Seminggu setelah menyerahkan draft proposal, aku menemui dospem untuk konsultasi. Â
"Lanjutkan ke bab metode." Itu saja saran dospem, sambil menyerahkan draft proposal yang sudah dicorat-coret dan diberi catatan di sana sini.
Itu artinya aku harus kerja keras lagi. Menafsir sendiri  corat-coret dan catatan-catatan dospem untuk perbaikan proposal. Â
Itu bukan perkara mudah. Â Bukan saja karena tulisan tangan Prof. Sajogyo kecil-kecil, kerap sulit dibaca. Â Tapi juga karena corat-coret beliau banyak berupa tanda tanya, tanda seru, tanda panah, tanda kurung, lingkaran, garis vertikal di marjin teks dan garis di bawah frasa/kalimat.
Hal-hal itu tak patut ditanyakan kepada dospem. Â Jadi aku kadang harus bertanya kepada asisten-asisten dosen yang pernah dibimbing Pak Sajogyo. Â Kira-kira apa maksud coretan beliau di lembar darft proposal riset skripsiku.
Mungkin ada yang bertanya. Â "Bimbingan kok kayak gitu?" Â Ya, memang begitu gaya membimbing Prof. Sajogyo. Â Kami, mahasiswa bimbingannya, harus berusaha keras sendiri. Â
Prinsipnya, kalau mahasiswa sudah memilih sendiri topik skripsi, ya sudah, Â diikuti saja apa maunya. Â Sambil dipastikan tak melenceng dari kaidah-kaidah ilmiah.Â
Kelak, cara pembimbingan Prof. Sajogyo itu saya adopsi juga.
Dalam bulan Desember 1983, aku sudah menyelesaikan bab metode riset. Â Waktu itu, untuk riset performa penyuluhan pertanian di daerah transmigrasi, aku menerapkan paduan penelitian kualitatif dan kuantitatif.Â
Dosen Metode penelitian kami waktu itu menyarankan metode terpadu seperti itu. Katanya, "Ibarat tubuh manusia, data kuantitatif adalah rangka dan data kualitatif adalah dagingnya." Â Kami mahasiswanya, atau sekurangnya aku, manggut-manggut saja mengiyakan.
Itu artinya aku harus menyiapkan dua jenis instrumen penelitian.  Pertama, pedoman pengumpulan data kualitatif antara lain struktur sosial masyarakat transmigran, lembaga-lembaga penyuluhan pertanian, pola-pola interaksi sosial  transmigran dan penyuluh pertanian. Â