Ternyata warung gudeg itu lebih mendahulukan pesanan orang di luar sana ketimbang konsumen yang datang langsung ke warung. Gak Yogya banget Sama sekali tak menghargai tamu dari jauh. Kemana tuh sopan-santun Yogya?
Tapi sudahlah. Itu telah lama berlalu. Lagi pula ini Semarang, bukan Yogya.Â
Maka malam itu jadilah kami meluncur naik mobil "anjem" -- antar-jemput khusus antar mahasiswa -- dari Tembalang via Gombel ke Peterongan.Â
Di situ, di satu kios toko, warung pusat gudeg koyor Mbak Tum berada -- katanya sejak 1991. Buka tiap hari dari pukul 5 sore sampai pukul 3 dini hari.
Gudeg Gurih Pedas
Tentang gudeg Yogya dan Solo, aku sedikit banyak sudah tahulah rasa, tekstur, dan tampilannya. Karena sudah sering menikmatinya, entah itu di Yogya, Solo, atau di sekitar Jabodetabek.Â
Gudeg Yogya itu kering. Warnanya coklat pekat karena sarat bumbu gula jawa. Sekaligus gula jawa itu memberi rasa manis yang kuat. Rasa manis itu dipertebal pula oleh rasa gulai ayam yang cenderung gurih-gurih manis. Untuk keseimbangan rasa, harus ditambahkan krecek yang lembut tapi pedas.
Sementara gudeg Solo cenderung nyemek, agak basah. Bumbu gula jawanya sedikit saja, sehingga rasanya cenderung gurih. Warnanya coklat muda, didapat dari getah daun jati yang direbus bersama nangka muda.
"Rasa, tekstur, dan tampilan gudeg Semarang, ya, mestinya antara Yogya dan Solo," pikirku saat mengantre gudeg koyor Mbak Tum di warungnya.
Jarum arlojiku menunjuk angka pukul 8 malam lewat 10 menit. Semarang masih di ujung gairah malam. Warung gudeg Mbak Tum masih cukup ramai. Pelanggan silih berganti datang dan pergi.Â
"Mangan opo, Pakde?" Mas Pelayan bertanya ramah sambil memegang piring di tangan kiri dan sendok besar di tangan kanan.
"Nasi, gudeg, krecek, opor ayam."