Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kaldera Toba Menuju Tragedi Kepemilikan Bersama?

5 Desember 2023   05:58 Diperbarui: 5 Desember 2023   18:11 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika tiga jenis degradasi lingkungan di atas tak dikendalikan, maka cepat atau lambat Kaldera Toba akan menuju kerusakan parah (deteriorisasi).  Keragaman geologis dan biologisnya terancam hilang.  Air danau menjadi toksik. Daya dukung Kaldera Toba sebagai ekologi manusia merosot. 

Semua kualitas dunia pada Kaldera Toba akan hilang. Keindahan bentang alam, kekayaan geologis, kekayaan hayati, dan keunikan budaya-budaya kebatakan akan hilang. 

Singkat kata, Kaldera Toba akan berubah menjadi semacam rura partangisan,  lembah penderitaan atau lembah orang-orang mati.

Pemerintah dan masyarakat sipil pecinta Kaldera Toba tak ingin hal itu terjadi. Karena itu dibentuk tim untuk merealisasikan gagasan Kaldera Toba sebagai geopark global. Targetnya status geopark menjadi instrumen konservasi ekologi manusia Kaldera Toba. 

Konservasi tersebut mencakup tiga pilar geopark sebagai ekologi manusia. Keragaman geologis, biologis, dan budaya lokal.Termasuk di dalamnya pengembangan ekonomi masyarakat setempat.

Ketika Kaldera Toba diresmikan sebagai geopark nasional (2014) dan, kemudian, geopark global UNESCO (2020), harapan peningkatan upaya konservasi Kaldera Toba rasanya sudah di depan pintu. Tapi itu rupanya hanya ibarat pungguk merindu bulan.

Ternyata Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT) yang dibentuk untuk menjalankan pengelolaan dan pengembangan kawasan kaldera tak punya gigi. Padahal badan itu dibentuk untuk memimpin tanggungjawab konservasi Kaldera Toba yang selama ini alpa.

Masalahnya badan aras propinsi itu -- dibentuk berdasar Pergub Sumut -- tidak otonom dan tak punya anggaran khusus. Dia cuma dicangkokkan pada Dinas Pariwisata danKebudayaan (Disparbud) Sumut. Akibatnya BPGKT tidak bisa menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sendiri. Karena itu dia tak punya program kerja definitif berikut anggarannya.

Jadi sejak dibentuk atau sepanjang 2020-2023 badan itu praktis tak melakukan program aksi yang berdampak signifikan. Baik itu konservasi geologis, biologis, dan budaya maupun pengembangan ekonomi rakyat. Degradasi lingkungan kaldera tetap berlangsung di depan mata.

Tak heran bila pada  September 2023 yang lalu GKT mendapat "kartu kuning", peringatan keras dari UNESCO. Sejumlah rekomendasi program aksi konservasi dan pengembangan ekologi manusia kaldera diberikan. Juga rekomendasi reorganisasi BPGKT. Jika itu tak dijalankan maka status "geopark global" akan dicabut dari Kaldera Toba. Itu "kartu merah".

Sudah tiga bulan berlalu sejak "kartu kuning" diberikan. Tapi Pemda Sumut dan BPGKT masih adem-ayem, business as usual. Belum ada tanda-tanda reorganisasi BPGKT. Jangan kata inisiatif pelaksanaan program-program aksi yang direkomendasikan UNESCO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun