Karena itu menulis, bila fokus pada hal ini, adalah hak setiap orang. Terpulang pada masing-masing oranglah, apakah akan menggunakan haknya itu atau tidak
Aku pilih menggunakan hakku menulis. Itu artinya aku mengembangkan talenta menulis yang dikaruniakan Tuhan untukku.
Bolehkah tidak menggunakan hak atau tak mengembangkan talenta menulis itu? Boleh-boleh saja. Tapi rasanya kok sombong banget, ya. Tuhan sudah murah hati memberi talenta, kok aku menampiknya.Â
Dulu, sebelum berkompasiana, aku menulis artikel di koran dan majalah. Lumayan sebenarnya karena diganjar honorarium Rp 600,000 - Rp 1,000,000 per artikel.
Hingga kemudian Kompasiana ini datang ke dalam hidupku dengan cara tak disangka. Seperti seorang jomlo jatuh tersandung dan, ketika bangkit, di depannya sudah berdiri gadis jodohnya.
Begitulah, suatu sore tahun 2014 aku berselancar di internet, eh, ketemu Kompasiana. Langsung jatuh cinta pada bacaan pertama. Ya, sudah, ikat janji menjadi kompasianer.
Boleh dikata, Kompasiana ini jodohku untuk menjalani hak menulis. Karakternya cocok dengan diriku yang anarkis. Tak suka dengan segala batasan teoritis dan teknis tentang menulis. Terserah aku mau menulis apa, kapan, dan dengan cara bagaimana.
Yang penting, nah ini koridorku, tulisan itu harus logis, etis, dan (sedapat mungkin) estetis.Â
Sebab kalau sebuah tulisan tidak logis, tidak etis, dan tidak estetis, berarti penulisnya sedang mempermalukan diri sendiri sekaligus menghina kecerdasan pembaca.
Topik Tulisanku
Lalu, aku menulis apa di Kompasiana.
Sudah kubilang tadi, kan? Aku menulis apa saja yang kumau. Dari soal seremeh pengalaman Poltak beli ikan asin di pasar sampai perkara seserius ensiklik Paus Fransiskus. Mulai dari sejijay kencing yang diklaim bermartabat hingga sekeren krisis ekologi manusia Kaldera Toba.