Riset skripsi ke Tulangbawang, jauh di pedalaman Lampung sana? Sori aja, deh. Gue pilih jalur non-skripsi aja.
Kira-kira begitu mungkin reaksi para mahasiswa Generasi Z sekarang. Semisal mereka ditantang bikin skripsi tentang masyarakat di daerah pedalaman atau terpencil.
Cemen? Yah, beda generasi beda tantangan. Jadi beda perilaku juga. Mahasiswa Generasi Baby Boomers macam aku dulu belajar di era "manual", serba terbatas. Generasi Z kini sudah masuk di era "digital", nyaris tanpa pembatas.Â
Ekstrimnya, mahasiswa sekarang bisa kuliah dan lulus dengan cara "rebahan". Cuma modal gadget, pulsa, dan jaringan internet. Buku referensi, artikel ilmiah, data sekunder, responden, dan informan semua bisa dijangkau lewat internet.
Jangan dibandingkanlah dengan kondisi tahun 1984 atau 39 tahun lalu. Â Sarana termewah waktu itu adalah perpustakaan departemen (sekarang prodi), perpustakaan pusat studi. dan perpustakaan universitas. Plus mesin tik "Brother" yang menjadi semacam "piala bergilir" antar mahasiswa skripsian. Â
Tapi setiap masa atau generasi punya kemudahan dan kesukarannya sendiri. Semua mesti dijalani dengan rasa syukur. Kalau tidak begitu, ya, frustasi, deh.
Begitupun aku. Menulis skripsi tentang performa penyuluhan pertanian di daerah transmigrasi adalah pilihan sadar. Bukan atas petunjuk dosen pembimbing (dospem).
Niatku menulis skripsi -- waktu itu disebut "praktek lapang" -- tentang penyuluhan di daerah transmigrasi itu timbul tahun 1982. Pas tahun ketiga kuliah.
Gara-garanya kelasku di jurusan Penyuluhan Pertanian Sosek Faperta IPB melakukan studi tour ke daerah transmigrasi di Lampung. Tepatnya di Metro, Way Abung, dan Blambangan Umpu.Â
"Aku mau bikin skripsi tentang penyuluhan pertanian di daerah transmigrasi." Aku tertarik lalu kusuratkan niat waktu itu.
Penyusunan Proposal Riset
Oktober 1983 aku menemui Prof. Sayogyo, dospemku. Beliau adalah sosiolog pedesaan dengan nama mendunia. Dikenal sebagai penemu "garis kemiskinan" Indonesia.
"Baiklah, kalau maunya begitu."Â
Itu saja respon beliau saat kunyatakan topik skripsiku. Lalu beliau memberi tahu ada buku-buku laporan riset transmigrasi di perpustakaan Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP) yang dipimpinnya. Juga ada hasil riset transmigrasi di kantor proyek Monitoring dan Evaluasi Transmigrasi (MET) di Bogor.
"Silahkan baca-baca di sana."
Begitu saja pertemuan pertama. Tanpa pertanyaan dariku. Sebab apa pula yang bisa ditanyakan kalau belum membaca rujukan dan menulis draft proposal?
Mau tanya bagaima cara menyusun proposal? Walah, bisa-bisa disuruh balik kuliah ke tingkat satu lagi.Â
Kami sudah diingatkan dosen Metode Penelitian: "Jangan pernah bertanya kepada dopem tentang sesuatu yang kamu sendiri belum tahu apa-apa."
Jadi aku harus proaktif, berusaha sendiri sebelum ditegur dospem. Â Pokoknya, dilarang cengeng!
Dua hal kulakukan secara simultan. Membaca-baca skripsi (laporan praktek lapang) para senior di perpustakaan departemen. Tujuannya untuk memahami sistematika dan struktur proposal riset skripsi. Â Itu bisa dibaca pada bab-bab pendahuluan, tinjauan pustaka, dan metode riset.
Pada saat bersamaan aku juga rajin berkunjung ke perpustakaan LPSP dan MET. Di situ aku membaca buku-buku dan laporan riset transmigrasi di berbagai daerah, sejak era kolonisasi di Lampung. Â Itu semua memberi pengetahuan dan gambaran awal bagiku tentang kondisi daerah transmigrasi dan sosial-ekonomi transmigran.
Aku menghabiskan waktu dua minggu untuk membaca dan menulis draft pertama proposal. Â Isinya bagian pendahuluan (latar belakang, permasalahan, tujuan, dan kegunaan) dan tinjauan pustaka (teori, konsep, dan hasil riset empirik).
Seminggu setelah menyerahkan draft proposal, aku menemui dospem untuk konsultasi. Â
"Lanjutkan ke bab metode." Itu saja saran dospem, sambil menyerahkan draft proposal yang sudah dicorat-coret dan diberi catatan di sana sini.
Itu artinya aku harus kerja keras lagi. Menafsir sendiri  corat-coret dan catatan-catatan dospem untuk perbaikan proposal. Â
Itu bukan perkara mudah. Â Bukan saja karena tulisan tangan Prof. Sajogyo kecil-kecil, kerap sulit dibaca. Â Tapi juga karena corat-coret beliau banyak berupa tanda tanya, tanda seru, tanda panah, tanda kurung, lingkaran, garis vertikal di marjin teks dan garis di bawah frasa/kalimat.
Hal-hal itu tak patut ditanyakan kepada dospem. Â Jadi aku kadang harus bertanya kepada asisten-asisten dosen yang pernah dibimbing Pak Sajogyo. Â Kira-kira apa maksud coretan beliau di lembar darft proposal riset skripsiku.
Mungkin ada yang bertanya. Â "Bimbingan kok kayak gitu?" Â Ya, memang begitu gaya membimbing Prof. Sajogyo. Â Kami, mahasiswa bimbingannya, harus berusaha keras sendiri. Â
Prinsipnya, kalau mahasiswa sudah memilih sendiri topik skripsi, ya sudah, Â diikuti saja apa maunya. Â Sambil dipastikan tak melenceng dari kaidah-kaidah ilmiah.Â
Kelak, cara pembimbingan Prof. Sajogyo itu saya adopsi juga.
Dalam bulan Desember 1983, aku sudah menyelesaikan bab metode riset. Â Waktu itu, untuk riset performa penyuluhan pertanian di daerah transmigrasi, aku menerapkan paduan penelitian kualitatif dan kuantitatif.Â
Dosen Metode penelitian kami waktu itu menyarankan metode terpadu seperti itu. Katanya, "Ibarat tubuh manusia, data kuantitatif adalah rangka dan data kualitatif adalah dagingnya." Â Kami mahasiswanya, atau sekurangnya aku, manggut-manggut saja mengiyakan.
Itu artinya aku harus menyiapkan dua jenis instrumen penelitian.  Pertama, pedoman pengumpulan data kualitatif antara lain struktur sosial masyarakat transmigran, lembaga-lembaga penyuluhan pertanian, pola-pola interaksi sosial  transmigran dan penyuluh pertanian. Â
Kedua, kuesioner pengumpukan data kuantitatif semisal data demografis keluarga, luas penguasaan dan pengusahaan lahan, pendapatan usahatani dan non-usahatani, dan manfaat penyuluhan pertanian.
Memasuki minggu kedua Januari 1984 proposal riset skripsiku sudah selesai. Lengkap mulai dari latar belakang, permasalahan, tujuan, kegunaan, tinjauan pustaka, kerangka pikir, metode riset, sampai instrumen pengumpulan data lapangan.
"Silahkan berangkat ke lapangan," Â perintah dospemku sambil membubuhkan tandatangan pada lembar persetujuan proposal. "Berapa lama di sana?"
"Satu bulan, Pak."
"Ya, sudah. Â Selamat jalan."
Persiapan ke Lapangan
Aku keluar dari ruangan Prof. Sayogyo sambil memikirkan hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk keberangkatan dan kegiatan di lapangan. Â Uang, pakaian, kuesioner, alat tulis-menulis, dan surat-surat keterangan.
Semua harus disiapkan secara cermat. Â Agar kerja di lapangan tak terhambat.
Aku secara sengaja telah memilih lokasi riset yang belum atau tak kukenal sama sekali. Jauh pula dari Bogor. Â Itulah Daerah Transmigrasi Tulangbawang, Â Lampung Utara.
Aku tiba pada pilihan ini setelah membaca laporan-laporan kajian transmigrasi di LPSP dan MET. Â Tulangbawang itu tergolong baru, masih di bawah binaan Departemen Transmigrasi. Â Belum diserah-terimakan kepada Departemen Dalam Negeri.
Saat mengurus surat pengantar di Departemen Transmigrasi, Jakarta seorang pegawai memberitahuku lokasi Tulangbawang. Â Ternyata terpencil di pedalaman Lampung Utara sana.
Pegawai Departemen Transmigrasi itu juga memberi petunjuk cara mencapai lokasi itu. Naik bus dulu dari Grogol ke Pelabuhan Merak. Dari situ naik feri ke Bakauheni. Lanjut naik bus ke Rajabasa, Bandar Lampung. Â Kemudian nyambung naik bus ke Menggala. Â Dari Menggala naik angkutan desa ke Tulangbawang.
"Nanti di Tulangbawang, adek minta turun di Unit Empat, ya. Â Di situ, di tepi jalan, ada Kantor Kepala Satuan Pemukiman Transmigrasi. Â Nama kepala kantornya Pak Samudji," pesan pegawai itu.
Kedengarannya gampang ke sana. Â Tapi benarkah begitu? Â (Bersambung ke Bagian 2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H