Lebih parah lagi otoritarianisme itu, sebagai intervensi kuasa negara, bahkan bergandeng-tangan dengan bisnis monopolistik. Antara lain berupa bisnis pakaian seragam oleh sekolah. Mulai dari topi, atasan, dasi, bawahan, kaus kaki, sampai sepatu.
Sekolah dengan demikian tak hanya menjadi manifestasi kuasa negara yang bersifat otoriter. Tetapi juga menjadi unit bisnis monopolistik, khusus perdagangan seragam dan bahkan buku pelajaran.
***
Masuk akal bila aturan uniformitas, khusunya rambut pendek, ditegakkan di lingkungan pendidikan ketentaraan. Sebagai kekuatan pertahanan, tentara memang harus seragam luar-dalam. Karena itu pendidikan militer harus otoriter, memaksakan satu idiologi, cara pikir, cara tindak, dan tampilan fisik. Jika tidak begitu, maka bisa timbul pertentangan dalam tubuh tentara. Lalu pertahanan negara menjadi rapuh.
Tapi menerapkan uniformitas di sekolah warga sipil? Pikir dulu! Urgensinya apa, coba.
Untuk pembentukan watak (karakter) bangsa sesuai fungsi dan tujuan pendidikan nasional (UU 20/2003)? Pertanyaannya: watak macam apa, menurut siapa, dan demi apa?
Watak bertakwa pada Tuhan YME dan berakhlak mulia -- seturut UU 20/2003? Apakah uniformitas, khususnya rambut cepak, akan meningkatkan ketakwaan pada Tuhan dan kemuliaan akhlak? Apakah mau bilang siswa seminari (calon pastor), pastor, ustad, dan seniman gondrong itu tak bertakwa pada Tuhan dan tak berakhlak mulia?
Atau uniformitas demi solidaritas, tepaselira antar kelas sosial? Siapa bilang? Coba amati anak-anak SD, SMP dan SMA di Jakarta. Topi, dasi, atasan, dan bawahan boleh sama. Tapi perhatikanlah item-item ini: merek mobil antar-jemput, merek tas, merek arloji, serta merek kaus kaki dan sepatu. Sama sekali tak mencerminkan solidaritas.
Apakah juga uniformitas demi pembentukan disiplin? Disiplin macam apa? Di sekolah penegakan itu mestinya pada disiplin sains. Fokus pada isi otak, atau penguasaan sains. Bukan pada tubuh siswa dan siswi.
Pemberlakuan aturan rambut pendek pada siswa, atau uniformitas tampilan fisik pelajar pada umumnya, bukanlah pendisiplinan. Melainkan pemaksaan ukuran oleh kuasa negara. Atau, dengan kata lain, penaklukan tubuh pelajar atau pemberangusan otonomi pelajar atas tubuhnya.
Negara lewat sekolah menaklukan murid-murid secara otoriter. Di bawah jargon "pelajar harapan bangsa" atau "pelajar masa depan bangsa". Tapi hal itu dilakukan dengan cara yang mengkhianati hakikat sekolah sipil sebagai institusi demokratis.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!