"Rasanya teramat dungu, saat kusadari jawaban pertanyaanku ternyata ada di depan mata."
Aku merasa bersalah telah berprasangka miring tentang Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar, almamaterku sendiri.Â
Ceritanya begini.
Sejak dulu sempat menjadi seminaris (1974-1976) di sekolah calon pastor itu, sampai pada kunjunganku ke sana pada pertengah dan akhir tahun 2024 ini, tak kutemukan satu pun simbol atau jejak Santo Fransiskus di sudut-sudutnya. Katakanlah sebuah patung Santo Fransiskus di halaman depan. Atau setidaknya sebuah lukisan santo itu di dinding lobby.
Padahal seminari ini dikelola oleh Ordo Fratrum Minorum Kapusin (OFM Cap). Tarekat religius Gereja Katolik ini jelas-jelas mengamalkan prinsip-prinsip hidup Santo Fransiskus dari Asisi. Lulusan seminari ini, bila terpilih menjadi pastor, mayoritas juga bergabung ke OFM Cap.
"Masa sih gak ada simbol atau jejak Santo Fransiskus di komplek seminari ini?" Aku bertanya-tanya saat duduk pada kursi di teras Domus Patrum, rumah pastor, pada sebuah pagi yang sejuk di awal Desember lalu. "Lupa pada akarnya," desisku menuduh.
Aku melempar pandang lurus ke depan, segaris jalan setapak yang terbikin dari susunan paving block. Â Di ujung jalan setapak itu, di seberang jalan komplek yang membujur dari utara ke selatan, tampak dinding timur kapel seminari. Â Dari dalamnya terdengar doa didaraskan dan nyanyian dilambungkan. Seminaris sedang berdoa pagi.Â
Kualihkan pandangan menyapu pekarangan Domus Patrum. Penuh pepohonan dan perdu, pekarangan itu tampak hijau asri menghutan. Ada kicau dan cericit burung-burung dari pucuk pepohonan. Lalu dua ekor kupu-kupu terbang di sela-sela tajuk perdu.
"Ah, serasa istirahat di tengah hutan," batinku sembari memejamkan mata, menghirup dalam-dalam udara segar.
"Hei, ini permakultur! Bukankah ini jejak Santo Fransiskus?" Aku bersorak dalam hati.Â