Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Mendamba Ruma Opera Kaldera Toba

22 Januari 2024   06:14 Diperbarui: 22 Januari 2024   12:41 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan tewasnya Sisingamangaraja XII dalam pentas Opera Batak Sisingamangaraja XII oleh SMA Seminari Menengah Pematang Siantar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 6-7 Juli 2012 (Foto: Tangkapan layar YouTube nyotingAJA)

Aku membayangkan sebuah ruma opera di suatu teluk atau semenanjung eksotis danau Kaldera Toba. Sebuah ruma pertunjukan yang mengawinkan tanah, air, kayu, batu, dan udara.

Sydney Opera House, sebuah tetenger kota, sesuatu yang paling diingat oleh siapa pun yang mampir ke Sydney, Australia. Menjorok ke laut, gedung pertunjukan yang berdiri di Sydney Harbour itu telah menjadi ikon Australia.

Aku membayangkan sebuah ruma opera semacam itu di Kaldera Toba. Sebuah bangunan besar yang mengawinkan unsur-unsur tanah, air, kayu, batu, dan udara, tempat aneka pertunjukan kelas dunia dipentaskan. Tetenger bagi kaldera itu.

Ruma Opera Kaldera Toba itu akan menjadi sebuah tetenger. Ikon Kaldera Toba yang diingat para pengunjung dari desa naualu, delapan penjuru mata angin.

Apakah imajinasiku tentang Ruma Opera itu berlebihan? Kupikir tidaklah. Sebab bukankah pemerintah menarget Kaldera Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia? Maka sepantasnyalah bila di sana ada sebuah ruang pertunjukan kelas dunia. 

Ampiteater terbuka di komplek Toba Caldera Resort, Ajibata Toba (Foto: tribunnews.com)
Ampiteater terbuka di komplek Toba Caldera Resort, Ajibata Toba (Foto: tribunnews.com)

Kenangan Opera Batak

Dambaanku atas Ruma Opera Kaldera Toba itu dibangkitkan oleh percakapan kecil dengan Jay Wijayanto pada suatu sore yang hujan di Kuningan, Jakarta.

Lae Jay, begitu aku menyapanya, adalah sosok di balik sukses helatan Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba (KKPDT) 2016. Dihadiri oleh Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana, karnaval itu sukses menjadikan seluruh kota Balige sebagai panggung adat dan seni-budaya Batak Toba, Pakpak, Karo. Simalungun, dan Mandailing.

Selepas helatan karnaval itu, Lae Jay berangan-angan membangun sebuah rumah opera Batak di tepi danau Kaldera Toba. Tapi dia sadar itu tak mudah diwujudkan, mengingat kebutuhan dana yang pasti sangat besar. Dia ingin rumah opera itu berstandar internasional.

Sebagai "hiburan" Lae Jay, aktor, konduktor, penyanyi, petani, dan organisator itu akhirnya merancang sebuah ampiteater kecil di komplek Toba Caldera Resort, Ajibata. Itu sebuah panggung di alam terbuka, mungkin semacam prototipe rumah opera Batak.

Lae Jay boleh melupakan angan-angannya tapi aku tidak. Penyebutan "opera Batak" olehnya mengingatkanku terus menerus pada sebuah tradisi seni pertunjukan (performing art) Batak yang sudah hilang sejak 1980-an dari ruang budaya Batak.

Ingatanku terlontar ke tahun 1960-an sampai 1970-an. Itu masa kejayaan panggung Opera Batak di seantero Tanah Batak sampai Sumatra Timur dan Semenanjung Malaya. Belasan kelompok opera waktu itu aktif mengadakan pertunjukan keliling di sana.

Opera Batak itu adalah seni pertunjukan rakyat berupa bauran drama (tonil), musik, nyanyi, dan tari dalam satu paket. Mungkin boleh dikata opera Batak itu adalah drama musikal khas budaya Batak. Cerita, bahasa, dan musiknya semua khas tradisi Batak. 

Dari belasan kelompok opera Batak, satu yang paling fenomenal adalah Opera Batak Serindo (Seni Ragam Indonesia) -- mungkin setara kelompok "Srimulat" di Jawa. Serindo didirikan, digerakkan, dan dipimpin oleh Tilhang Oberlin Gultom (1896-1970), seorang komponis dan seniman besar Tanah Batak. 

Tilhang, kelahiran Sitamiang Onanrunggu Samosir, adalah pelopor panggung opera Batak. Pertunjukan pertamanya digelar di Balige pada tahun 1928, saat dia baru memasuki usia 22 tahun. 

