"Isi kepala di balik topi baja
semua serdadu pasti tak jauh berbeda
Tak peduli perwira bintara atau tamtama tetap tentara"- Serdadu, Iwan Fals
Dulu, tahun 1960-an, saya belajar di sebuah SD Negeri tanpa seragam di Tanah Batak. Pakaian kami bebas. Warna-warni, aneka model. Siswi boleh pakai rok terusan. Tak seorangpun pakai alas kaki. Semua nyeker.
Potongan rambut siswa? Tak ada aturan baku. Norma sosial yang berlaku waktu itu laki berambut pendek. Kelazimannya, bila rambut siswa janggaon, panjang, orangtuanya sendiri yang suruh cukur.
Enam tahun belajar di SD, saya dan teman-teman tidak mengenal uniformitas. Kami bebas mengekspresikan diri melalui aneka model pakaian dan rambut. Tak pernah ada teguran guru soal rambut, apalagi razia.
Ketika belajar di SMP paruh pertama tahun 1970-an, saya tetap bebas dari uniformitas. Saya bersekolah di sebuah seminari di Siantar. Itu sekolah calon pastor, yang membebaskan model pakaian dan rambut. Boleh gondrong, maka saya gondrong.
Bagiku, masa sekolah dari SD sampai SMP itu adalah masa "merdeka belajar". Merdeka dalam arti bebas dari intervensi kuasa negara terhadap otonomi kami atas tubuh kami.Â
Eh, kedengarannya serius banget, ya. Pakai istilah "intervensi kuasa negara" dan "otonomi atas tubuh" segala.
Ya, memang soal serius. Seturut pengalamanku, ya.
***
Lulus dari SMP Seminari, saya masuk ke sebuah SMA Negeri paling top di Porsea, Toba. Saya bilang paling top karena itulah satu-satunya SMA Negeri di kota kecamatan itu.
Hari pertama masuk SMA Negeri ini, saya sudah langsung dihadapkan pada aturan uniformitas. Mulai dari pakaian seragam sampai model rambut.Â
Ada tiga seragam waktu itu. Atasan putih bawahan putih (Senin), atasan putih bawahan krem (Selasa-Jumat), dan pramuka (Sabtu). Pramuka itu warna seragam doang, ya. Gak ada emblem, apalagi kegiatannya.
Lalu gaya rambut siswa yang diseragamkan juga. Harus pendek. Dalam arti rambut dilarang menutup daun telinga dan bagian belakang krah kemeja.Â
Kalau aturan gaya rambut itu dilanggar, maka razia muncul sewaktu-waktu, dan gunting guru membabat rambut hingga kuping dan krah baju terlihat. Alasan guru, "Agar kamu bisa mendengar jelas suara guru."
Untungnya, tak ada aturan soal jenis sepatu. Bebas. Boleh sepatu kets, boleh sepatu kulit, atau pantofel sekalian. Saya kadang malah pakai sepatu bot tentara milik bapakku (yang bukan tentara).
Tapi, tak urung, pada waktu itu saya merasakan sesuatu yang bersifat represif. Suatu kuasa yang bersifat memaksa. Sesuatu yang kelak saya mengerti sebagai intervensi kuasa negara pada otonomi warga atas tubuhnya. Intervensi dengan moda otorirarian, bersifat memaksa dan menghukum.
Dalam hal ini, sekolah negeri telah hadir sebagai representasi kuasa negara. Begitu aku masuk ke SMA Negeri itu, maka aku dipaksa untuk tunduk pada aturan-aturan yang ditetapkan dan ditegakkan negara secara sepihak.
Setelah sembilan tahun mengenyam kebebasan berpakaian dan potongan rambut, wujud otonomi atas tubuh sendiri, tiba-tiba di SMA intervensi kuasa negara hadir memaksakan ukuran-ukurannya. Memaksakan warna dan model pakaian yang boleh menempel di tubuhku. Juga memaksakan model potongan rambutku.
Di SMA Negeri itu aku mengalami sekolah sebagai lembaga otoriter, bukan institusi demokratis. Sekolah menjadi seperti lembaga pendidikan militer yang bersifat otoriter, menghasilkan serdadu-serdadu yang seragam luar-dalam. Persis seperti lirik lagu Serdadu dari Iwan Fals di atas.
Ketika puluhan tahun kemudian menjadi orangtua di Jakarta, saya menyaksikan anak-anakku juga kehilangan otonomi atas tubuhnya di sekolah. Sejak dari TK sampai SMA. Dengan taraf otoritarianisme yang jauh lebih keras, dibanding yang kualami semasa SMA dulu.Â
Lebih parah lagi otoritarianisme itu, sebagai intervensi kuasa negara, bahkan bergandeng-tangan dengan bisnis monopolistik. Antara lain berupa bisnis pakaian seragam oleh sekolah. Mulai dari topi, atasan, dasi, bawahan, kaus kaki, sampai sepatu.
Sekolah dengan demikian tak hanya menjadi manifestasi kuasa negara yang bersifat otoriter. Tetapi juga menjadi unit bisnis monopolistik, khusus perdagangan seragam dan bahkan buku pelajaran.
***
Masuk akal bila aturan uniformitas, khusunya rambut pendek, ditegakkan di lingkungan pendidikan ketentaraan. Sebagai kekuatan pertahanan, tentara memang harus seragam luar-dalam. Karena itu pendidikan militer harus otoriter, memaksakan satu idiologi, cara pikir, cara tindak, dan tampilan fisik. Jika tidak begitu, maka bisa timbul pertentangan dalam tubuh tentara. Lalu pertahanan negara menjadi rapuh.
Tapi menerapkan uniformitas di sekolah warga sipil? Pikir dulu! Urgensinya apa, coba.
Untuk pembentukan watak (karakter) bangsa sesuai fungsi dan tujuan pendidikan nasional (UU 20/2003)? Pertanyaannya: watak macam apa, menurut siapa, dan demi apa?
Watak bertakwa pada Tuhan YME dan berakhlak mulia -- seturut UU 20/2003? Apakah uniformitas, khususnya rambut cepak, akan meningkatkan ketakwaan pada Tuhan dan kemuliaan akhlak? Apakah mau bilang siswa seminari (calon pastor), pastor, ustad, dan seniman gondrong itu tak bertakwa pada Tuhan dan tak berakhlak mulia?
Atau uniformitas demi solidaritas, tepaselira antar kelas sosial? Siapa bilang? Coba amati anak-anak SD, SMP dan SMA di Jakarta. Topi, dasi, atasan, dan bawahan boleh sama. Tapi perhatikanlah item-item ini: merek mobil antar-jemput, merek tas, merek arloji, serta merek kaus kaki dan sepatu. Sama sekali tak mencerminkan solidaritas.
Apakah juga uniformitas demi pembentukan disiplin? Disiplin macam apa? Di sekolah penegakan itu mestinya pada disiplin sains. Fokus pada isi otak, atau penguasaan sains. Bukan pada tubuh siswa dan siswi.
Pemberlakuan aturan rambut pendek pada siswa, atau uniformitas tampilan fisik pelajar pada umumnya, bukanlah pendisiplinan. Melainkan pemaksaan ukuran oleh kuasa negara. Atau, dengan kata lain, penaklukan tubuh pelajar atau pemberangusan otonomi pelajar atas tubuhnya.
Negara lewat sekolah menaklukan murid-murid secara otoriter. Di bawah jargon "pelajar harapan bangsa" atau "pelajar masa depan bangsa". Tapi hal itu dilakukan dengan cara yang mengkhianati hakikat sekolah sipil sebagai institusi demokratis.
Sekolah itu institusi demokratis dalam arti membuka ruang untuk perbedaan pemikiran dan ekspresi diri. Sekolah dibentuk untuk mendidik manusia merdeka, manusia revolusioner yang bisa mengubah pengetahuan, pemikiran, nilai, dan norma sosial terdahulu.
Sebuah sekolah yang otoriter, yang menaklukkan otonomi murid atas tubuh dan pikirannya, mustahil bisa membentuk manusia-manusia berjiwa merdeka.
Aturan model rambut cepak bagi siswa itu hanya pucuk kecil dari gunung es otoritarianisme sekolah. Â Kesadaran sosial murid dan orangtuanya telah ditekan secara masif dan sistematis, sehingga menerima sifat kursif sekolah sebagai kewajaran.
Kebijakan "Merdeka Belajar" mestinya menjadi momentum untuk mengubah keadaan itu secara radikal. Mengubah sekolah yang berwatak kursif menjadi remuneratif atau, idealnya, normatif.
Watak kursif sekolah hanya akan menghasilkan murid-murid yang alienatif, yang merasa dipaksa dan karena itu terpaksa ikut aturan sekolah. Hasilnya adalah anak-anak munafik. Di dalam kelas tampak terpelajar, di luar kelas kurang ajar.
Juga, pemaksaan itu jadi berwatak multi-kepentingan. Negara dan masyarakat sipil ikut menentukan seragam dan model rambut murid sekolah. Harus sesuai nilai agama (apa?); harus sesuai budaya bangsa (apa?); harus sesuai norma adat ketimuran (apa?); harus sesuai nilai Pancasila (apa?). Lupa bahwa peserta didik, terlebih dalam konteks Merdeka Belajar, punya hak juga untuk mengekspresikan diri sesuai minat dan kebutuhannya.
Beda bila sekolah berwatak remuneratif. Semisal urusan model rambut siswa itu, sekolah misalnya bisa menawarkan kesempatan gondrong dengan syarat IP minimal 3.50. Siswa akan merespon secara kalkulatif, apa untung-ruginya berprestasi secara akademik.
Atau bila sekolah berwatak normatif, dengan kekuatan sosialisasi norma, siswa diberi kemerdekaan untuk menginternalisasi aturan-aturan sekolah. Semisal soal rambut cepak, internalisasi norma sosial kebiasaan tampilan rambut lelaki pada akhirnya akan mengantar siswa pada kesadaran moral untuk berambut pendek.
Saya sangat sadar pikiran yang disampaikan di sini rada radikal. Pasti mengundang penolakan atau ketaksetujuan dari banyak pihak. Tapi saya juga tak mengklaim pikiranku sebagai pasti benar. Karena itu mari kita berdiskusi secara demokratis. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H