Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Sampai Mati di Kompasiana

17 Oktober 2024   07:58 Diperbarui: 19 Oktober 2024   13:49 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kolom komentar salah satu artikelku Mas Yos Mo, kompasianer spesialis konten tenis, bergurau bilang Felix Tani setia menulis sampai bangkotan di Kompasiana.

Aku terpingkal-pingkal dibilang bangkotan. "Semprul, bener juga," kataku dalam hati. 

Tahun 2024 ini aku memang tepat sudah satu dasawarsa menulis di Kompasiana. Sejak pra-lansia sampai lansia. Lha, berarti benar sampai bangkotan, kan?

Tentang status lansia itu, sebenarnya hendak kuingkari. Tapi KAI sudah memberi rabat tiket 20 persen untukku. Lalu petugas loket Puskesmas selalu merujukku ke ruang periksa lansia. Yah, rejeki memang gak bakal lari, aku sudah lansia.

Terimakasih, Tuhanku.

Komentar Mas Yos itu lalu kubalas begini: "Akan kujadikan Kompasiana kuburan." Itu gurauan. Maksudku, aku akan menulis sampai mati di blog ombyokan ini.

Alasanku Menulis

Mengapa sih aku menulis di Kompasiana?

Itu pertanyaan gak bermutu yang kerap diajukan kepada kompasianer. Aku bilang gak mutu karena itu sama saja sebenarnya dengan pertanyaan "Mengapa kamu bicara?"

Lisan dan tulisan itu bentuknya beda tapi nilainya setara belaka. Kemampuan produksi lisan dan tulisan itu sama hakikatnya. Keduanya adalah talenta dari Tuhan bagi setiap orang.

Talenta itu, tidak bisa lain, adalah hak yang diberikan Tuhan untuk setiap umat-Nya.

Karena itu menulis, bila fokus pada hal ini, adalah hak setiap orang. Terpulang pada masing-masing oranglah, apakah akan menggunakan haknya itu atau tidak

Aku pilih menggunakan hakku menulis. Itu artinya aku mengembangkan talenta menulis yang dikaruniakan Tuhan untukku.

Bolehkah tidak menggunakan hak atau tak mengembangkan talenta menulis itu? Boleh-boleh saja. Tapi rasanya kok sombong banget, ya. Tuhan sudah murah hati memberi talenta, kok aku menampiknya. 

Dulu, sebelum berkompasiana, aku menulis artikel di koran dan majalah. Lumayan sebenarnya karena diganjar honorarium Rp 600,000 - Rp 1,000,000 per artikel.

Hingga kemudian Kompasiana ini datang ke dalam hidupku dengan cara tak disangka. Seperti seorang jomlo jatuh tersandung dan, ketika bangkit, di depannya sudah berdiri gadis jodohnya.

Begitulah, suatu sore tahun 2014 aku berselancar di internet, eh, ketemu Kompasiana. Langsung jatuh cinta pada bacaan pertama. Ya, sudah, ikat janji menjadi kompasianer.

Boleh dikata, Kompasiana ini jodohku untuk menjalani hak menulis. Karakternya cocok dengan diriku yang anarkis. Tak suka dengan segala batasan teoritis dan teknis tentang menulis. Terserah aku mau menulis apa, kapan, dan dengan cara bagaimana.

Yang penting, nah ini koridorku, tulisan itu harus logis, etis, dan (sedapat mungkin) estetis. 

Sebab kalau sebuah tulisan tidak logis, tidak etis, dan tidak estetis, berarti penulisnya sedang mempermalukan diri sendiri sekaligus menghina kecerdasan pembaca.

Topik Tulisanku

Lalu, aku menulis apa di Kompasiana.

Sudah kubilang tadi, kan? Aku menulis apa saja yang kumau. Dari soal seremeh pengalaman Poltak beli ikan asin di pasar sampai perkara seserius ensiklik Paus Fransiskus. Mulai dari sejijay kencing yang diklaim bermartabat hingga sekeren krisis ekologi manusia Kaldera Toba.

Tak termasuk tulisan ini, aku sudah menulis 2,034 artikel dalam 10 tahun terakhir. Rata-rata 203 artikel per tahun. Gile bener Felix Tani.

Apa gak jenuh, ya. Itu pertanyaan minus empati. Ya, jelas ada jenuhnya. 

Solusinya? Gampang, tulis artikel merisak Admin Kompasiana atau teman kompasianer. Atau, tulis puisi sableng yang bikin para penyair Kompasiana mengurut dada.

Pada mulanya aku menulis topik apa saja yang terbit di benak. Bukan karena serakah tapi semata-mata karena tak sudi terperangkap dalam penjara spesialisasi.

Sekalipun begitu, ada satu penciri pada semua tulisanku yaitu perspektif sosiologi. Apapun masalahnya, sosiologi kerangka pikirnya. Itu yang menjadi pembeda untuk tulisanku di Kompasiana.

Tapi dalam tiga tahun terakhir, aku mulai membatasi diri. Bukan untuk menghindari label kompasianer "palugada" (apa lu mau gue ada) tapi demi menjaga kedalaman analisis dalam penulisan.

Filsuf Isaiah Berlin bilang ada dua tipe manusia: rubah (fox) dan landak (hedhog). Rubah itu lincah tapi maunya banyak. Loncat sana loncat situ, ngerjain ini ngerjain itu. Tak ada fokus dan tak ada sasaran besar. Alhasil, walau rubah terlihat sangat sibuk, dia tak pernah mencapai suatu tujuan penting.

Sebaliknya landak bergerak lambat tapi fokus pada satu kegiatan dengan satu sasaran besar. Dia tak tergoda pada hal-hal yang terlihat asyik tapi sebenarnya mengganggu pencapaian tujuan. Mungkin terkesan culun, tapi landak itu sejatinya teguh hati.

Diibaratkan lelaki, rubah itu semacam playboy yang sibuk gonta-ganti pacar tapi ujung-ujungnya jomlo lestari karena satu pun gak nyantol. Sebaliknya landak ibarat seorang lelaki yang setia pada seorang gadis saja, dari pacaran sampai menikah lalu menjadi tua bersama. 

Jelaslah aku pilih menjadi landak, bukan menjadi rubah. Sebab aku tak ingin hidupku lompat sana loncat sini sehingga tak pernah tiba di satu tujuan.

Begitu pun dengan kegiatan menulis di Kompasiana. Aku pumpunkan pada beberapa topik yang menantang rasa keingin-tahuanku saja. Mungkin topik itu tak populer, tak banyak dicari, tapi menurutku penting dan aku ingin membagikannya pada khalayak.

Demikianlah belakangan ini artikel-artikelku terpumpun pada satu topik utama yaitu ekologi manusia Kaldera Toba. Topik ini mencakup pembahasan unsur-unsur geologi, biologi (hayati), dan sosiologi (budaya) berikut interaksi triangular antara ketiganya yang bisa bersifat konstruktif ataupun destruktif terhafap ekologi Kaldera Toba. 

Sekali lagi, itu fokus utama, ya. Sebab aku juga sesekali masih menulis tentang hal-hal lain yang menurutku menarik dan perlu dibagikan ke ruang publik. Sebagai contoh, topik ajaran Paus Fransiskus yang baru saja berkunjung ke negeri kita.

Manfaat Menulis

Menulis sampai bangkotan di Kompasiana, manfaatnya apa bagiku.

Uang? Jika dikumpul-kumpul hadiah lomba tulis dan K-Rewards selama 10 tahun ini, nilai rupiah yang kudapatkan dari menulis 2,034 artikel masih lebih kecil dibanding honorarium 10 artikelku di media massa.

Jelas sudah, uang bukan manfaat terpenting bagiku untuk tetap menulis di Kompasiana. Lagi pula jika dihitung-hitung, secara keuangan aku sebenarnya tekor menulis di media ini. 

Nama? Aneh kalau berharap bisa terkenal lewat kegiatan menulis di Kompasiana. Kalau mau terkenal, jalan paling efektif kini adalah menjadi Tiktoker dan Youtuber. 

Atau, kalau tetap mau terkenal di jalur kepenulisan, lebih efisien dan efektif lewat jalur Instagram, X, Facebook. dan Threads. Tulis cerita bersambung horor, selingkuh, gosip, atau hal-hal kontroversial. Sangat mungkin tulisan-tulisan itu menjadi viral sehingga penulisnya terkenal.