Pada awalnya Serindo sempat dicurigai Pemerintah Kolonial Belanda sebagai bentuk perlawanan rakyat Batak. Bahkan pertunjukannya sempat dilarang. Ketakutan Belanda beralasan karena Serindo pada dasarnya memang mengukuhkan "kebatakan", semacam nasionalisme lokal. 

Karena alasan nasionalisme lokal itu pula, Serindo sempat vakum pada masa pendudukan Jepang. Tilhang menolak kelompok pertunjukannya dijadikan alat propaganda Jepang. 

Serindo, juga kelompok opera lainnya, mencapai puncak kejayaan pada tahun 1960-an. Pada dekade itu pertunjukan opera Batak oleh berbagai kelompok opera keliling marak di kota-kota dan desa-desa Tanah Batak dan Sumatra Timur. Pemain opera pada masa itu hidupnya lumayan terjamin.

Pada tahun 1960-an itu pula, sebagai anak-anak, aku tumbuh di Uluan Toba dengan lantunan lagu-lagu opera Batak ciptaan Tilhang Gultom. Tilhang selalu menciptakan lagu tema (theme song) untuk setiap cerita yang dipentaskannya. Lagu-lagu itu dengan cepat menjadi populer, karena dinyanyikan dalam pementasan keliling seantero Sumatera Utara.

Lagu-lagu Batak yang pertama kukenal adalah ciptaan Tilhang Gultom. Tilhang sudah menciptakan ratusan lagu opera dan masih tetap dinyanyikan para musisi Batak sampai hari ini. Lagu Sigulempong dan Sinanggartullo, yang sangat populer dan sering dinyanyikan kelompok koor, adalah dua di antaranya.

Bertahun-tahun sejak 1960-an aku harus memendam keinginan untuk menonton opera Serindo yang tak pernah mampir di Panatapan (pseudonim) kampung kami di Uluan. Hasrat itu baru terpenuhi pada akhir 1970-an di Porsea. Ada dua kelompok opera, tapi bukan Serindo, yang manggung di kota itu pada tahun yang berbeda. Aku menonton keduanya, masing-masing satu pertunjukan.

Akhir 1970-an itu sudah masuk senjakala opera Batak. Pergeseran perilaku nonton masyarakat ke media televisi dan bioskop murah menyebabkan opera secara perlahan kehilangan massa penontonnya. Lalu mati satu per satu. Serindo sendiri seakan hidup segan mati tak mau.

Aku ingat betul waktu menonton satu pertunjukan opera Batak di balairung Onan Porsea. Hujan turun deras, balairung bocor, malam mulai merangkak. Pemain opera bermain dalam gigil di panggung, dingin oleh air tiris dan udara malam. 

Penonton segelintir, umumnya tak begitu peduli. Yang muda yang bercinta sibuk saling remas tangan dengan pasangan masing-masing. Aku yang jomlo menatap nanar para pemain di panggung. Tak yakin apakah mereka hanya sedang main peran ataukah sedang memanggungkan kepedihan hidupnya sendiri.

Seandainya kutahu segetir apa hidup para punggawa opera Batak di senjakalanya akhir 1970-an, niscaya aku menitikkan air mata. Tapi aku tidak tahu, sungguh, tidak tahu waktu itu.

Pementasan opera oleh Pusat Latihan Opera Batak (PLOt), Pematang Siantar (Foto: batakheritage.wordpres.com)
Pementasan opera oleh Pusat Latihan Opera Batak (PLOt), Pematang Siantar (Foto: batakheritage.wordpres.com)

Gagas Ruma Opera Kaldera Toba

Hari ini bisa dikatakan opera "klasik" Batak ala Tilhang tinggal kenangan. Beberapa aktivis budaya Batak kini berinisiatif menghidup-hidupkannya. Satu yang menonjol adalah Pusat Latihan Opera Batak (PLOt), Pematang Siantar binaan budayawan Thomson Hutasoit.

Fokus PLOt adalah pengembangan "opera transisional". Itu semacam "bentuk peralihan", antara opera Batak "klasik" dan teater modern. Opera transisional itu sudah dilengkapi naskah tertulis dengan plot baku. Sementara opera Batak "klasik" tak dilengkapi naskah tertulis, sehingga sarat improvisasi.

Kegiatan PLOt, juga beberapa kelompok lain yang sifatnya sporadis, layak diapresiasi dan difasilitasi sebagai upaya penemuan kembali (reinventing) seni tradisi opera Batak. Matinya kelompok-kelompok opera klasik Batak telah menyisakan ruang kosong dalam budaya Batak di Kaldera Toba.

Dalam konteks upaya pengembangan Kaldera Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia, revitalisasi opera Batak menjadi sangat relevan dan urgen. Sejauh ini tak ada unsur seni budaya yang dapat dinikmati pengunjung Kaldera Toba kecuali gondang dan tortor Batak, termasuk tortor boneka sigale-gale dan hoda-hoda (kuda-kudaan). Betapapun itu unik, tapi sulit diharapkan menjadi sebuah pertunjukan kelas dunia.

Seni tradisi opera Batak jelas punya potensi untuk menjadi seni pertunjukan kelas dunia khas Kaldera Toba. Opera Batak punya potensi besar untuk dijual sebagai atraksi wisata seni-budaya. Wisatawan akan datang menonton opera Batak seperti halnya menonton pertunjukan opera di Eropa atau drama musikal di Brodway Amerika.

Untuk mengangkat opera Batak ke tingkat dunia, sedikitnya dua langkah berikut perlu dilakukan.

Pertama, penemuan kembali opera Batak. Ini langkah konsolidasi sumber daya opera Batak dengan cara membentuk sebuah organisasi pertunjukan opera Batak yang dikelola secara profesional. Organisasi Teater Broadway mungkin bisa jadi contoh.

Ada dua unsur penting yang harus menjadi perhatian organisasi pertunjukan opera Batak, yaitu pengembangan satu kelompok opera dan cerita opera Batak kelas dunia. Dua unsur itu akan menjamin kelangsungan pertunjukan sebagai bagian integral wisata Kaldera Toba.

Khusus cerita opera, ada dua cerita asli yang dapat ditulis-ulang menjadi naskah opera utama yaitu kisah Deakparujar dan Sisingamangaraja XII. Keduanya adalah lakon wajib dalam peetunjukan opera klasik Batak. 

Kisah Deakparujar -- lazim dijuduli "Sianjurmula-mula" -- adalah kisah genesis bumi dan manusia Batak. Sedangkan Sisingamangaraja XII adalah kisah heroik perlawanan orang Batak kepada Belanda si penjajah yang sarat intrik.

Kedua, pembangunan sebuah ruma opera Batak kelas dunia di Kaldera Toba. Bisa di Parapat atau Balige atau tempat lain yang dinilai strategis. Sydney Opera House bisa menjadi contoh untuk kualitas ruma opera yang diharapkan.

Aku membayangkan ruma opera Batak itu, dengan struktur ruma bolon Batak gigantik yang dimodernisasi, berdiri di sebuah teluk atau semenanjung di danau Kaldera Toba. 

Di situ tanah dan perairan, udara terbuka, serta batuan lava andesit/dasit serta pepohonan diintegrasikan secara harmonis menjadi sebuah panggung opera berwawasan ekologis.

Bayangkan satu adegan dramatis ini. Di tengah kegelapan, sebelum ada terang, Boru Deakparujar turun dari kayangan bergelantung pada seutas benang tenun, hingga jemari kakinya menyentuh permukaan air. Itulah adegan awal genesis bumi dan manusia Batak, yang secara mitologis digambarkan selayaknya Taman Eden.

Tentu saja bukan hanya opera Batak yang akan dipanggungkan di ruma opera Kaldera Toba itu. Bisa juga sendratari Mahabrata, atau drama musikal Miss Saigon (Claude-Michel Schönberg dan Alain Boublil), atau opera Turandot (Puccini), atau oratorio Messiah (Georg Friedrich Händel), atau lantunan aria-aria dari Andrea Bocelli. 

Tapi Ruma Opera Kaldera Toba itu kubayangkan sebagai rumah bagi seni tradisi opera Batak. Sebuah rumah yang mengundang orang dari delapan penjuru dunia, untuk datang menyaksikan riwayat bumi dan manusia Kaldera Toba dipanggungkan. 

Wisatawan dengan begitu tak hanya datang untuk memandang dan berendam di air danau. Tapi juga mendapatkan pesan dan kesan mendalam, tentang kisah manusia di balik keindahan Kaldera Toba.

Lantas siapa yang dapat mewujudkan Ruma Opera Kaldera Toba? Kita mungkin bisa berharap pada inisiatif Menko Marves, Menteri Parekraf, Mendikbudristek, Badan Pelaksana Otorita Danau Toba, dan Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba. Masyarakat Kaldera Toba menunggu dan siap bekerjasama. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun