus) sebanyak 42 %. Yang menjawab B (tidak harus) sebanyak 58% dan yang menjwab C (tidak tahu) 0 (0 %).
Sebanyak 58 % masyarakat berpendapat bahwa pemilu/Pilkada tidak harus dilaksanakan dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat. Artinya pemilu/pilkada dengan pemilihan langsung oleh rakyat tidak mutlaq dilakukan.Â
Pemerintah dan elemen yang terkait harus mulai melakukan kajian kajian secara ilmiah dan obyektif tentang kemungkinan melakukan pemilu atau memiliki pemimpin tidak selalu dilakukan pemilihan lanagsung oleh rakyat.Â
Pada hakekatnya pemilu adalah proses memilih pemimpin mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling fendah yaitu desa/kepala desa. Proses pemilihan pemimpin bisa dilakukan dnegan cara lain seperti dengan cara penunjukan, pemilihan melalui ;perwakilan rakyat dan juga bisa dilakukan dengan sistem formatur.
Berdasarkan data survey ini dapat dikatakan bahwa proses pemilihan pemimpin yang dilakukan dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat bukan sesuatu yang mutlaq/paten atau tidak bisa dirubah.Â
Tujuan utama bukan pada memilih atau melahirkan pemimpin saja, tetapi yang penting bagaimaan terwujudnya tatanan sistem kehidupan yang mampu melahirkan rasa keadilan, kenyamanan, keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.Â
Pemahaman Politik PelajarÂ
Pelajar merupakan elemen penting dalam pemilu yang perlu mendapat perhatian dari semua kalangan agar para kaula muda (pelajar) memiliki pemahaman yang utuh tenetang proses pemilu. Penulis bersama Time pada bulan desemebr 2017 melakukan survey dnegan tema "Wawasan Kebangsaan dan Pemilu". Survey di lakukan kepada pelajar yang tersebar di 16 kabupaten di Jawa Tengah yaitu  Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Gorobogan, Kabupaten Demak, Kota Semarang, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kota Salatiga, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Boyolali,  Kabupaten Klaten dan Kabupaten Magelang dengan total 483 responden atau voters.
Ada tiga pertanyaan yang dikirim langsung ke Nomor WA para pelajar yaitu tentang pemahaamn pelajar terhadap pelaksanan pemilu dan pemilukada serentak tahun 2018, tentang sikap pelajar antara NKRI dan sistem khilafah dan sikap pelajar terhadap pencalonan Presiden Jokowi untuk periode selanjutnya.
Terhadap pertanyaan, Mana yang yang anda pilih (A) Saya Sudah Memahami pemilu atau Pilkada serentak tahun 2018 (B) Saya belum  memahami pemilu atau Pilkada serentak 2018. Pelajar memberikan respon atau jawaban A yaitu sudah memahami pemilu dan pilkada serentak , sebanyak 17 %. Sedangkan yang menjawab B yaitu saya belum memahami pemilu dan pilkada serentak  sebanyak 83%.
Berdasarkan  hasil survey tersebut, diperoleh data bahwa mayoritas ( 83 %) pelajar di Jawa Tengah belum memahami tentang pemilu dan juga pemilukada serentak tahun 2018. Data ini  patut menjadi keprihatinan berbagai pihak, bahwa pelajar yang belum mengetahui dan memahami pemilu masih sangat tinggi.
Faktor tingginya ketidak pahaman pelajar terhadap pemilu setidaknya oleh dua hal, pertama, akibat acuh tak acuhnya pelajar terhadap pemilu. Sehingga para pelajar tidak memiliki kepedulian terhadap hal hal yang berkaitan dengan pemilu. kedua, faktor kurang optimalnya sosialisasi yang dilaksanakan lembaga yang memiliki kewenangan menyelenggarakan pemilu.
Lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kabupaten. Sedangkan lembaga yang memiliki tugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil adalah Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu.
Terhadap hasil survey yang menjelaskan mayoritas pelajar di jawa tengah belum mengetahui dan memahami pemilu, maka Yayasan Time sebagai pelaksana survey memberikan saran atau rekomendasi kepada KPU dan Bawaslu harus meningkatkan sosialisasi pemilu secara tepat, utuh dan mendalam (detail) mulai dari tahapan awal sampai tahapan yang paling akhir.Â
begitu juga bawaslu harus juga melakukan sosialisasi secara optimal tentang mekanisme cara cara melakukan pengawasan dan cara melaporkan jika diketahui ada pelanggaran dari peserta pemilu.
Terhadap pertanyaan mana yang anda pilih (A) Indonesia berdasarkan Pancasila dan NKRI (B) Indonesia berdasarkan sistem khilafah atau negara Islam. Sebanyak 69 % Pelajar menjawab A yaitu Indonesia Berdasar Pancasila dan NKRI, sedangkan pelajar yang menjawab B yaitu Indonesia berdasar sistem khilafah atau negara Islam sebanyak 31 %.
Berdasarkan hasil survey tersebut,  kami berpendapat bahwa  pendidikan dan pembelajaran disekolah telah berhasil membimbing dan mengarahkan cara fikir pelajar terhadap hubungan negara dan agama khususnya Islam, Artinya nasionalisme para pelajar di Jawa Tengah dapat dikatakan sangat baik dan eprlu ditingkatkan.
 Meskipun secara mayoritas pelajar dapat dikatakan memiliki jiwa atau semangat nasionalisme yang tinggi, tetapi  masih ada 31 % pelajar yang menghendaki Indonesia berdasarkan khilafah. Â
Angka 31 % ini menjadi pekerjaan Rumah (PR) bersama untuk dibimbing dan dibina agar di masa mendatang pelajar tersebut berubah dalam memandang sistem kenegaraan Indonesia menjadi lebih mencintai Pancasila dan NKRI dari pada sistem negara Khilafah (Islam).Â
Apapun alasannya, Bagi bangsa Indonesia Pancasila dan NKRI merupakan kesepakatan nasional yang perlu di pertahankan dan semakin diperkuat bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Terhadap pertanyaan, Mana yang yang anda pilih (A) Jokowi cukup satu periode saja menjadi presiden. (B) Jokowi lebih baik Menjadi Calon Presiden lagi di pemilu tahun 2019. Â
Pelajar memberikan respon atau jawaban, A yaitu Jokowi Cukup satu periode saja sebagai presiden sebanyak 48 %. Sedangkan yang menjawab B yaitu Jokowi lebih baik Menjadi Calon Presiden di pemilu tahun 2019 nanti sebanyak  52 %.
Berdasarkan hasil survey, diperoleh data bahwa sebagian besar pelajar di Jawa Tengah memiliki harapan kepada Presiden Jokowi untuk maju lagi sebagai calon presiden di Pemilu tahun 2019. Ada separo lebih pelajar di Jawa tengah menghendaki Jokowi maju lagi sebagai calon presiden menandakan keberhasilan Presiden Jokowi dalam membangun bangsa Indonesia.
Pelajar yang dapat dikategorikan masih memiliki idealisme dan tidak memiliki kepentingan apapun, telah memberikan harapan besar dan juga memberikan penilaian kepada kinerja Presiden Jokowi selama ini dianggap telah berhasil dalam memimpin bangss Indonesia semakin lebih baik.
Tokoh Agama dan PolitikÂ
Berdasarkan hasil survey penulis bersama Time pada tahun 2017 diperoleh data bahwa  mayoritas masyarakat tidak setuju jika tokoh agama ikut dalam proses pemilu/pilkada.  Terhadap pertanyaan " Bagaimana Pendapat anda jika ada Kiai/Ulama mencalonkan diri sebagai calon wakil DPR atau calon kepala daerah?Â
Yang menjawab Setuju karena Kiai/Ulama akan mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat sebanyak 22 %). Yang menjawab Tidak setuju karena Kiai/Ulama lebih mulia jika bersikap netral untuk semua golongan, sebanyak  78 %..
 Tokoh agama (ulama) lebih tepat berperan sebagai kekuatan moral masyarakat yang selalu membimbing dan memebri pencerahan masyarakat dalam menyelesaikan problematika kehidupan. Sekurang kiurangnya, tokoh agama /iulama/kiai memiliki tiga peran yaitu : Pertama,Himayat-ud din, yaitu melindungi agama dari pengaruh-pengaruh al-'aqaid al-fasidah (akidah sesat) dan al-afkar al-munharifah (pemikiran-pemikiran menyimpang, esktrem, dan radikal) yang membahayakan agama.
Kedua, Himayat-ud daulah (melindungi negara). Bagi bangsa Indonesia pancasila dan NKRI merupaakn kesepakatan mutlaq bagi seluruh elemen bangsa yang harus dijaga  secara optimal.
Ketiga, Islah al-ummah (mempersatukan umat). Peran Kiai/Ulama yang tidak boleh ditinggalkan adalah pemersatu bangsa, dimana bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan agama. Oleh sebab itu Kiai/Ulama harus mampu menjadi perekat tali persaudaraan antar umat, kelompok, agama dan suku.
Penulis adalah Dosen IAIN Kudus, peneliti Pada tasamuh Indonesia Mengabdi (Time) Jawa Tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H