Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Rambut, Uniformitas, dan Otoritarianisme di Sekolah

11 September 2023   06:13 Diperbarui: 12 September 2023   12:04 1669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa (Foto: Shutterstock via KOMPAS.com)

Sekolah itu institusi demokratis dalam arti membuka ruang untuk perbedaan pemikiran dan ekspresi diri. Sekolah dibentuk untuk mendidik manusia merdeka, manusia revolusioner yang bisa mengubah pengetahuan, pemikiran, nilai, dan norma sosial terdahulu.

Sebuah sekolah yang otoriter, yang menaklukkan otonomi murid atas tubuh dan pikirannya, mustahil bisa membentuk manusia-manusia berjiwa merdeka.

Aturan model rambut cepak bagi siswa itu hanya pucuk kecil dari gunung es otoritarianisme sekolah.  Kesadaran sosial murid dan orangtuanya telah ditekan secara masif dan sistematis, sehingga menerima sifat kursif sekolah sebagai kewajaran.

Kebijakan "Merdeka Belajar" mestinya menjadi momentum untuk mengubah keadaan itu secara radikal. Mengubah sekolah yang berwatak kursif menjadi remuneratif atau, idealnya, normatif.

Watak kursif sekolah hanya akan menghasilkan murid-murid yang alienatif, yang merasa dipaksa dan karena itu terpaksa ikut aturan sekolah. Hasilnya adalah anak-anak munafik. Di dalam kelas tampak terpelajar, di luar kelas kurang ajar.

Juga, pemaksaan itu jadi berwatak multi-kepentingan. Negara dan masyarakat sipil ikut menentukan seragam dan model rambut murid sekolah. Harus sesuai nilai agama (apa?); harus sesuai budaya bangsa (apa?); harus sesuai norma adat ketimuran (apa?); harus sesuai nilai Pancasila (apa?). Lupa bahwa peserta didik, terlebih dalam konteks Merdeka Belajar, punya hak juga untuk mengekspresikan diri sesuai minat dan kebutuhannya.

Beda bila sekolah berwatak remuneratif. Semisal urusan model rambut siswa itu, sekolah misalnya bisa menawarkan kesempatan gondrong dengan syarat IP minimal 3.50. Siswa akan merespon secara kalkulatif, apa untung-ruginya berprestasi secara akademik.

Atau bila sekolah berwatak normatif, dengan kekuatan sosialisasi norma, siswa diberi kemerdekaan untuk menginternalisasi aturan-aturan sekolah. Semisal soal rambut cepak, internalisasi norma sosial kebiasaan tampilan rambut lelaki pada akhirnya akan mengantar siswa pada kesadaran moral untuk berambut pendek.

Saya sangat sadar pikiran yang disampaikan di sini rada radikal. Pasti mengundang penolakan atau ketaksetujuan dari banyak pihak. Tapi saya juga tak mengklaim pikiranku sebagai pasti benar. Karena itu mari kita berdiskusi secara demokratis. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun