Pak Jokowi itu orang Jawa tulen. Dalam konteks budaya Jawa, ucapan "ojo kesusu" itu multi-faset. Bisa ditujukan pada siapa saja.
Bisa pada Suryo Paloh yang kesusu menetapkan Anies Baswedan sebagai bacapres Koalisi Perubahan. Atau pada Muhaimin Iskandar yang kesusu menyeberang dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) ke Koalisi Perubahan demi menjadi bacawapres.
Bisa juga pada Prabowo Subianto yang kesusu melamar Gibran Rakabuming Raka yang masih "hijau" sebagai bacawapresnya. Atau kepada Gibran agar ojo kesusu menerima pinangan Prabowo.
Atau bisa juga kepada Megawati Sukarnoputri yang kesusu menetapkan Machfud MD sebagai bacawapres Koalisi PDIP. Zonder menanti kepulangan Presiden Jokowi dari Arab Saudi.Â
Bahkan bisa saja kepada Machfud.  Mungkin dia dinilai kesusu menjadi bacawapres Koalisi PDIP, tanpa bicara dulu empat mata.
Juga bisa saja kepada para wartawan sebagai "penyambung lidah" khalayak. Mereka dinilai kesusu karena tak sabaran menunggu putusan Mahkaman Konstitusi (MK) tentang batas umur capres/cawapres.
Satu hal yang pasti, ujaran "ojo kesusu" dari Pak Jokowi itu adalah indikasi bahwa dirinya gak kesusu. Â Artinya cawe-cawe Presiden Jokowi terkait Pilpres 2024, termasuk nama-nama capres/cawapres, bukan sesuatu yang impulsif. Â Mendadak muncul beberapa bulan sebelum 14 Februari 2024.
Tidak, tidak seperti itu. Â Terlalu naif jika berpikir begitu.
Kepentingan Nasional
Saya berpikir begini -- boleh setuju atau gak setuju.
Saya menduga Jokowi  telah cawe-cawe sejak 2019. Berdasar hasil pengamatannya tentang dinamika idiologi, politik, ekonomi dan sosial Indonesia sepanjang  periode pertama kepemimpinannya (2014-2019). Serta pemahamannya atas kaitan dinamika itu dengan proses menuju Indonesia Maju (Emas) tahun 2045.
Jika bukan karena cawe-cawe, buat apa menarik Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, pasangan pesaingnya dalam Pilpres 2019 ke dalam kabinet?