Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Skripsi Ora Skripsi Sing Penting Kompetensi

3 September 2023   20:00 Diperbarui: 4 September 2023   00:03 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengerjakan skripsi (Pixaba)

"Hore! Wajib skripsi dihapus!" Para mahasiswa bersorak gembira. "Kita bebas dari teror bin horor skripsi!" teriaknya lega.

Tapi mereka salah! Beralih dari skripsi ke non-skripsi itu ibarat "lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya".

Maaf, aku terpaksa menggunakan pepatah itu. Sebab sebagian mahasiswa kadung melihat skripsi sebagai teror dan horor di ujung masa kuliah.

Sebenarnya juga, tugas akhir skripsi tidaklah ditiadakan. Sengaja atau tidak, medol dan medsos telah mendistorsi isi Permendikbudristek nomor 53/2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. 

Peraturan itu tak menghapus kewajiban skripsi. Tapi membuka opsi lain setara skripsi sebagai pengukur akhir kompetensi laik sarjana. Sebut saja itu opsi non-skripsi.

Ke depan prodi-prodi di kampus boleh menawarkan dua opsi jalur utama kelulusan sarjana. Pertama, jalur skripsi (tetap ada) dan, kedua, jalur non-skripsi semisal karya prototipe dan proyek.

Perluasan opsi tugas akhir itu dibuat agar kompatibel dengan keragaman kompetensi mahasiswa yang timbul sebagai hasil implementasi kebijakan Kampus Merdeka. 

Program Kampus Merdeka itu bermuara pada sedikitnya dua tipe kompetensi pokok kesarjanaan: teoretikal dan praktikal.

Kompetensi teoretikal terutama menjadi kompetensi sarjana ilmu-ilmu humaniora, semisal antropologi, sosiologi, sejarah, dan hukum. Fokusnya pada kemampuan analisis dan rekomendasi solutif. 

Adapun kompetensi praktikal masih bisa dipilah menjadi tiga jenis.

Satu: kompetensi manajerial. Ini adalah kompetensi utama sarjana ilmu-ilmu terapan yang berbasis proyek (project based learning) semisal manajemen bisnis, kesejahteraan sosial dan kedokteran. 

Dua: kompetensi teknikal. Ini merupakan kompetensi sarjana vokasi dan bidang teknologi semisal teknik sipil, tambang, mesin, elektro, dan arsitektur.

Tiga: kompetensi artistikal. Ini menjadi kompetensi sarjana bidang seni, semisal musik, tari, lukis, lakon, sastra, dan film.

Alat ukur kompetensi yang kini berlaku umum di perguruan tinggi adalah skripsi. Nah, ini jadi masalah. Sebab skripsi itu hanya relevan mengukur kompetensi teoretikal. Tidak untuk kompetensi praktikal -- yaitu manajerial, teknikal, dan artistikal tadi.

Itulah dasar kebijakan jalur ganda kelulusan kompetensi sarjana itu. Agar alat ukur kompetensi kesarjanaan kompatibel dengan kebijakan Kampus Merdeka yang membuahkan ragam kompetensi.

Bahkan pada pola ekstrimnya, menurut Peraturan Menteri itu, suatu prodi yang menerapkan project based learning bisa saja meniadakan tugas akhir. Baik skripsi maupun non-skripsi. 

Tapi syaratnya sangat berat. Prodi itu harus bisa meyakinkan BAN, bahwa sistem dan proses perkuliahan yang diterapkan benar-benar menghasilkan lulusan dengan kompetensi tinggi. 

Jadi para mahasiswa yang "fobia skripsi" jangan keburu suka-ria dulu. Sebab, pertama, skripsi tidak dihapus tapi dijadikan opsi. Kedua, pilihan opsi tugas akhir itu -- apakah skripsi saja, non-skripsi saja, atau keduanya -- diserahkan pada prodi atau perguruan tinggi yang bersangkutan.

Jelas, ya, skripsi tidak ditiadakan. Tapi mahasiswa boleh menghindari skripsi, sejauh kampusnya menyediakan opsi jalur kompetensi non-skripsi.

Non-Skripsi Itu Bukan Barang Baru

Kebijakan opsional skripsi dan non-skripsi itu bukan hal yang sepenuhnya baru. Jauh sebelumnya jalur non-skripsi sudah diterapkan di sejumlah kampus domestik.

Ada satu contoh ekstrim: Ir. M. Kasim Arifin. Ketika menjadi mahasiswa Agronomi di IPB tahun 1958-1965, lelaki kelahiran Aceh ini (1938) bersama timnya dikirim KKN ke Desa Waimital, Seram Maluku. Mereka ditugaskan membantu petani di sana menerapkan Panca Usaha Tani -- irigasi, olah tanah, benih unggul, pupuk, dan pemberantasan hama dan penyakit.

Ketika teman-temannya pulang ke kampus IPB tahun 1965, Kasim tetap bertahan selama 15 tahun di Waimital untuk membantu warga desa itu meraih kemajuan. Dia berhasil menggalang swadaya petani membuka jalan desa, membangun jaringan irigasi, mencetak sawah baru, dan meningkatkan produktivitas usahatani. Hasilnya Waimital menjadi desa termaju di Seram Barat.

Kasim dijemput pulang ke IPB tahun 1979 dan dianugerahi gelar insiniur tanpa skripsi. Sebagai formalitas, dia hanya diminta menuliskan pengalamannya membangun masyarakat tani di Waimital. Tulisan itu (72 halaman) diselesaikan dengan bantuan teman-temannya.

Kasim Arifin meraih gelar insiniur pertanian bukan di jalur skripsi tapi di jalur karya. Kemajuan masyarakat tani Waimital adalah bukti nyata kompetensi Kasim sebagai sarjana agronomi.

Dengan kualitas yang jauh di bawah Kasim Arifin, aku juga lulus sarjana pertanian tanpa skripsi dari Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian (Sosek) IPB.

Ceritanya waktu itu, paruh pertama 1980-an, tugas akhir mahasiswa Sosek IPB adalah praktek lapang. Lalu menulis laporan praktek lapang itu, menyeminarkannya, dan mempertanggung-jawabkan isinya di hadapan dosen pembimbing.

Waktu itu aku praktek lapang di Pemukiman Transmigrasi Tulangbawang, Lampung Utara. Topiknya performa penyuluhan pertanian. Fokusnya evaluasi proses dan hasil penyuluhan pertanian di desa-desa transmigrasi. Menganalisis beda teori di buku dan fakta empiris di lapangan.

Ketika aku menyerahkan laporan final praktek lapang itu kepada Prof. Sajogyo, pembimbingku, beliau langsung meneken lembar pengesahan. "Konsultasi selama penyusunan laporan itu kan sama dengan ujian," jawabnya saat aku minta diuji. "Cepat mendaftar untuk wisuda." Beliau mengusirku keluar dari ruangannya.

Sekarang inipun, jalur kelulusan non-skripsi sudah ditempuh di sejumlah perguruan tinggi kita. Sekolah-sekolah tinggi dan akademi-akademi seni misalnya menetapkan penilaian kompetensi lululusan berdasar karya. Semisal karya komposisi musik, koreografi tarian, lukisan, dan film pendek.

Sejumlah universitas negeri dan swasta juga telah menerapkan jalur non-skripsi untuk penetapan kelulusan. Lazimnya menggunakan jalur publikasi artikel ilmiah di jurnal nasional terakreditasi SINTA 2 atau 3. Atau jalur prestasi finalis kompetisi ilmiah tingkat nasional atau internasional.

Jadi Permendikbudristek 53/2023 itu sejatinya lebih merupakan pengangkatan opsi jalur kelulusan non-skripsi menjadi kebijakan nasional. Dalam rangka memfasiltasi kompetensi-kompetensi kesarjanaan non-teoretikal, yaitu manajerial dan teknikal.

Sama Sulit atau Mudahnya

Tadi aku mengutip peribahasa "lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya". Itu untuk mengingatkan bahwa opsi skripsi dan non-skripsi itu sama sulitnya atau mudahnya.

Sulit atau mudah itu tergantung kesesuaian predisposisi kompetensi mahasiswa dengan bentuk tugas akhirnya. Jika predisposisi kompetensinya teoretikal, maka tugas akhir tipe praktikal (manajerial, teknikal, artistikal) jelas akan menjadi teror untuknya. 

Sebaliknya jika predisposisi kompetensinya praktikal, entah itu manajerial, atau teknikal, atau artistikal, maka tugas akhir skripsi teoretikal pasti menjadi teror bagi mahasiswa itu. Inilah yang banyak terjadi akibat penerapan skema skripsi teoretikal sebagai alat ukur tunggal kompetensi kesarjanaan.

Sebab itu, sejatinya, tak ada mahasiswa yang lelet atau bahkan gagal menulis skripsi karena dungu. Melainkan karena predisposisi kompetensinya tak berjodoh dengan jenis tugas akhir atau alat ukur kompetensi.

Implementasi Kampus Merdeka telah menguak persoalan itu secara lebih terang. Sebagai solusinya, Mas Menteri Nadiem Makarim lalu mengeluarkan kebijakan tugas akhir atau pengukuran kompetensi kesarjanaan yang bersifat opsional, memerdekakan, yaitu skripsi dan non-skripsi. 

Lantas apakah opsi non-skripsi membuat mahasiswa lebih gampang lulus? Gak juga, sih.

Begini penjelasannya. Perguruan tinggi itu lembaga ilmiah (scientific institution). Implikasinya, setiap mahasiswa harus menguasai cara pikir saintifik yang bersifat logis dan, karena itu, sistematis. Itu disebut penguasaan metode (riset) ilmiah.

Jadi entah itu tugas akhirnya skripsi ataupun non-skripsi, setiap mahasiswa tetap harus mumpuni dalam hal metode riset saintifik. Sekurangnya dalam soal perumusan masalah, kerangka pikir, pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis dan interpretasi data. 

Tanpa penguasaan metodologis itu mustahil mahasiswa mampu menyelesaikan tugas akhir pembuktian kompetensinya. Entah itu skripsi (teoretikal), proyek (manajerial), inovasi teknik (teknikal), ataupun karya seni (artistikal). 

Jadi, skripsi atau non-skripsi itu sama sulitnya atau, sebaliknya, sama mudahnya. Sulit atau mudah sangat tergantung pada kemumpunian mahasiswa di bidang metode saintifik. 

Cilakanya, di situlah persis kelemahan mahasiswa kita, juga dosen-dosen di perguruan tinggi. Lemah di bidang metode (berpikir/riset) saintifik. Penyebabnya, kuliah metode riset hanya diajarkan dalam satu semester. Itupun di bawah nama mata kuliah "Pengantar Metode Penelitian". Ya, hanya pengantar.

Barangkali, untuk episode kebijakan Kampus Merdeka berikutnya, ada baiknya jika Mas Menteri Nadiem fokus pada solusi peningkatan kompetensi atau penguasaan metode berpikir saintifik pada civitas akademika.

Sing Penting Kompetensi

Pada akhirnya bisa dikatakan, meniru orang Jawa, "Skripsi ora skripsi sing penting kompetensi." Atau meniru bunyi sebuah iklan minuman botol, "Apapun tugas akhirnya, kompetensi hasilnya."

Tapi implementasi sebuah kebijakan, tentu saja, tak semudah membalik telapak tangan. Perguruan tinggi bukan semacam Bandung Bondowoso yang bisa membangun seribu candi dalam semalam.

Mas Menteri Nadim sudah bilang transformasi skema tugas akhir, sebagai alat ukur kompetensi, ini menjadi tanggungjawab prodi/perguruan tinggi. Jadi titik kritis (critical point) kebijakan transformatif ini ada pada "kapasitas implementasi" (delivery capacity) prodi/perguruan tinggi.

Dan itu jelas bukan pekerjaan mudah. 

Setidaknya, pertama, perguruan tinggi harus memilah mana saja prodi yang cocok memberlakukan jalur skripsi saja, non-skripsi saja, atau keduanya. Khusus untuk jalur non-skripsi harus ada penetapan bentuk tugas akhir, apakah prototipe/model teknologi, proyek sosial/fisik, atau karya seni. 

Kedua, lalu harus dirumuskan pula kriteria-kriteria kualitas ilmiah tugas non-skripsi untuk memastikan reliabilitas dan validitas/kredibilitasnya sebagai pengukur kompetensi lulusan. Kriteria-kriteria itu harus memenuhi syarat bobot saintifik yang setara dengan produk skripsi.

Ketiga, pihak prodi/perguruan tinggi harus menyiapkan struktur dan infrastruktur pendukung kelancaran skema non-skripsi. Di garis depan, dosen-dosen harus disiapkan kapasitasnya sebagai pembimbing atau pendamping mahasiswa jalur non-skripsi, semisal pendampingan proyek. 

Selain itu prodi/perguruan tinggi juga dituntut meningkatkan modal sosial, khususnya jaringan kerjasama dengan ragam organisasi sosial-ekonomi luar kampus. Jaringan ini penting sebagai cantolan mahasiswa melakukan tugas akhir non-skripsi.

Karena pernah menjadi dosen dan pembimbing penulisan skripsi, aku bisa memperkirakan implementasi jalur non-skripsi itu lebih kompleks dibanding skripsi. Beban akademik dosen akan bertambah dalam dan lebar karena, selain membimbing skripsi, dosen juga mungkin harus mendampingi mahasiswa non-skripsi.

Kampus Merdeka, dengan implikasi pemberlakuan jalur kompetensi skripsi (teoretikal) dan non-skripsi (praktikal), dengan demikian akan meningkatkan beban dan tanggung jawab akademik dosen dan perguruan tinggi. 

Perguruan tinggi harus bisa menjamin bobot ilmiah tinggi pada kompetensi lulusannya, entah itu kompetensi teoretikal ataupun praktikal. Setiap lulusan perguruan tinggi harus mampu mempertanggung-jawabkan hasil tugas akhirnya, entah itu skripsi ataupun non-skripsi, secara ilmiah.

Jadi, apapun bentuk tugas akhir mahasiswa, kompetensi kesarjanaan yang hendak diraih adalah kompetensi ilmiah, entah itu teoretis ataupun praktikal. Bila seseorang mengaku sarjana tapi tak mampu berpikir dan atau bertindak saintifik, berarti dia itu sarjana palsu. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun