"Apakah pelajaran 'Menggambar' masih diberikan tersendiri di seminari atau digabung ke pelajaran 'Seni Budaya'?" Aku bertanya pada suatu pagi lewat aplikasi perpesanan kepada Pastor John Rufinus Saragih, OFM Cap, Rektor Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), Pematang Siantar.
"Tidak lagi, sudah digabung ke pelajaran 'Seni Budaya'," jawab Pastor John. Â Bukan jawaban yang kuharapkan, tapi begitulah faktanya.
"Sayang sekali, Pastor. Padahal pelajaran menggambar itu penting untuk pembentukan sanctitas, scientia, societa, dan sanitas." Sesalku sambil mengingatkan empat pilar seminari, sekolah calon pastor Katolik.
Aku menutup percakapan, lalu berselancar cepat di internet memeriksa isi pelajaran "Seni Budaya" tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Betul, pelajaran itu memang menggabungkan seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni lakon.Â
Idealnya pengajar "Seni Budaya" itu ada empat orang, sesuai empat bidang seni yang menjadi substansi pelajaran. Tapi rasanya sulit berharap seperti itu. Ada satu orang guru untuk pelajaran "Seni Budaya" saja sudah syukur.
Ada gugatan terbit dalam hati. Mengapa pelajaran menggambar kini dipinggirkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia? Bahkan kini pun terpinggirkan dalam Kurikulum Merdeka yang digadang mengagungkan nilai-nilai mandiri, kritis, dan kreatif.
"Apakah Kurikulum Merdeka sedang mengingkari tujuannya sendiri?" tanyaku dalam hati. Pertanyaan itu membawa pikiranku pada pengalaman mengikuti pelajaran "Menggambar" di SMCS tahun 1974-1976. Waktu itu aku bersekolah di SMP Seminari Pematang Siantar  -- sejak 1990-an jenjang SMP ditutup dan tersisa jenjang SMA saja sampai hari ini.
Fungsi Gambar dalam Gereja KatolikÂ
Dalam konteks Gereja Katolik, gambar atau lukisan berdasar Kitab Suci itu adalah ekspresi dan inspirasi iman. Dari sisi penggambar dia merupakan ekspresi imannya. Sedangkan dari sisi umat penikmat, gambar itu menjadi sumber inspirasi dan penguat keimanan.
Di dalam gereja Katolik, kehadiran gambar-gambar peristiwa dan tokoh Kitab Suci itu ikut membangun aura sakral. Ambil contoh kapel Sistina, Vatikan. Lukisan-lukiran fresko karya Michaelangelo di langit-langit kapel terasa memancarkan aura sakral ke seluruh ruang kapel. Aura sakral itu membantu umat untuk lebih khusuk dalam doa atau ibadahnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!