Sulit atau mudah itu tergantung kesesuaian predisposisi kompetensi mahasiswa dengan bentuk tugas akhirnya. Jika predisposisi kompetensinya teoretikal, maka tugas akhir tipe praktikal (manajerial, teknikal, artistikal) jelas akan menjadi teror untuknya.Â
Sebaliknya jika predisposisi kompetensinya praktikal, entah itu manajerial, atau teknikal, atau artistikal, maka tugas akhir skripsi teoretikal pasti menjadi teror bagi mahasiswa itu. Inilah yang banyak terjadi akibat penerapan skema skripsi teoretikal sebagai alat ukur tunggal kompetensi kesarjanaan.
Sebab itu, sejatinya, tak ada mahasiswa yang lelet atau bahkan gagal menulis skripsi karena dungu. Melainkan karena predisposisi kompetensinya tak berjodoh dengan jenis tugas akhir atau alat ukur kompetensi.
Implementasi Kampus Merdeka telah menguak persoalan itu secara lebih terang. Sebagai solusinya, Mas Menteri Nadiem Makarim lalu mengeluarkan kebijakan tugas akhir atau pengukuran kompetensi kesarjanaan yang bersifat opsional, memerdekakan, yaitu skripsi dan non-skripsi.Â
Lantas apakah opsi non-skripsi membuat mahasiswa lebih gampang lulus? Gak juga, sih.
Begini penjelasannya. Perguruan tinggi itu lembaga ilmiah (scientific institution). Implikasinya, setiap mahasiswa harus menguasai cara pikir saintifik yang bersifat logis dan, karena itu, sistematis. Itu disebut penguasaan metode (riset) ilmiah.
Jadi entah itu tugas akhirnya skripsi ataupun non-skripsi, setiap mahasiswa tetap harus mumpuni dalam hal metode riset saintifik. Sekurangnya dalam soal perumusan masalah, kerangka pikir, pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis dan interpretasi data.Â
Tanpa penguasaan metodologis itu mustahil mahasiswa mampu menyelesaikan tugas akhir pembuktian kompetensinya. Entah itu skripsi (teoretikal), proyek (manajerial), inovasi teknik (teknikal), ataupun karya seni (artistikal).Â
Jadi, skripsi atau non-skripsi itu sama sulitnya atau, sebaliknya, sama mudahnya. Sulit atau mudah sangat tergantung pada kemumpunian mahasiswa di bidang metode saintifik.Â
Cilakanya, di situlah persis kelemahan mahasiswa kita, juga dosen-dosen di perguruan tinggi. Lemah di bidang metode (berpikir/riset) saintifik. Penyebabnya, kuliah metode riset hanya diajarkan dalam satu semester. Itupun di bawah nama mata kuliah "Pengantar Metode Penelitian". Ya, hanya pengantar.
Barangkali, untuk episode kebijakan Kampus Merdeka berikutnya, ada baiknya jika Mas Menteri Nadiem fokus pada solusi peningkatan kompetensi atau penguasaan metode berpikir saintifik pada civitas akademika.