Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Gudeg Semarang, Satu Tanya Rasa Usai Makan di Emper Toko

20 Agustus 2024   17:46 Diperbarui: 20 Agustus 2024   18:30 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi sudahlah. Itu sudah lama berlalu. Lagi pula ini Semarang, bukan Yogya. 

Maka malam itu jadilah kami meluncur naik mobil "anjem" -- antar-jemput khusus antar mahasiswa --  dari Tembalang via Gombel ke Peterongan. Di situ warung gudeg koyor Mbak  Tum berada -- katanya sejak 1991. Buka tiap hari dari pukul 5 sore sampai pukul 3 dini hari.

Gudeg Gurih Pedas

Tentang gudeg Yogya dan Solo, aku sedikit banyak sudah tahulah rasa, tekstur, dan tampilannya.  Karena sudah sering menkmatinya, entah itu di Yogya, Solo, atau  di sekitar Jabodetabek. 

Gudeg Yogya itu kering.  Warnanya coklat pekat karena sarat bumbu gula jawa.  Sekaligus gula jawa itu memberi rasa manis yang kuat. Rasa manis itu dipertebal pula oleh rasa gulai ayam yang cenderung gurih-gurih manis.  Untuk keseimbangan rasa, harus ditambahkan krecek yang lembut tapi pedas.

Sementara gudeg Solo cenderung nyemek, agak basah.  Bumbu gula jawanya sedikit saja, sehingga rasanya cenderung gurih. Warnanya coklat muda, didapat dari getah daun jati yang direbus bersama nangka muda.

"Rasa, tekstur, dan tampilan gudeg Semarang, ya, mestinya antara Yogya dan Solo," pikirku saat mengantre gudeg koyor Mbak Tum di warungnya.

Jarum arlojiku menunjuk angka pukul 8 malam lewat 10 menit.  Semarang masih di ujung gairah malam.  Warung gudeg Mbak Tum masih cukup ramai.  Pelanggan silih berganti datang dan pergi. 

"Mangan opo, Pakde?" Mas Pelayan bertanya ramah sambil memegang piring di tangan kiri dan sendok besar di tangan kanan.

"Nasi, gudeg, krecek, opor ayam."

"Opor e paha atau dada?"

"Dada."  Aku dari dulu memang selalu pilih dada, besar dan empuk.   Istri dan anak gadisku lebih suka paha.  Katanya lebih juisi. Baiklah, satu keluarga lain-lain selera.  Begitulah demokrasi kuliner.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun