"Opor e paha atau dada?"
"Dada." Aku dari dulu memang selalu pilih dada, besar dan empuk. Istri dan anak gadisku lebih suka paha. Katanya lebih juisi. Baiklah, satu keluarga lain-lain selera. Begitulah demokrasi kuliner.
Kami bertiga duduk lesehan di emperan toko, di depan warung Mbak Tum. Terpaksa begitu sebab kursi-meja di tenda penuh. Tak mudah sebenarnya bagiku duduk sila. Perut rasanya seperti ganjal roda truk.
"Hmm ... enak. Gurihnya pas, gak terlalu manis. Sambalnya enak, tapi pedas, mantap." Istriku yang lebih dulu memberi penilaian. Aku setujulah pada penilaian istriku. Bukan karena takut pada istri atau apalah. Tapi, setelah kucicipi, penilaian istriku memang pas.
Kebetulan istriku dan aku sedang mengurangi konsumsi makanan yang terlalu manis atau terlalu gurih. Tubuh lansia kami suka protes pada makanan seperti itu.
Pembeda utama gudeg Semarang Mbak Tum dengan gudeg Yogya dan Solo adalah banjir kuah opor ayamnya yang kental. Kuah opor itu yang terutama memberi rasa gurih yang pas pada keseluruhan sajian. Warna kuning kuah itu menutup warna coklat muda gudeg dan krecek.Â
Tekstur daging dada ayamnya, ayam kampung, sangat lembut. Seperti lumat begitu saja di dalam rongga mulut. Tanpa menyisakan slilit -- ini nilai plus untuk lansia yang geliginya sudah merenggang.
Sepotong opor dada ayam besar ludes dari piringku. Tapi tidak begitu di piring istri dan anak gadisku. Opor paha ayam masih bersisa dagingnya. Tak biasanya begitu.
"Dagingnya alot," jawab istriku ketika kutanya mengapa opornya tak dihabiskan. Anak gadisku juga mengangguk, mengiyakan kata-kata istriku.
"Kok bisa? Dadanya empuk, kok." Istriku hanya mengangkat bahu. Tak bisa, atau tak ingin menjelaskan.Â
Ya, sudahlah. Aku juga tak tahu jawabannya. Hanya bisa menganjurkan dalam hati, "Lain waktu kalau makan gudeg, jangan minta opor paha ayam tapi dadanya. Pasti besar dan empuk."