Suami mana yang kuasa menolak permintaan istrinya yang sedang ngidam. Sekalipun dia suami terbejat sejagad, dia akan menganggukkan kepalanya.
Dokter Isroba berdiri tegak di teras klinik. Dia sedang berpikir keras cara mendapatkan buah sukun di senja hari.Â
Tadi pagi sebenarnya dia sempat menelepon rekan bisnisnya Portim Lasem, importir obat-obatan dan alat-alat kesehatan yang kaya-raya. Dia menceritakan ikhwal istrinya yang ngidam sukun goreng.Â
"Beli di toko online aja." Portim memberi saran solutif.Â
Tapi Dokter Isroba terlalu sibuk. Dia lupa melakukan saran temannya.
Dalam kebingungannya, tiba-tiba pandangan mata Dokter Isroba tertumbuk pada sepohon sukun di pekarangan klinik.
"Hei! Sejak kapan ada pohon sukun di situ?" Terheran-heran dia bertanya dalam hati.
Pertanyaan yang salah. Pohon sukun itu sudah ada di sana lama sebelum Dokter Isroba membuka klinik aborsi di tempat itu. Tapi mata dan pikirannya selama ini hanya terfokus pada janin-janin tak bernoda di rahim-rahim para perempuan ternoda yang datang ke kliniknya.
"Lebat buahnya!" Dokter Isroba benar-benar bersorak gembira, mendongak ke tajuk pohon sukun yang sarat buah itu.Â
Ada ratusan buahnya. Â Bundar hijau berkilau ditimpa cahaya lampu jalan. Dia hanya perlu satu buah.
"Rezeki anakku."Â