Oktober 1983 aku menemui Prof. Sayogyo, dospemku. Beliau adalah sosiolog pedesaan dengan nama mendunia. Dikenal sebagai penemu "garis kemiskinan" Indonesia.
"Baiklah, kalau maunya begitu."Â
Itu saja respon beliau saat kunyatakan topik skripsiku. Lalu beliau memberi tahu ada buku-buku laporan riset transmigrasi di perpustakaan Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP) yang dipimpinnya. Juga ada hasil riset transmigrasi di kantor proyek Monitoring dan Evaluasi Transmigrasi (MET) di Bogor.
"Silahkan baca-baca di sana."
Begitu saja pertemuan pertama. Tanpa pertanyaan dariku. Sebab apa pula yang bisa ditanyakan kalau belum membaca rujukan dan menulis draft proposal?
Mau tanya bagaima cara menyusun proposal? Walah, bisa-bisa disuruh balik kuliah ke tingkat satu lagi.Â
Kami sudah diingatkan dosen Metode Penelitian: "Jangan pernah bertanya kepada dopem tentang sesuatu yang kamu sendiri belum tahu apa-apa."
Jadi aku harus proaktif, berusaha sendiri sebelum ditegur dospem. Â Pokoknya, dilarang cengeng!
Dua hal kulakukan secara simultan. Membaca-baca skripsi (laporan praktek lapang) para senior di perpustakaan departemen. Tujuannya untuk memahami sistematika dan struktur proposal riset skripsi. Â Itu bisa dibaca pada bab-bab pendahuluan, tinjauan pustaka, dan metode riset.
Pada saat bersamaan aku juga rajin berkunjung ke perpustakaan LPSP dan MET. Di situ aku membaca buku-buku dan laporan riset transmigrasi di berbagai daerah, sejak era kolonisasi di Lampung. Â Itu semua memberi pengetahuan dan gambaran awal bagiku tentang kondisi daerah transmigrasi dan sosial-ekonomi transmigran.
Aku menghabiskan waktu dua minggu untuk membaca dan menulis draft pertama proposal. Â Isinya bagian pendahuluan (latar belakang, permasalahan, tujuan, dan kegunaan) dan tinjauan pustaka (teori, konsep, dan hasil riset empirik).