Menurut cerita turun-temurun, tersebutlah Raja Apanggapang Situmorang yang meraja atas tanah Tanjungan Lontung. Tanah ini terbentang mulai dari danau Aek Natonang di barat, pada ketinggian Pulau Samosir, sampai ke tepian Danau Toba di sisi timur pulau (lihat peta). Kini tanah itu terbagi menjadi dua desa: Aek Natonang dan sekitarnya menjadi Tanjungan dan lembah di bawahnya menjadi Pardomuan.
Sebagai pusat harajaon (kerajaan), Raja Apanggapang mendirikan huta (kampung) Pagarbatu di sebuah bukit di tepi pantai. Menurut cerita orang tua-tua, huta Pagarbatu itu sudah ada sebelum Belanda masuk ke Tanah Batak tahun 1878. Dikisahkan Raja Apanggapang sudah berkuasa di situ pada masa Perang Batak (1878-1907).
Ketika sekelompok opsir Belanda mendatangi Pagarbatu pada masa Perang Batak itu, Raja Apanggapang sendirilah, bersama para ulubalang (prajurit) dan warga yang menghadapinya. Tidak ada cerita pertumpahan darah. Juga tak ada cerita pendudukan. Belanda hanya melakukan pendataan.
Huta Pagarbatu yang tersembunyi di atas bukit agaknya tak dijamah Belanda. Menurut cerita, kampung itu memang sulit dimasuki orang luar. Dia dibentengi oleh parik, tembok batu alam yang gigantik, dinamai Parik Debata (Tembok Tuhan). Parik itu disambungkan pada tembok batu keliling kaki bukit. Secara teknis, karena itu, tak mudah menembus kampung itu.
Selain tembok fisik itu, konon ada juga tembok supranatural, buah kesaktian Raja Apanggapang. Barang siapa yang berniat jahat, maka dia tak akan bisa memasuki Pagarbatu. Dia hanya bisa minggot-inggot, berputar-putar saja mengitari kaki bukit.
Pada usia tuanya, Raja Apanggapang kemudian menyerahkan Pagarbatu pada Ompu Tarhuak Situmorang, anak lakinya nomor tiga. Walau anak ketiga, Ompu Tarhuak diyakini mewarisi sahala harajaon, wibawa pemerintahan, dari ayahnya.
Setelah Raja Apanggapang wafat karena penyakit di usia tua, Ompu Tarhuak tampil menggantikan posisinya sebagai Raja Tanjungan yang berkedudukan di Pagarbatu. Ompu Tarhuak tercatat sebagai raja terakhir. Tulang-belulangnyalah yang tersimpan dalam sebuah sarkofagus, makam batu di puncak bukit Pagarbatu kini.
Situs Megalitikum Muda
Selain pengelolaannya terabaikan, publikasi tentang keberadaan situs ini juga relatif jarang. Hanya ada beberapa publikasi berupa artikel media massa daring, media sosial, tayangan video Youtube dan Tiktok, dan jurnal ilmiah daring. [2]
Kecuali artikel jurnal ilmiah, publikasi-publikasi tersebut umumnya mengungkap hal serupa yaitu ragam jenis tinggalan arkeologis yang ada di Pagarbatu. Aspek yang dipaparkan lebih pada apa yang ada di sana. Tidak diuraikan mengapa benda-benda megalitik itu ada di sana.