Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Nulla Dies Sine Linea: Kisah Transformasi Diri dari Penggambar ke Penulis

28 Oktober 2024   18:53 Diperbarui: 30 Oktober 2024   18:20 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Nulla dies sine linea" -- tiada hari tanpa garis (Gaius Plinius Secundus dalam Natural History, XXXV, 84).

Seorang rekan, sesama eks Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar, mengingatkanku akan pepatah Latin itu. "Itu nasihat Pastor Philipus kepada kita dulu," katanya.

Ah, aku bukannya lupa, kawan. Tapi saat Pastor Philipus, OFM Cap., guru gambar SMCS (1972-2007) mengujarkan nasihat itu, aku pasti sudah keluar dari seminari. 

Rekan tadi menyitir pepatah itu menanggapi artikelku, "Pelajaran Menggambar: Secuil Kisah Formasi Imam di Seminari Menengah Siantar" (Kompasiana.com, 23/10/2024). 

Pepatah itu pertama sekali diujarkan Gaius Plinius Secundus (23 M - 25 Agustus 79), disebut juga Plinius Tua. Dia seorang filsuf, naturalis, penulis, dan komandan tentara Romawi. Dia mengatakan itu sebagai sanjungan untuk Apelles (332–329 SM), seorang pelukis Yunani.  Apelles tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa menggambar setidaknya satu garis. Kelak, pepatah itu diabadikan dalam buku Proverbiorum libellus (1498) karya Polydorus Vergilius (1470-1555). 

Di era modern, ucapan Plinius ternyata disitir oleh beberapa penulis besar. Émile Zola (1840-1902), penulis besar Prancis, menuliskannya pada ambang perapian di kantornya. Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis, menyitir pepatah itu dalam biografinya, Les Mots (1963), "Saya masih menulis. Apa lagi yang harus dilakukan? Nulla dies sine linea." (Lihat: Nulla dies sine linea, Wikipedia.org)

Hampir 2,000 tahun kemudian ucapan Plinius Tua itu dirumuskan Thomas Alva Edison (1847-1931), penemu lampu pijar, dalam konteks yang lain. Katanya: "Jenius itu satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen keringat." 

Maksud Edison, karya besar tidak bergantung pada ide hebat di kepala, melainkan pada kerja keras mewujudkannya. Lampu pijar niscaya cuma ide semata bila Edison tak jatuh-bangun melakukan eksperimen guna mewujudkannya. Ibarat seorang pelukis, merujuk Plinius, mustahil menghasilkan sebuah lukisan hebat bila tak mulai menggoreskan sebuah garis di kanvas. Begitupun seorang penulis tak mungkin menghasilkan tulisan hebat bila tak mengawalinya dengan sebaris kalimat.

Intinya, seperti kata pepatah manajemen modern, "proses tak mengkhianati hasil." Tak bisa lain, aku sepakat dengan Plinius Tua, atau kemudian Zola, Sartre, dan Edison. Aku sudah mengalaminya sendiri. Dari seseorang yang tadinya berangan-angan menjadi pelukis, jatuhnya aku kini menjadi penulis amatiran.

Memudarnya Kebiasaan Menggambar

Sebenarnya aku tak paham dari mana mendapat bakat menggambar. Ibu-bapakku, nenek-kakekku, dan nenek-kakek buyutku tak ada yang punya bakat melukis. Karena itu validitas teori hereditas Pastor Gregor Mendel patut dipertanyakan sebenarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun