Sewaktu di SD, Â guru-guru menjulukiku "Raden Saleh". Â Tak pahamlah aku waktu itu siapa Raden Saleh. "Pelukis besar Indonesia," seorang guru mencoba menjelaskan saat pelajaran "Sejarah Indonesia". Ya, sudah, percaya saja. Â Sebab dalam ulangan akan muncul pertanyaan "Siapa nama pelukis besar Indonesia pada masa penjajahan Belanda?"Â
Masa  SD adalah masa kenikmatan menggambar menggunakan media kertas dan pinsil warna. Aku diajari menggambar oleh guru-guru yang tidak bisa menggambar. Kami selalu disuruh menggambar alam pedesaan di pagi hari dengan teknik perspektif.  Matahari terbit berwarna kuning dari antara dua gunung biru.  Lalu ada jalan raya berwarna hitam yang berpangkal pada pertemuan kaki dua gunung itu.  Di kiri dan kanan jalan terhampar sawah dengan padi menguning. Lalu di satu sisi jalan berdiri tiang-tiang dan bentangan kawat telegraf.Â
Kelak aku sadar model pelajaran menggambar seperti itu sejatinya membunuh aktivitas dan kreativitas siswa. Puluhan tahun kemudian di Jakarta aku menemukan siswa SD masih menggambar obyek alam desa seperti itu. Â Padahal jelas-jelas di Jakarta matahari terbit dari sela-sela gedung, tanpa hamparan sawah di kiri dan kanan jalan.Â
Menggambar yang sebenar-benarnya menggambar baru kualami saat masuk SMP Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar. Â Gurunya, Pastor Philippus, OFM Cap., benar-benar seorang perupa aliran ekspresionis. Dari dialah aku belajar menggambar menggunakan media pinsil (hitam-putih), tinta cina, dan cat air di atas kertas.
Nulla dies sine linea. Â Pastor Philippus waktu itu tak mengujarkan nasihat Plinius Tua tersebut. Â Tapi jelas dia mengamalkannya dengan cara membimbing kami menggambar macam-macam garis pada beberapa minggu pertama. Â Garis-garis lurus dan lengkung, tipis dan tebal, rapat dan renggang. Tujuannya untuk menggambarkan gradasi dari gelap ke terang atau sebaliknya, entah itu monokrom atau polikrom.
Setelah terampil menggambar garis, barulah kami dibimbing menggambar berbagai obyek. Mulai dari obyek diam sampai obyek bergerak, tunggal sampai ganda, sejenis sampai aneka jenis. Â Sekaligus kami juga belajar komposisi obyek dan warna serta detail gambar atau lukisan sebagai suatu keseluruhan.Â
Untukku, masa sekolah di SMP inilah masa paling produktif dan kreatif dalam kegiatan menggambar atau melukis. Â Setiap gambar selalu diawali dengan tarikan satu garis. Lalu disusul dengan garis-garis lainnya, entah itu satu warna atau aneka warna, sampai tercipta gambar atau lukisan yang dipikirkan dari mula dan sepanjang proses kerja.
Setelah keluar dari SMP SMCS, lalu masuk ke sebuah SMA di Toba, praktis kegiatanku menggambar berkurang. Soalnya di SMA tidak ada pelajaran "Menggambar". Â Tak ada juga motto "Nulla dies sine linea." Alhasil kebiasaanku menggambar semakin memudar.Â
Tapi anehnya justru di SMA ini menguat cita-citaku menjadi pelukis. Aku lantas merancang -rancang untuk kuluah di ASRI Yogyakarta. "Lulus dari ASRI, sesial-sialnya aku bisa bekerja sebagai pelukis poster film bioskop," pikirku waktu itu. Â Â
Anehnya lagi,  atau mungkin sebenarnya untung, di SMA aku justru masuk IPA.  Karena nilai rapor terbilang "tiga besar",  aku mendapat undangan Perintis II, masuk Perguruan Tinggi Negeri zonder ujian seleksi. Diundang baik-baik, ya, terimalah. Sombong banget kalau ditolak. Sejak itu rencana kuliah di ASRI terlupakan. Cita-cita menjadi pelukis pun menguap begitu saja. Â