Kapan majunya Indonesia kalau begitu?
Dongeng Intrik Kerajaan dan Legenda Si Malin Kundang
Putusan MK dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 kemudan mennetapkan batas minimal usia capres/cawapres 40 tahun "atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."
Oleh sebagian politisi, pengamat, dan khalayak, putusan itu ditafsir sebagai hasil cawe-cawe Jokowi untuk penentuan capres/cawapres 2024. Â Sebab, singkat cerita, Gibran yang notabene putra sulung Jokowi melenggang jadi cawapres di kubu KIM, mendampingi capres Prabowo. Jokowi dan Gibran menyimpang dari garis partainya, PDIP.
Jokowi langsung menjadi sasaran kebencian dan kemarahan.  Dia dianggap tidak etis karena, pertama,  langsung atau tak langsung, telah mengarahkan MK mengeluarkan putusan yang memfasilitasi Gibran menjadi cawapres  kubu KIM.
Kedua, Jokowi dan Gibran  keluar dari garis kepartaian PDIP atau membangkang pada wewenang Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Â
Ringkasnya, Presiden Jokowi dianggap melakukan konspirasi nepotistik demi mewujudkan dinasti politik Jokowi di luar demarkasi PDIP. Â Indikasinya, Jokowi adalah kakak ipar Ketua MK dan Gibran adalah keponakan Ketua MK.
Kepada Presiden Jokowi lalu disematkan dua label negatif: Â pengkhianat PDIP/Megawati dan dalang politik nepotistik. Sungguh dua label yang terlalu buruk untuk Jokowi yang sudah 9 tahun mewakafkan hidupnya untuk kemajuan bangsa dan negara. Â Setidaknya begitulah dikesankan pemberitaan dan perbincangan khalayak selama ini.
Mengapa Jokowi seolah mendadak menjadi "bukan Jokowi yang dulu lagi"? Â
Media arus-utama  dan media sosial memviralkan dua "cerita anak-anak" sebagai jawaban pertanyaan.
Pertama, sebuah dongeng intrik perebutan kekuasaan di lingkungan kerajaan. Â Konon Permaisuri Solo dan Ibusuri Banteng berseteru. Konon persaingan itu dilatari sakit hati Permaisuri atas hinaan Ibusuri kepada Raja (suami) dan putra mahkotanya (anak kesayangan).Â
Konon Raja kerap direndahkan dengan sebutan "petugas kandang banteng" yang layak dikasihani. Sedangkan putra mahkota kerap dibully sebagai "anak ingusan" yang dikarbit menjadi "raja kecil".