Tapi Anies memperoleh apa yang diinginkannya: nama baik. Dia disanjung masyarakat bantaran kali sebagai gubernur yang memihak rakyat kecil. Tak perduli mereka sedang menolak pembangunan.
Ganjar Pranowo. Saat diminta berefleksi, bahasa tubuh Ganjar menyatakan kerelaan. Tak ada kesan resisten. Dia langsung menghadap cermin dan menatap serius bayangan dirinya.
Bahasa tubuh Ganjar itu menyatakan kerelaannya untuk mengenali dirinya, sebagai syarat untuk bisa mengenali orang-orang di sekitarnya. Dia siap berkomunikasi secara intersubyektif  dengan orang lain, untuk mencapai kesepahaman bersama tentang kepentingan-kepentingan mereka.
Fokusnya bukan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Tapi kepentingan bersama, sebuah konsensus yang mengikat semua pihak.
Pernyataan reflektifnya menguatkan hal tersebut. Katanya, "... Â soal jabatan ... jangan pernah kamu kejar. Kalau itu takdirmu, laksanakan dengan baik. Jangan pernah korupsi. Bismillahirohmanirohim." Itu pesan kedua orangtuanya.
Dengan pernyataan itu, Ganjar mengenali dirinya sebagai alat Tuhan Yang Maha Kuasa belaka. Kekuasaan, jika itu menjadi takdirnya, adalah amanah. Harus dilaksanakan dengan baik.  Bersih dari korupsi. Demi kemaslahatan rakyat.
Pada posisi sebagai alat Tuhan untuk kemaslahatan rakyat itu, Ganjar terbuka untuk berkomunikasi dengan rakyat. Dia terbuka untuk mengenali rakyatnya: apa masalahnya, apa solusinya, dan bagaimana solusi itu akan dilaksanakan. Â Tanpa mengenali rakyatnya, mustahil seorang penguasa dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik.
Satu contoh untuk memberi kejelasan adalah pembangunan SMKN Jateng. Â Ini adalah hasil kesepahaman antara Ganjar sebagai gubernur dan warga miskin tentang pendidikan kejuruan sebagai jalur pengentasan dari kemiskinan. Â Tiga unit SMKN Jateng (Semarang, Pati, Purbalingga), dengan pola sekolah berasrama, Â mendidik anak-anak dari keluarga miskin atas biaya APBD.Â
Kurikulum sekolah itu, lewat skema kolaborasi, disambungkan dengan dunia industri. Â Karena itu sebesar 80% lulusannya langsung diterima bekerja di perusahaan-perusahaan besar dalam dan luar negeri. Artinya, lulusan sekolah itu langsung menjadi solusi kemiskinan bagi keluarganya. Itulah pembangunan dalam arti sebenarnya.
Prabowo Subianto. Prabowo menolak  berefleksi dengan berbicara pada bayangannya di dalam cermin.  Dia justru berdiri di samping sermin menghadap audiens. Itu bahasa tubuh yang menyatakan resistensi penuh.  Menolak untuk mengenali dirinya dan, karena itu, juga menolak mengenali orang di sekitarnya.
Dari sudut pandang sosiologi reflektif, bahasa tubuh semacam itu mencerminkan ketaksediaan untuk mengenali kelemahan perspektif, kekeliruan asumsi-asumsi, dan bias-biasnya tentang masyarakat. Â Bahasa tubuh yang resisten semacam itu hendak mengatakan "apa yang kupikirkan itu adalah kebenaran yang akan kulakukan dengan caraku sendiri".