Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Mendamba Ruma Opera Kaldera Toba

22 Januari 2024   06:14 Diperbarui: 22 Januari 2024   12:41 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan tewasnya Sisingamangaraja XII dalam pentas Opera Batak Sisingamangaraja XII oleh SMA Seminari Menengah Pematang Siantar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 6-7 Juli 2012 (Foto: Tangkapan layar YouTube nyotingAJA)

Lae Jay boleh melupakan angan-angannya tapi aku tidak. Penyebutan "opera Batak" olehnya mengingatkanku terus menerus pada sebuah tradisi seni pertunjukan (performing art) Batak yang sudah hilang sejak 1980-an dari ruang budaya Batak.

Ingatanku terlontar ke tahun 1960-an sampai 1970-an. Itu masa kejayaan panggung Opera Batak di seantero Tanah Batak sampai Sumatra Timur dan Semenanjung Malaya. Belasan kelompok opera waktu itu aktif mengadakan pertunjukan keliling di sana.

Opera Batak itu adalah seni pertunjukan rakyat berupa bauran drama (tonil), musik, nyanyi, dan tari dalam satu paket. Mungkin boleh dikata opera Batak itu adalah drama musikal khas budaya Batak. Cerita, bahasa, dan musiknya semua khas tradisi Batak. 

Dari belasan kelompok opera Batak, satu yang paling fenomenal adalah Opera Batak Serindo (Seni Ragam Indonesia) -- mungkin setara kelompok "Srimulat" di Jawa. Serindo didirikan, digerakkan, dan dipimpin oleh Tilhang Oberlin Gultom (1896-1970), seorang komponis dan seniman besar Tanah Batak. 

Tilhang, kelahiran Sitamiang Onanrunggu Samosir, adalah pelopor panggung opera Batak. Pertunjukan pertamanya digelar di Balige pada tahun 1928, saat dia baru memasuki usia 22 tahun. 

Pada awalnya Serindo sempat dicurigai Pemerintah Kolonial Belanda sebagai bentuk perlawanan rakyat Batak. Bahkan pertunjukannya sempat dilarang. Ketakutan Belanda beralasan karena Serindo pada dasarnya memang mengukuhkan "kebatakan", semacam nasionalisme lokal. 

Karena alasan nasionalisme lokal itu pula, Serindo sempat vakum pada masa pendudukan Jepang. Tilhang menolak kelompok pertunjukannya dijadikan alat propaganda Jepang. 

Serindo, juga kelompok opera lainnya, mencapai puncak kejayaan pada tahun 1960-an. Pada dekade itu pertunjukan opera Batak oleh berbagai kelompok opera keliling marak di kota-kota dan desa-desa Tanah Batak dan Sumatra Timur. Pemain opera pada masa itu hidupnya lumayan terjamin.

Pada tahun 1960-an itu pula, sebagai anak-anak, aku tumbuh di Uluan Toba dengan lantunan lagu-lagu opera Batak ciptaan Tilhang Gultom. Tilhang selalu menciptakan lagu tema (theme song) untuk setiap cerita yang dipentaskannya. Lagu-lagu itu dengan cepat menjadi populer, karena dinyanyikan dalam pementasan keliling seantero Sumatera Utara.

Lagu-lagu Batak yang pertama kukenal adalah ciptaan Tilhang Gultom. Tilhang sudah menciptakan ratusan lagu opera dan masih tetap dinyanyikan para musisi Batak sampai hari ini. Lagu Sigulempong dan Sinanggartullo, yang sangat populer dan sering dinyanyikan kelompok koor, adalah dua di antaranya.

Bertahun-tahun sejak 1960-an aku harus memendam keinginan untuk menonton opera Serindo yang tak pernah mampir di Panatapan (pseudonim) kampung kami di Uluan. Hasrat itu baru terpenuhi pada akhir 1970-an di Porsea. Ada dua kelompok opera, tapi bukan Serindo, yang manggung di kota itu pada tahun yang berbeda. Aku menonton keduanya, masing-masing satu pertunjukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun