Intinya, sesi refleksi itu membuka rahasia para bacapres kelak akan menjadi presiden macam apa jika terpilih pada Pilpres 2024.
Untuk keperluan tafsir sosiologis, saya akan melihat pada dua aspek saja pada refleksi itu. Pertama, bagaimana bahasa tubuhnya saat diminta melakukan refleksi. Â Kedua, apa pernyataan reflektifnya (bahasa lisan) saat melakukan refleksi. Â Untuk yang terakhir ini cukup mengambil frasa kunci saja.
Berikut ini adalah hasil tafsir  refleksi masing-masing bacapres.
Anies Baswedan. Anies melakukan refleksi diri di depan cermin dengan bahasa tubuh canggung, sedikit resisten. "Saya tidak pernah ngomong di depan kaca. Ngomong di depan kamera ternyata lebih mudah daripada ngomong di depan kaca, pada diri sendiri." Anies menguatkan sikap resistennya.
Walau akhirnya Anies melakukan refleksi tapi bahasa tubuhnya, yang kemudian dilisankan, menyatakan dirinya tidak pernah berefleksi. Itu artinya dia tak pernah secara jujur mengenali dirinya dalam rangka mengenali orang-orang di sekitarnya. Tidak pernah melakukan komunikasi -- dalam arti inter-subyektivitas -- dengan lingkungan sosial untuk menemukan kesepakatan bersama  atau konsensus.
Bahasa tubuh yang agak resisten itu mengindikasi kecenderungan Anies untuk memahami orang lain, warga masyarakat, dari sudut pandangnya sendiri. Dalam arti berdasar pengalaman, perspektif, asumsi-asumsi, dan bias-biasnya sendiri. Dia cenderung mengingkari ekksistensi sudut pandang warga masyarakat. Fokus pada diri sendiri.
Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan reflektifnya (lisan). Â Frasa kunci pada lisan Anies adalah pesan ibunya: "... Â yang kita miliki cuma nama baik. Jaga nama itu, baik-baik". Â Frasa itu, dengan susunan kata yang sedikit berbeda, dinyatakan Anies dua kali.
"Menjaga nama baik", itulah fokus Anies. Artinya setiap perkataan dan perbuatannya selalu berorientasi pada pemenuhan kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompiknya. Itu yang utama, bukan kepentingan orang lain.
Satu contoh saja untuk membuat lebih jelas. Sewaktu menjadi gubernur DKI, Anies memajukan konsep "membangun tanpa menggusur". Asumsinya, pengusuran itu menyusahkan warga dan, karena itu, anti-pembangunan. Itu asumsi berdasar pengamatan di permukaan.Â
Anies menolak komunikasi penyadaran, untuk membangunkan  "kesadaran yang tidur" di alam pikir warga pinggir kali. Kesadaran bahwa sejatinya mereka ingin pindah dari pinggir kali ke suatu tempat yang lebih baik.
Dengan konsep "membangun tanpa menggusur" itu, Anies tidak melanjutkan program normalisasi kali Ciliwung karena hal itu berdampak penggusuran. Dia mengajukan program naturalisasi sungai yang tak pernah dilaksanakan.Â