Kota itu laknat. Mungkin semacam Sodom dan Gumora. Atau barangkali seperti Ninive yang belum tobat.
Sodom, Gumora, dan Ninive. Itulah definisi kota itu. Sehingga tak perlu lagi pemerian. Cukup baca saja kisahnya dalam Kitab Suci.
Senja yang kelam mulai meringkus kota itu. Tak ada lembayung di ufuk barat tadi. Juga tak ada rembulan di timur kini.Â
Langit  kota legam saja oleh kabut jelaga yang menyembur dari ratusan cerobong pabrik-pabrik piaraan para koruptor.
Kota itu bukan lagi rumah manusia. Lebih tepat disebut sarang zombie. Sekurangnya suaka Homo homini lupus.
Zombie dan Homo homini lupus. Dua label yang lebih dari cukup untuk menggambarkan tabiat dan relasi sosial warga kota itu.
Tak ada kejahatan yang terlarang di sana. Penjara kota itu dijejali orang-orang baik. Mereka divonis bersalah karena menghalang-halangi perbuatan jahat.Â
Di kota yang dekaden itulah Dokter Isroba membuka klinik penghilang jejak bejat.
Dokter Isroba. Begitu warga kota mengenal dan menyapanya. Tak ada orang yang pernah memeriksa latar belakangnya.Â
Juga tak ada yang perduli dia sebenarnya dokter gadungan. Penipuan dan pemalsuan adalah kopi pagi bagi warga kota itu.
Keahliannyalah yang dihargai dan dibutuhkan warga kota. Terutama warga elite penguasa dan pengusaha.Â
Keahlian menghilangkan jejak bejat. Jejak selingkuh, seks bebas, dan perkosaan.Â
Kebejatam semacam itu tak terlarang. Hanya saja, pelakunya tak sudi meninggalkan jejak. Maka perlu keahlian menghilangkannya: aborsi!Â
Pada senja yang kelam itu, Dokter Isroba adalah orang terakhir yang keluar dari klinik aborsinya. Seharian dia telah menghilangkan tujuh jejak bejat dari rahim tujuh orang perempuan. Buah percikan benih dari tujuh orang lelaki.Â
Dokter Isroba tak hendak mengingat siapa saja para perempuan itu. Pun para lelaki yang sembarang menanam benih di rahim mereka.
Kecuali perempuan ketujuh. Seorang artis cantik seksi. Dia istri simpanan walikota. Tapi berselingkuh sampai hamil dengan ketua dewan.
Perempuan artis itu minta disetubuhi Dokter Isroba lebih dulu sebelum tindakan aborsi. Maka terjadilah demikian. Itu sebabnya dia mengingatnya.
Seperti dia juga ingat pesan istrinya yang sedang hamil muda. Tadi pagi saat dia hendak berangkat ke klinik.
"Mas, nanti pulangnya bawa buah sukun, ya. Aku ngidam sukun goreng buatanmu."
"Beli di tukang gorengan saja, Yayang."
"Tidak. Aku mau buatan tanganmu."
Suami mana yang kuasa menolak permintaan istrinya yang sedang ngidam. Sekalipun dia suami terbejat sejagad, dia akan menganggukkan kepalanya.
Dokter Isroba berdiri tegak di teras klinik. Dia sedang berpikir keras cara mendapatkan buah sukun di senja hari.Â
Tadi pagi sebenarnya dia sempat menelepon rekan bisnisnya Portim Lasem, importir obat-obatan dan alat-alat kesehatan yang kaya-raya. Dia menceritakan ikhwal istrinya yang ngidam sukun goreng.Â
"Beli di toko online aja." Portim memberi saran solutif.Â
Tapi Dokter Isroba terlalu sibuk. Dia lupa melakukan saran temannya.
Dalam kebingungannya, tiba-tiba pandangan mata Dokter Isroba tertumbuk pada sepohon sukun di pekarangan klinik.
"Hei! Sejak kapan ada pohon sukun di situ?" Terheran-heran dia bertanya dalam hati.
Pertanyaan yang salah. Pohon sukun itu sudah ada di sana lama sebelum Dokter Isroba membuka klinik aborsi di tempat itu. Tapi mata dan pikirannya selama ini hanya terfokus pada janin-janin tak bernoda di rahim-rahim para perempuan ternoda yang datang ke kliniknya.
"Lebat buahnya!" Dokter Isroba benar-benar bersorak gembira, mendongak ke tajuk pohon sukun yang sarat buah itu.Â
Ada ratusan buahnya. Â Bundar hijau berkilau ditimpa cahaya lampu jalan. Dia hanya perlu satu buah.
"Rezeki anakku."Â
Dokter Isroba memutuskan memanjat sendiri pohon sukun itu. Dia menaksir satu buah besar di ujung ranting pada dahan tingkat ke tiga. Kira-kira tujuh meter tingginya di atas tanah.
Terengah-engah memanjat seperti seekor kuskus, dia akhirnya berhasil juga mencapai dahan ketiga. Buah incarannya bergoyang-goyang menggoda pada pucuk ranting di ujung dahan.Â
Berpegangan pada dahan di atasnya, Dokter Isroba beringsut ke tengah dahan untuk menjangkau buah sukun itu.
Ketika jemari tangannya hampir menyentuh buah sukun itu, mendadak buah bundar itu berubah menjadi kepala janin. Kepala itu menyeringai lalu tertawa melengking ke arahnya.Â
Jantung Dokter Isroba seakan copot karena teramat kaget. Aliran darah di dalam tubuhnya seakan terhenti. Matanya terbelalak oleh rasa takut tak kepalang.Â
Sekarang bukan hanya satu buah. Semua buah, ratusan buah, kini berubah menjadi kepala janin yang menyeringai sambil tertawa melengking ke arahnya.
"Tolong!" Teriakan itu tercekat di kerongkongannya. Setelah itu semua menjadi gelap.
Besok paginya.
Media massa lokal memajang headline yang menggemparkan. "Dokter Isroba Ditemukan Tewas di Bawah Pohon Sukun".Â
Paragraf pertama berita itu berbunyi begini: "Pagi ini Dokter Isroba ditemukan tewas di bawah pohon sukun di pekarangan kliniknya. Kepalanya remuk tertimpa ratusan buah sukun."
Besok paginya lagi.
Janda Dokter Isroba tersenyum simpul membaca berita kematian tragis suaminya. Diraihnya ponsel, skrol mencari sebuah nama. Ketemu lalu tekan.
Terdengar suara seorang lelaki menjawab panggilan telepon.
"Hai, Sayang. Anak kita baik-baik saja dalam kandunganmu, kan?"
"Sehat dia, Ayang. Tapi Ayang, aku ngidam sukun goreng buatanmu."
"Ya, Isroba sudah cerita. Nanti sore aku buatkan untukmu, ya, Sayang." (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H