Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Gudeg Semarang, Pertanyaan tentang Koyor yang Tak Terasakan

20 Agustus 2024   17:46 Diperbarui: 21 Agustus 2024   14:33 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbak Tum dan pelayan warung sedang menyiapkan gudeg pesanan pelanggan (Dokumentasi Pribadi)

"Opor e paha atau dada?"

"Dada." Aku dari dulu memang selalu pilih dada, besar dan empuk. Istri dan anak gadisku lebih suka paha. Katanya lebih juisi. Baiklah, satu keluarga lain-lain selera. Begitulah demokrasi kuliner.

Kami bertiga duduk lesehan di emperan toko, di depan warung Mbak Tum. Terpaksa begitu sebab kursi-meja di tenda penuh. Tak mudah sebenarnya bagiku duduk sila. Perut rasanya seperti ganjal roda truk.

"Hmm ... enak. Gurihnya pas, gak terlalu manis. Sambalnya enak, tapi pedas, mantap." Istriku yang lebih dulu memberi penilaian. Aku setujulah pada penilaian istriku. Bukan karena takut pada istri atau apalah. Tapi, setelah kucicipi, penilaian istriku memang pas.

Kebetulan istriku dan aku sedang mengurangi konsumsi makanan yang terlalu manis atau terlalu gurih. Tubuh lansia kami suka protes pada makanan seperti itu.

Pembeda utama gudeg Semarang Mbak Tum dengan gudeg Yogya dan Solo adalah banjir kuah opor ayamnya yang kental. Kuah opor itu yang terutama memberi rasa gurih yang pas pada keseluruhan sajian. Warna kuning kuah itu menutup warna coklat muda gudeg dan krecek. 

Tekstur daging dada ayamnya, ayam kampung, sangat lembut. Seperti lumat begitu saja di dalam rongga mulut. Tanpa menyisakan slilit -- ini nilai plus untuk lansia yang geliginya sudah merenggang.

Sepotong opor dada ayam besar ludes dari piringku. Tapi tidak begitu di piring istri dan anak gadisku. Opor paha ayam masih bersisa dagingnya. Tak biasanya begitu.

"Dagingnya alot," jawab istriku ketika kutanya mengapa opornya tak dihabiskan. Anak gadisku juga mengangguk, mengiyakan kata-kata istriku.

"Kok bisa? Dadanya empuk, kok." Istriku hanya mengangkat bahu. Tak bisa, atau tak ingin menjelaskan. 

Ya, sudahlah. Aku juga tak tahu jawabannya. Hanya bisa menganjurkan dalam hati, "Lain waktu kalau makan gudeg, jangan minta opor paha ayam tapi dadanya. Pasti besar dan empuk."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun