Nyaman sekali aku duduk dengan kecepatan setinggi itu. Nyaris tidak terasa ada guncangan. Jauh lebih nyaman ketimbang naik pesawat yang tak jarang berguncang karena turbulensi atau tamparan awan.
Aku mencoba menikmati panorama di balik kaca jendela kereta. Tapi tak banyak yang bisa kunikmati karena pemandangan di luar sangat cepat berlalu. Tujuan naik Whoosh memang menikmati kecepatan, bukan keindahan. Kalau mau menikmati pemandangan, naik Argo Parahyangan, Papandayan, atau Pangandaran saja.
Saat memandang ke luar jendela kereta, sebuah kontras tergambar dalam benakku. Di luar sana tampak pemukiman warga yang padat dan, untuk sebagian, tua dan kumuh. Rumah-rumah tampak berdesakan, hanya menyisakan gang-gang sempit. Â Jalan-jalan di sekitarnya masih tanah, atau aspal mengelupas, atau beton cor. Lalu sawah dan tegalan yang polanya dari dulu begitu saja.
Apa yang terlihat di luar sana adalah fakta keterbelakangan, cermin kelambanan gerak pembangunan. Perubahan sosial-ekonomi berjalan lamban di situ. Â
Kontras dengan Whoosh yang sedang mendesing di jalurnya. Kereta ini adalah bagian dari sebuah koridor kemajuan, modernisasi eksklusif, cermin kecepatan dalam gerak pembangunan. Whoosh yang kutumpangi ini adalah fakta minoritas warga pembeli waktu, yang hidupnya selalu bergerak maju cepat. Tanpa melihat mereka yang tertinggal di belakang.
"Lihat itu pabrik-pabrik di luar sana." Celoteh istriku membuyarkan gambaran ironi pembangunan dalam benakku.Â
"Ya, tentu saja ada koloni-koloni yang bergerak cepat di luar sana," pikirku. Itulah komplek industri dan perumahan yang dengan cepat melahap areal pertanian, sawah dan tegalan. Lalu petaninya mungkin menyisih ke lereng gunung sana, atau terseret ke tengah arus ekonomi informal perkotaan.
Duduk nyaman di dalam gerbong Whoosh lalu terasakan sebagai absurditas bagiku. Untuk sejenak aku menjadi bagian dari modernitas, dunia terdigitalisasi yang bergerak maju cepat atau supercepat dalam wujud Whoosh.Â
Sementara di luar sana ada dunia nyata yang bergerak lamban, masyarakat pedesaan dan kampung-kota. Itu duniaku yang sejatinya. Dunia yang masih diwarnai keterbelakangan dan kemiskinan.Â