Siswa Itu Harus Kehilangan Jari-nya
Miris. Ketika melihat seorang siswa kelas VII SMP Negeri 16 Kota Malang, berinisial MS harus kehilangan jarinya akibat aksi perundungan. Berdasarkan pemberitaan di sejumlah media massa, MS harus kehilangan jari-nya akibat ulah tujuh temannya di sekolah.
Kapolres Malang Kota, AKBP Leonardus Simarmata, dalam sejumlah keterangannya mengatakan, jika tujuh teman MS di sekolah telah membantingnya ke paving dalam posisi telentang.Â
Bukan itu saja, MS yang dikenal sebagai seorang pendiam, juga dilempar ke pohon. Akibatnya, jari tengah MS terpaksa bermasalah secara medis dan harus diamputasi.
Paman korban, Taufik, mengatakan, keputusan mengamputasi jari tengah korban lantaran keputusan tim dokter pasca melakukan observasi kepada MS. Remaja 13 tahun itu harus kehilangan jari tengahnya, akibat perilaku temannya.
Lebih miris lagi, kata Taufik, kondisi psikis MS kini sedang dalam kondisi yang kurang baik. Sejak jarinya diamputasi, ia selalu menangis lantaran ada yang hilang dari anggota tubuhnya.
Pihak kepolisian, juga terus melakukan penyelidikan terhadap kasus ini dengan memeriksa sejumlah saksi, termasuk teman MS yang diduga melakukan aksi perundungan.
Melawan Perundungan dengan Perundungan, Tepatkah?
Berita tentang MS lantas ramai, dibahas di media sosial. Sejauh pengamatan penulis, para warganet merasa geram dengan Pemerintah Kota Malang, dalam hal ini amarah ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang, Zubaidah.
Dalam sebuah postingan di salah satu grup facebook, Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang dianggap warganet mengeluarkan statemen yang tidak pantas. Zubaidah mengatakan, jika apa yang dialami oleh MS hanyalah bercandaan belaka.
Tapi setelah penulis lihat kembali video itu, Zubaidah sebelum melontarkan kata bercanda, ia mengatakan dua kali kalimat berbunyi "kesimpulan sementara".
Jika disambung kurang lebih Zubaidah mengatakan "Kesimpulan sementara, kesimpulan sementara, anak-anak itu guyon (bercanda) di masjid, ini teman-temannya ada tujuh anak sahabatnya MS, menyampaikan kronologisnya, dari yang tangannya sakit, bukan karena kekerasan karena saking seringnya kecepit gesper,"
Video yang hanya berdurasi 31 detik lantas menuai reaksi dari para warganet. Perundungan, lalu dialamatkan kepada Kepala Dinas Pendidikan Zubaidah, dari dia dianggap tidak becus memimpin lembaga, diminta untuk mundur dari jabatannya, dan mohon maaf, perundungan terhadap wanita berhijab itu juga mengarah kepada fisik atau "body shaming". Meme soal Zubaidah terus bermunculan, disamping desakan agar mundur dari jabatan.
Desakan agar Zubaidah mundur dari jabatan, atau meminta maaf secara terbuka, menurut penulis bisa jadi masuk akal, karena sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai Kepala Dinas Pendidikan.Â
Namun, sikap "body shaming" tentu sangat disayangkan, karena tidak bijak menyelesaikan kasus perundungan MS dengan melakukan perundungan terhadap Zubaidah.
Memang, ada kesan Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah SMP Negeri 16 pada saat Zubaidah melontarkan kalimat kontroversi itu, hendak menutupi kasus perundungan siswa tersebut. Bisa jadi langkah itu salah, tapi apa yang disampaikan oleh Kepala Dinas kala itu juga kurang tepat.
Sehingga, wajar ketika warganet yang sudah geram dengan aksi perundungan yang sampai menyebabkan korbannya harus diamputasi, lantas diganjar statemen hal itu hanya guyonan semata. Upaya warganet yang mengawal kasus tersebut hingga tuntas, patut diacungi jempol, agar perundungan serupa tidak terjadi kembali.
Akan tetapi, mengawal kasus dengan menegakkan aturan hukum, lalu melebar ke perundungan yang ditujukan kepada Zubaidah hingga sampai "body shaming" juga bukanlah hal yang bijak. Apapun alasannya, bahkan dengan dalih itu "guyon" sekalipun.
Penulis berpendapat ada dua sisi yang harus diperhatikan dalam menganalisa Zubaidah. Pertama adalah sisi jabatan dia, dan kedua adalah sisi pribadi-nya dan hak-hak nya sebagai warga negara.
Oke, kita akui memang kepala dinas bisa jadi lalai dengan tugasnya sehingga menyebabkan kasus perundungan berbuah amputasi itu terjadi. Maka sekali lagi teriakan warganet yang menginginkan agar Zubaidah dicopot atau dimutasi serta meminta maaf ke publik penulis kira layak. Sebab berkaitan dengan jabatan yang ia emban.
Akan tetapi, "body shaming" yang dilakukan beberapa oknum warganet? Saya kita itu tidak tepat. Apalagi dilontarkan oleh warga Kota Malang yang notabenenya yakni daerah dengan julukan "kota pendidikan".
Menyelesaikan kasus perundungan tidak harus dengan merundung pribadi seorang kepala dinas, hingga menghina fisik. Ada hal-hal batasan antara jabatan dengan kehidupan pribadi yang harus dihormati.
Bahkan, akan sangat lucu ketika kita melawan perundungan tapi dengan cara merundung. Logikanya seperti melawan aksi kejahatan dengan kejahatan pula. Masih ada nilai-nilai yang harus kita pegang dalam berbangsa dan bernegara. Sekali lagi, penulis tidak sedang membela siapapun dalam posisi ini.
Kasus perundungan terhadap siswa di Kota Malang kerap menjadi perhatian nasional. Selain kasus MS, sebelumnya dunia pendidikan di Kota Malang juga diramaikan dengan oknum guru honorer yang melakukan pelecehan seksual terhadap 20 siswi, di salah satu Sekolah Dasar.
Apapun itu, aksi perundungan terutama yang mengena fisik tidak bisa dibenarkan. Mengawal kasusnya adalah sebuah kewajiban agar kejadian serupa tak terulang. Tapi, melawan perundungan dengan perundungan, juga bukan hal tepat yang harus dilakukan.
Mininmnya Informasi dan Pentingnya Komunikasi Publik yang Baik
Apa yang menimpa Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang, Zubaidah, adalah salah satu contoh bagaimana pentingnya komunikasi publik yang baik. Bagaimana tidak, di tengah masyarakat yang geram akan kasus perundungan, kata "guyon" atau bercanda justru keluar dari statemen sang kepala dinas.
Penulis memahami ada kalimat "kesimpulan sementara" sebelum kata "guyon" disematkan. Namun, amarah publik lantas tidak bisa menerima itu semua. Publik menginginkan agar kasus perundungan yang menjurus kepada fisik segera ditindak, dan diputus mata rantainya.
Harusnya, dalam kacamata penulis, statemen itu tidak keluar dari kepala dinas. Kala itu, Zubaidah cukup bersikap tegas dan berani akan menindak kepala sekolah SMP Negeri 16, lantaran terputusnya informasi terkait hal tersebut.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan jika sekolah tidak memiliki sistem pengaduan yang baik, sehingga korban perundungan tidak bisa melapor dengan baik.
Retno menceritakan bahwa ia telah menghubungi pihak Dinas Pendidikan Kota Malang. Ia mendapat informasi bahwa pihak sekolah tidak pernah melaporkan masalah ini kepada Dinas Pendidikan Kota Malang.
Masih menurut Retno, justru Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang, Zubaidah, tahu kasus ini dari para wartawan. Kronologisnya, saat itu Zubaidah sedang menjenguk rekannya yang sedang berada di rumah sakit.Â
Lantas ia bertemu dengan wartawan yang berada di rumah sakit yang sama usai meliput MS lantaran video jari tengahnya yang terluka viral di media sosial.
Saat di rumah sakit itulah, justru Zubaidah tahu ada kasus tersebut dan menjenguk korban. Nah, dari situlah harusnya Zubaidah "naik pitam" karena pihak sekolah menyembunyikan kasus tersebut dari dirinya. Sehingga tidak salah jika ia bersikap tegas kepada kepala sekolah yang terkesan menutupi kasus tersebut.
Dengan kata lain, mengungkapkan kalimat "guyonan" dalam statemen di media massa dan dibaca oleh publik, bukanlah jawaban yang tepat, melainkan menambah amarah dari warganet.
Justru dalam hal ini, Polres Kota Malang mendapat tempat di hati publik, lantaran bertindak cepat dalam menyelesaikan kasus tersebut. Berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan Zubaidah, Kapolres Malang Kota, justru di berbagai media massa menunjukkan sikap tegas dan tidak pandang bulu dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Apa yang disampaikan Kapolres Malang Kota, mewakili keresahan publik. Keresahan orang tua yang takut anaknya mengalami kejadian serupa. Di tengah masyarakat merasa takut hal tersebut terjadi pada anak mereka, ungkapan "guyonan" dari Zubaidah bukanlah jawaban tepat yang diinginkan publik.
Sehingga "serangan" warganet ke Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang bisa dimaklumi. Namun, sekali lagi, "serangan" itu harus sewajarnya, berkaitan dengan jabatannya, tidak berkaitan dengan pribadi apalagi sampai kepada "body shaming".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H