Di Kompasiana ada sejumlah rekan yang artikelnya viral, dibaca puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan orang (unit view). Tapi mereka gak jadi orang terkenal, tuh. Paling juga terkenal sesaat -- terbatas di antara sesama kompasianer -- karena mendapat K-Rewards jutaan rupiah. Banyak yang minta ditraktir -- dasar mental gratisan.

Jadi nama sohor bukanlah manfaat yang bisa diharapkan lewat kegiatan menulis di Kompasiana. 

Relasi? Ya, menulis di Kompasiana memang bisa membuka relasi sosial dengan pihak lain. Semisal diundang satu organisasi atau kelompok sosial untuk berbagi pengalaman tulis-menulis artikel.

Cukup banyak Kompasianer yang melaporkan dirinya menjadi narasumber webinar, seminar, lokakarya, atau diskusi perihal tulis-menulis. Aku sendiri juga pernah mengalaminya. 

Tapi relasi seperti itu umumnya tidak semata karena menulis di Kompasiana. Lazimnya Kompasianer itu juga punya keterkaitan dengan organisasi atau kelompok yang mengundangnya. Entah itu pertemanan atau keanggotaan dalam satu organisasi. 

Kalau bukan uang, nama, atau relasi, lalu apa hasil yang kuperoleh dari menulis di Kompasiana?

Tambah cerdas, dalam arti tambah ilmu-pengetahuan. Itu hasil atau manfaat utama yang kudapatkan.

Penjelasannya begini. Jelek-jelek, aku ini masih seorang sosiolog (pedesaan). Nah, setiap kali menulis artikel, aku selalu menggunakan konsep atau teori sosiologi sebagai kerangka pikir. 

Itu dampaknya ganda. Pertama, aku harus mempelajari kembali konsep-konsep dan teori-teori sosiologi untuk mendapatkan kerangka pikir yang pas guna analisis fakta sosial, isi pokok artikel. Kadang juga aku harus mencari konsep atau teori baru, yang belum pernah kupelajari sebelumnya. 

Dengan cara itu pengetahuan konsep dan teori sosiologiku bertambah. 

Kedua, penerapan konsep atau teori dalam analisis (fakta) sosial mempersyaratkan keahlian metode riset. Implikasinya, setiap kali aku menulis artikel aku harus belajar lagi metode riset sosial, baik yang lama maupun yang baru. Dengan begitu pengetahuan, pemahaman, dan kemampuanku dalam aplikasi metode riset sosiologi terbarui terus-menerus. Itu artinya aku tambah cerdas, kan?

Ketiga, dengan menulis artikel berbasis riset sosiologis, entah itu analisis isi (content analysis) atau data empiris, aku mengalami proses pembentukan pengetahuan baru. Banyak hal-hal baru yang kutemukan, sekurangnya belum kuketahui sebelumnya.

Sebagai contoh saja, tentang etnis Batak Toba. Walau aku asli etnis Batak, tadinya pengetahuanku tentang masyarakat Batak minim sekali. Itu alasanku untuk mulai memusatkan perhatian pada penulisan artikel tentang etnis Batak. 

Belakangan aku menggunakan kerangka pikir ekologi manusia untuk mempelajari etnis Batak. Maka lahirlah artikel-artikel kajian ekologi manusia (Batak) Kaldera Toba. Kajian ini memeriksa interaksi triangular geologi, biologi dan sosiologi dalan konteks pembentukan ekologi manusia Kaldera Toba.

Kajian itu jelas memberikan pengetahuan baru bagiku tentang ekologi manusia Batak di Kaldera Toba. Sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelum menulis di Kompasiana.

Ah, rasanya aku si tua bangkotan ini sudah terlalu panjang berceloteh. Sebelum menjenuhkan, baiklah kuakhiri dengan suatu penegasan tentang logika menulis sampai mati di Kompasiana. 

Belajar itu sampai mati. Menulis itu, bagiku, adalah belajar. Berarti aku menulis sampai mati di Kompasiana. 

Selamat ulang tahun ke-16, Kompasiana. Kompasianer datang dan pergi, Kompasiana tetap tegak berdiri sebagai rumah bersama. [eFTe]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun