"Dalam menjalankan perannya presiden itu ibarat seekor ikan mas berenang di dalam akuarium. Dia berupaya memahami para ikan mas lainnya, sambil menerima kenyataan dia hidup bersama mereka di dalam satu akuarium milik bersama."
Kutipan di atas adalah adaptasi rumusan sosiolog Harold Garfinkel tentang cara kerja etnometodologi. Itu suatu pendekatan riset sosiologi yang kemudian hari dikonsepsikan Alvin Gouldner (1970) dan Pierre Bourdieu (dan L.C.D. Wacquant) (1992) sebagai sosiologi refleksif (reflexive sociology).
Subyek "sosiolog", dalam perannya sebagai peneliti, secara sengaja telah saya ganti dengan "presiden" dalam kutipan itu. Dasarnya, seperti halnya peneliti sosiologi, seorang presiden harus mengenali dirinya, terkait perspektif, asumsi-asumsi, dan bias-biasnya. Â Tanpa pengenalan diri semacam itu, mustahil seorang presiden bisa mengenali rakyatnya.
Kata Bourdieu, refleksi  itu tentang "memahami diri sendiri dalam rangka memahami liyan dalam masyarakat". Ibarat seekor ikan mas yang mengenali dirinya sebagai bagian dari sekelompok ikan mas dalam satu akuarium.
Asumsinya di sini, pengetahuan itu dibangun secara sosial (socially constructed) dan dunia sosial itu tidak bersifat obyektif atau netral. Suatu pengetahuan  ataupun dunia sosial adalah hasil inter-subyektivitas, sarat dengan kepentingan-kepentingan para subyek pembangunnya.
Jadi secara sosiologis, atau spesifik dari kacamatan sosiologi reflektif, suatu tindakan refleksi adalah landasan komunikasi dengan pihak lain dalam rangka mencapai kesepakatan bersama. Â Dengan "kesepakatan" dimaksudkan di situ adalah harmoni dari kepentingan-kepentingan berbagai pihak yang, kemudian, diterima sebagai "kepentingan bersama".
Kaca mata sosiologi reflektif itulah yang hendak saya pakai di sini untuk menafsir makna refleksi tiga orang bacapres, yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Mereka telah melakukan refleksi  dalam acara Mata Najwa On Stage: 3 Bacapres Bicara Gagasan di Grha Sabha Pramana  UGM pada 19 September 2023 lalu.Â
Mohon dicatat ini tafsir sosiologis, bukan psikologis. Juga mohon dicatat, suatu tafsir sosial selalu mengandung subyektivitas dan, karena itu, tak pernah bebas nilai.
***
Entah disadari atau tidak oleh Najwa Shihab dan ketiga bacapres, juga oleh audiens, sesi refleksi itu sejatinya adalah momen kunci untuk ketiga bacapres mengenali diri sendiri dan dikenali masyarakat calon pemilih dalam Pilpres 2024.Â
Baca juga: Kaesang, PSI dan Era Politik KreatifIntinya, sesi refleksi itu membuka rahasia para bacapres kelak akan menjadi presiden macam apa jika terpilih pada Pilpres 2024.
Untuk keperluan tafsir sosiologis, saya akan melihat pada dua aspek saja pada refleksi itu. Pertama, bagaimana bahasa tubuhnya saat diminta melakukan refleksi. Â Kedua, apa pernyataan reflektifnya (bahasa lisan) saat melakukan refleksi. Â Untuk yang terakhir ini cukup mengambil frasa kunci saja.
Berikut ini adalah hasil tafsir  refleksi masing-masing bacapres.
Anies Baswedan. Anies melakukan refleksi diri di depan cermin dengan bahasa tubuh canggung, sedikit resisten. "Saya tidak pernah ngomong di depan kaca. Ngomong di depan kamera ternyata lebih mudah daripada ngomong di depan kaca, pada diri sendiri." Anies menguatkan sikap resistennya.
Walau akhirnya Anies melakukan refleksi tapi bahasa tubuhnya, yang kemudian dilisankan, menyatakan dirinya tidak pernah berefleksi. Itu artinya dia tak pernah secara jujur mengenali dirinya dalam rangka mengenali orang-orang di sekitarnya. Tidak pernah melakukan komunikasi -- dalam arti inter-subyektivitas -- dengan lingkungan sosial untuk menemukan kesepakatan bersama  atau konsensus.
Bahasa tubuh yang agak resisten itu mengindikasi kecenderungan Anies untuk memahami orang lain, warga masyarakat, dari sudut pandangnya sendiri. Dalam arti berdasar pengalaman, perspektif, asumsi-asumsi, dan bias-biasnya sendiri. Dia cenderung mengingkari ekksistensi sudut pandang warga masyarakat. Fokus pada diri sendiri.
Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan reflektifnya (lisan). Â Frasa kunci pada lisan Anies adalah pesan ibunya: "... Â yang kita miliki cuma nama baik. Jaga nama itu, baik-baik". Â Frasa itu, dengan susunan kata yang sedikit berbeda, dinyatakan Anies dua kali.
"Menjaga nama baik", itulah fokus Anies. Artinya setiap perkataan dan perbuatannya selalu berorientasi pada pemenuhan kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompiknya. Itu yang utama, bukan kepentingan orang lain.
Satu contoh saja untuk membuat lebih jelas. Sewaktu menjadi gubernur DKI, Anies memajukan konsep "membangun tanpa menggusur". Asumsinya, pengusuran itu menyusahkan warga dan, karena itu, anti-pembangunan. Itu asumsi berdasar pengamatan di permukaan.Â
Anies menolak komunikasi penyadaran, untuk membangunkan  "kesadaran yang tidur" di alam pikir warga pinggir kali. Kesadaran bahwa sejatinya mereka ingin pindah dari pinggir kali ke suatu tempat yang lebih baik.
Dengan konsep "membangun tanpa menggusur" itu, Anies tidak melanjutkan program normalisasi kali Ciliwung karena hal itu berdampak penggusuran. Dia mengajukan program naturalisasi sungai yang tak pernah dilaksanakan.Â
Tapi Anies memperoleh apa yang diinginkannya: nama baik. Dia disanjung masyarakat bantaran kali sebagai gubernur yang memihak rakyat kecil. Tak perduli mereka sedang menolak pembangunan.
Ganjar Pranowo. Saat diminta berefleksi, bahasa tubuh Ganjar menyatakan kerelaan. Tak ada kesan resisten. Dia langsung menghadap cermin dan menatap serius bayangan dirinya.
Bahasa tubuh Ganjar itu menyatakan kerelaannya untuk mengenali dirinya, sebagai syarat untuk bisa mengenali orang-orang di sekitarnya. Dia siap berkomunikasi secara intersubyektif  dengan orang lain, untuk mencapai kesepahaman bersama tentang kepentingan-kepentingan mereka.
Fokusnya bukan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Tapi kepentingan bersama, sebuah konsensus yang mengikat semua pihak.
Pernyataan reflektifnya menguatkan hal tersebut. Katanya, "... Â soal jabatan ... jangan pernah kamu kejar. Kalau itu takdirmu, laksanakan dengan baik. Jangan pernah korupsi. Bismillahirohmanirohim." Itu pesan kedua orangtuanya.
Dengan pernyataan itu, Ganjar mengenali dirinya sebagai alat Tuhan Yang Maha Kuasa belaka. Kekuasaan, jika itu menjadi takdirnya, adalah amanah. Harus dilaksanakan dengan baik.  Bersih dari korupsi. Demi kemaslahatan rakyat.
Pada posisi sebagai alat Tuhan untuk kemaslahatan rakyat itu, Ganjar terbuka untuk berkomunikasi dengan rakyat. Dia terbuka untuk mengenali rakyatnya: apa masalahnya, apa solusinya, dan bagaimana solusi itu akan dilaksanakan. Â Tanpa mengenali rakyatnya, mustahil seorang penguasa dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik.
Satu contoh untuk memberi kejelasan adalah pembangunan SMKN Jateng. Â Ini adalah hasil kesepahaman antara Ganjar sebagai gubernur dan warga miskin tentang pendidikan kejuruan sebagai jalur pengentasan dari kemiskinan. Â Tiga unit SMKN Jateng (Semarang, Pati, Purbalingga), dengan pola sekolah berasrama, Â mendidik anak-anak dari keluarga miskin atas biaya APBD.Â
Kurikulum sekolah itu, lewat skema kolaborasi, disambungkan dengan dunia industri. Â Karena itu sebesar 80% lulusannya langsung diterima bekerja di perusahaan-perusahaan besar dalam dan luar negeri. Artinya, lulusan sekolah itu langsung menjadi solusi kemiskinan bagi keluarganya. Itulah pembangunan dalam arti sebenarnya.
Prabowo Subianto. Prabowo menolak  berefleksi dengan berbicara pada bayangannya di dalam cermin.  Dia justru berdiri di samping sermin menghadap audiens. Itu bahasa tubuh yang menyatakan resistensi penuh.  Menolak untuk mengenali dirinya dan, karena itu, juga menolak mengenali orang di sekitarnya.
Dari sudut pandang sosiologi reflektif, bahasa tubuh semacam itu mencerminkan ketaksediaan untuk mengenali kelemahan perspektif, kekeliruan asumsi-asumsi, dan bias-biasnya tentang masyarakat. Â Bahasa tubuh yang resisten semacam itu hendak mengatakan "apa yang kupikirkan itu adalah kebenaran yang akan kulakukan dengan caraku sendiri".
Karena itu pernyataan refelektif Prabowo adalah daftar keinginannya. Â Frasa yang disampaikan berulang kali adalah "saya ingin melihat ... (tidak ada kemiskinan, bangsa saya terhormat, berdiri di atas kaki sendiri, Â pakai buatan Indonesia)."Â
Tak ada yang salah dengan keinginan Prabowo kecuali bahwa bahasa tubuhnya mengisyaratkan hal-hal itu disampaikan secara taken for granted. Artinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Laksanakan saja!
Sebenarnya, kalau melihat latar-belakangnya sebagai militer, sikap Prabowo itu sesuatu yang masuk akal. Â Sebagai bawahan dia patuh tanpa mempertanyakan perintah atasannya. Â Sebagai atasan dia memberi perintah yang pantang dipertanyakan bawahannya. Pokoknya tak ada komunikasi, hanya instruksi. Laksanakan saja!
Satu contoh untuk menjelaskan ini adalah food estate singkong di Kalimantan. Asumsinya ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional.  Jadi memang ada tanggungjawab Kementerian Pertahanan di situ. Â
Food estate singkong itu adalah perintah yang harus dilaksanakan.  Tak ada ruang perbantahan tentang ketaksesuaian lahan, ketaksiapan teknologi, sampai risiko kegagalan. Pokoknya itu mission impossible yang harus sukses. Hasilnya? Diberitakan gagal.
***
Dari paparan tafsir atas refleksi tiga bacapres di atas sebenarnya sudah terbaca indikasi tipologis. Â Siapa bacapres yang cenderung menganut paradigma kerja, dalam arti instruktif, searah dalam relasi subyek - obyek. Â Lalu siapa bacapres yang cenderung menganut paradigma komunikasi, dalam arti komunikatif, dua arah dalam relasi subyek - subyek (intersubyektivitas).
Saya sebenarnya sedikit tergoda untuk memetakan tiga bacapres itu pada tipe-tipe kemimpinan otokratis, demokratis, dan laissez-faire. Tapi saya kira hal itu tak adil karena hanya mendasarkan diri pada tafsir refleksi yang sifatnya terbatas.  Untuk tiba pada kesimpulan tipologi kepemimpinan tiga  bacapres itu, perlu kajian mendalam tentang gaya kepemimpinan yang telah diterapkannya saat menjalankan jabatan publik.
Tapi berdasar tafsir atas refleksi tiga bacapres itu, kendati tetap terbuka untuk disanggah, sekurangnya sudah bisalah diketahui siapa bacapres yang  mau serius dan tulus mengenali dirinya secara jujur, dalam rangka mengenali rakyatnya. Â
Hal itu sangat penting mengingat seorang presiden seharusnya mengenal rakyatnya sebagaimana rakyat juga harus mengenal presidennya. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H