Makam batu itu berupa batu monolit yang bagian atasnya dikeruk membentuk liang lahat berbentuk persegi empat. Ke dalam liang itu kemudian dimasukkan tulang-belulang raja Pagarbatu yaitu Ompu Tarhuak Situmorang. Makam itu kemudian diberi penutup batu berbentuk trapesium yang melengkung seperti perahu. Itu nemang simbol perahu, kendaraan roh orang mati menuju Banua Ginjang.
Pada bagian depan tutup batu dan dinding depan makam ada ukiran jorngom (wajah raksasa) dan, paling bawah, ukiran gaja dompak (muka gajah). Ukiran wajah-wajah seram itu dimaksudkan untuk menakuti siapa atau apa saja yang menghalangi perjalan roh orang mati ke Banua Ginjang.
Sedikit ke sebelah barat makam batu ada menhir arca pangulubalang, pengawal atau penjaga kampung berwajah tiga. Tiga ukiran wajah itu mungkin merepresentasikan tiga dewata tinggi Batak yaitu Bataraguru, Debatasori, dan Mangalabulan. Lewat arca pangulubalang itu diharapkan para dewata tinggi memberi perlindungan pada kampung, warga, pertanian, dan ternak.Â
Diantara makam batu dan arca pangulubalang terdapat sebuah lesung batu bermata (lubang) lima. Lesung itu berfungsi mendukung pelaksanaan ritus syukuran panen di sana. Sekaligus dalam ritus itu dimohonkan keselamatan dan rejeki kepada Mulajadi Nabolon.
Dalam pelaksanaan ritus tersebut, raja memerintahkan setiap keluarga membawa sedikit gabah hasil panen ke atas bukit untuk ditumbuk pada lesung batu tadi. Beras hasil tumbukan itu ditanak dan dimakan bersama oleh warga, lengkap dengan lauk-pauknya.
Secara khusus arca pangulubalang, juga Boru Nagojong, ikut diberi "makan". Caranya sejumput beras di masukkan ke dalam lubang-lubang buatan yang terdapat pada arca itu. Dengan demikian roh yang terdapat pada arca itu tetap hidup dan mau menjalankan fungsinya.
Dahulu, menurut cerita, ke dalam lubang arca pangulubalang secara khusus diteteskan minyak yang diambil dari tubuh kurban manusia. Kurban manusia itu adalah orang kampung lain yang diculik atau takluk dalam perang, lalu diminta untuk secara sukarela mau dijadikan pangulubalang.
Terakhir, di sebelah timur, adalah arca Boru Nagojong. Arca batu ini adalah kelengkapan pengadilan terhadap tersangka penjahat. Jika tersangka tidak mengaku, maka dia diminta margana, bersumpah sambil memegang batu Si Boru Nagojong. Isi sumpahnya, jika benar dia pelaku kejahatan, maka perutnya akan membusung seperti perut Si Boru Nagojong. Jika benar dia penjahatnya, maka dalam waktu tak berapa lama perutnya akan menggembung.Â