Lulus dari SMP Seminari, saya masuk ke sebuah SMA Negeri paling top di Porsea, Toba. Saya bilang paling top karena itulah satu-satunya SMA Negeri di kota kecamatan itu.
Hari pertama masuk SMA Negeri ini, saya sudah langsung dihadapkan pada aturan uniformitas. Mulai dari pakaian seragam sampai model rambut.Â
Ada tiga seragam waktu itu. Atasan putih bawahan putih (Senin), atasan putih bawahan krem (Selasa-Jumat), dan pramuka (Sabtu). Pramuka itu warna seragam doang, ya. Gak ada emblem, apalagi kegiatannya.
Lalu gaya rambut siswa yang diseragamkan juga. Harus pendek. Dalam arti rambut dilarang menutup daun telinga dan bagian belakang krah kemeja.Â
Kalau aturan gaya rambut itu dilanggar, maka razia muncul sewaktu-waktu, dan gunting guru membabat rambut hingga kuping dan krah baju terlihat. Alasan guru, "Agar kamu bisa mendengar jelas suara guru."
Untungnya, tak ada aturan soal jenis sepatu. Bebas. Boleh sepatu kets, boleh sepatu kulit, atau pantofel sekalian. Saya kadang malah pakai sepatu bot tentara milik bapakku (yang bukan tentara).
Tapi, tak urung, pada waktu itu saya merasakan sesuatu yang bersifat represif. Suatu kuasa yang bersifat memaksa. Sesuatu yang kelak saya mengerti sebagai intervensi kuasa negara pada otonomi warga atas tubuhnya. Intervensi dengan moda otorirarian, bersifat memaksa dan menghukum.
Dalam hal ini, sekolah negeri telah hadir sebagai representasi kuasa negara. Begitu aku masuk ke SMA Negeri itu, maka aku dipaksa untuk tunduk pada aturan-aturan yang ditetapkan dan ditegakkan negara secara sepihak.
Setelah sembilan tahun mengenyam kebebasan berpakaian dan potongan rambut, wujud otonomi atas tubuh sendiri, tiba-tiba di SMA intervensi kuasa negara hadir memaksakan ukuran-ukurannya. Memaksakan warna dan model pakaian yang boleh menempel di tubuhku. Juga memaksakan model potongan rambutku.
Di SMA Negeri itu aku mengalami sekolah sebagai lembaga otoriter, bukan institusi demokratis. Sekolah menjadi seperti lembaga pendidikan militer yang bersifat otoriter, menghasilkan serdadu-serdadu yang seragam luar-dalam. Persis seperti lirik lagu Serdadu dari Iwan Fals di atas.
Ketika puluhan tahun kemudian menjadi orangtua di Jakarta, saya menyaksikan anak-anakku juga kehilangan otonomi atas tubuhnya di sekolah. Sejak dari TK sampai SMA. Dengan taraf otoritarianisme yang jauh lebih keras, dibanding yang kualami semasa SMA dulu.Â