Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benarkah Anies Baswedan Bacapres Pro-Perubahan?

29 Juli 2023   09:49 Diperbarui: 29 Juli 2023   14:29 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benarkah Anies Baswedan dan Koalisi Perubahan sungguh pro-perubahan? Ada indikasi sebaliknya justru anti-perubahan.

Anies Baswedan, bakal calon presiden (bacapres) Koalisi Perubahan untuk Persatuan (selanjutnya Koalisi Perubahan), kemana-mana kini getol mengusung dan menjual isu "perubahan". 

Dia dan kubu pendukungnya dari Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS telah menetapkan  dan menawarkan "perubahan" sebagai inti visi, misi, strategi, kebijakan, dan program pembangunan nasional.

Isu "perubahan" (change) itu diangkat sebagai faktor pembeda dengan kubu bacapres pro-Jokowi yang mengusung tema "keberlanjutan" (continuity). Dengan kata lain menegaskan posisi Anies sebagai bacapres "antitesis Jokowi" dalam  Pilpres 2024.

Hal itu mengingatkan pada pola kontestasi Pilgub DKI 2017.  Waktu itu Anies-Sandiaga tampil dengan gagasan "Jakarta Baru", kata lain untuk "perubahan Jakarta". 

Maksud Anies, dia tidak akan melanjutkan kebijakan dan program pembangunan yang telah digagas dan dijalankan Jokowi-Ahok/ Ahok-Jarot. Dengan kata lain dia menampilkan diri sebagai "antitesis Jokowi/Ahok".

Pesan inti dalam pemasaran bacapres Anies oleh Koalisi Perubahan kini adalah "kisah sukses Anies di Jakarta". Klaim sukses "perubahan Jakarta" hendak direplikasi, tepatnya upscaling, ke aras nasional. 

Karena itu Anies kerap berujar, kalau mau lihat apa itu "perubahan", dan apa yang akan dilakukannya jika menjadi Presiden RI, lihatlah rekam jejaknya di Jakarta.

Pertanyaannya, benarkah Anies Baswedan seorang bacapres pro-perubahan dan sedang mempromosikan perubahan? Saya akan coba jawab baik dari sisi idiologi, konsep (teori) maupun sisi empirik, dengan merujuk fakta rekam jejaknya di Jakarta.

***

Mari kita lihat dari sisi idiologi dulu. Untuk itu perlu memeriksa apa idiologi Koalisi Perubahan, pengusung bacapres Anies Baswedan.

Informasi dalam wikipedia.org menyebut idiologi Koalisi Perubahan adalah Pancasila dan Konservatisme Sosial. Pancasila, ya, memang sudah seharusnya di negara ini. Tapi konservatisme sosial?

Konservatisme (Latin, consevare: melestarikan, menjaga) adalah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Semisal kembali kembali ke nilai-nilai budaya masa silam, atau sekurangnya mempertahankan status quo. Dengan kata lain anti-perubahan, jika perubahan diasumsikan sebagai "gerak maju".

Sebagai sebuah idiologi, konservatisme sosial tergolong politik sayap kanan. Idiologi ini dicirikan oleh,  pertama, kegigihan mempertahankan nilai-nilai tradisional dan, karena itu, menolak atau mengritik perubahan sosial. Penganut idiologi ini menolak keras, misalnya, hak LGBT, legalisasi hak aborsi, dan seks pra-nikah.

Kedua, mendukung peran agama mengatur kehidupan masyarakat dan, karena itu, mendukung eksistensi negara  agama serta menolak sekularisme dan liberalisme. Penganut idiologi ini berjuang mengintegrasikan hukum agama, seccara tersurat ataupun tersirat, ke dalam hukum positif negara.

Jadi, jika koalisi pengusungnya menganut idiologi konservatisme sosial yang anti perubahan, maka bagaimana mungkin Anies Baswedan sebaliknya menganut prinsip pro-perubahan? 

Bukankah hal itu berarti Anies mengkhianati idiologi Koalisi Perubahan? Sesuatu yang mustahil, bukan?

***

Secara konseptual pembangunan diartikan sebagai perubahan berencana secara berkelanjutan menuju kondisi yang lebih baik. Perubahan itu mencakup kondisi manusia (sosial, ekonomi, budaya, politik) dan lingkungan alam atau ekosistemnya, baik di lingkup nasional (makro) maupun lokal (meso/mikro).

Jika pembangunan adalah perubahan berencana secara berkelanjutan, maka dengan sendirinya konsep "perubahan" dan "keberlanjutan" bukanlah dua hal yang besifat dikotomis. Satunya bukan antitesis untuk yang lainnya.

Anies sendiri sejatinya memahami soal itu. Karena itu dia pernah bilang perubahan itu ada unsur change and continuity.  Tak mungkin continuity saja, juga tak mungkin hanya change saja". [1]  Dengan kata lain Anies mau bilang bahwa proses pembangunan adalah "perubahan berkelanjutan". 

Untuk penegasan, pada kesempatan lain dia mengatakan "perubahan bukan  berarti menghilangkan yang kemarin".  Hal itu dikatakannya sebab ada pertanyaan apakah Anies akan melanjutkan program Jokowi jika jia terpilih menjadi presiden. Semisal Proyek IKN, kereta api cepat, jalan tol Trans-Sumatra, dan hilirisasi hasil tambang. Dia menegaskan empat kemungkinan artikulasi perubahan yaitu menghentikan, mengoreksi, dan melanjutkan yang terdahulu serta melakukan hal baru. [2]

Jelas bahwa dikotomi "perubahan" versus "keberlanjutan" antara kubu pendukung Anies dan pendukung Ganjar Pranowo (juga Prabowo) adalah salah kaprah yang tak cerdas.  Secara konseptual perubahan dan keberlanjutan itu adalah dua sisi mata uang, bila pembangunan dipahami sebagai perubahan berencana menuju kemajuan (berkelanjutan).

Lawan "perubahan" itu adalah "stagnasi" atau status quo, atau bahkan kemunduran. Secara khusus artikulasi kemunduran itu adalah penolakan modernisasi demi penegakan tradisi. 

Pertanyaannya, tentu saja, benarkah pemerintahan Jokowi sejak 2014 membawa kemunduran atau stagnasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik nasional? 

Jika tidak benar, maka gagasan "perubahan" yang ditiup-tiupkan Anies dan pendukungnya menjadi ahistoris dan tidak kontekstual. Dia, sekali lagi, tak lebih dari jargon kosong, sekadar penegasan "antitesis Jokowi".

Sejatinya jargon "perubahan" yang diusung Anies dan Koalisi Perubahan tak lebih dari inti pembangunan di setiap negara penganut paradigma modernisasi.  Di situ gerak perubahan berada  pada satu garis kontinum "kemunduran - kemajuan".  Artinya janji perubahan dapat saja berakhir di  kutub "kemunduran", "stagnan",  atau di kutub "kemajuan".

Barangkali ada pembelaan dengan merujuk penegasan  PKS (2022) saat  membentuk poros perubahan.  Katanya Indonesia harus berubah menjadi negara yang lebih adil, sejahtera, demokratis, bersatu, berdaulat, dan lebih berperan strategis di panggung politik global? [3]  

Ah, itu bukan hal baru. Sudah tercantum jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Sejak masa Orde Lama sampai sekarang setiap Presiden Indonesia, termasuk Jokowi, juga telah menjanjikan hal semacam itu.

***

Di atas sudah ditunjukkan bahwa secara idiologis dan konseptual Anies dan Koalisi Perubahan mengarah pada paham "anti-perubahan".  Jargon perubahan yang digaungkan jelas bertentangan dengan konservatisme sosial, idiologi Koalisasi Perubahan. 

Secara konseptualpun isu "perubahan" yang ditawarkan bersifat ambigu. Salah satu kemungkinan arahnya adalah "gerak mundur" dari modern(isasi) berbalik ke tradisional(isasi).

Anies getol menyarankan orang memeriksa rekam jejaknya sebagai Gubernur Jakarta (2017-2022) untuk melihat fakta empiris perubahan yang digadangnya. Saran itu hendak diikuti di sini.

Logikanya begini. Jika benar Anies pro-perubahan, maka pembangunan Jakarta semasa pemerintahannya tentulah membawa kemajuan. Dia dulu gemar bernarasi "maju kotanya bahagia warganya". Sejauh mana itu menjadi kenyataan?

Karena subyek pembangunan adalah manusia, maka perubahan dalam arti kemajuan  harus dilihat pada manusia itu sendiri. Ukuran obyektifnya adalah peningkatan taraf sosial-ekonomi kehidupan warga. Indikatornya adalah pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, rasio gini pendapatan, tingkat kemiskinan, tingkat kebahagiaan (IK), dan indeks pembangunan manusia (IPM).

Merujuk data BPS, indikator taraf sosial-ekonomi warga Jakarta periode 2017-2022 adalah sebagai berikut ini. [4]

PDB per Kapita.  PDB per kapita Jakarta naik sebesar 30.86%, rerata 5.61% per tahun, dari Rp 228.00 juta (2017) menjadi Rp 298.36 juta (2022). Angka pertumbuhan PDB Jakarta lebih rendah dari angka nasional sebesar 36.89%, rerata 6.64% per tahun, dari Rp 51.89 juta (2017) menjadi Rp 71.03 juta (2022).

Rasio Gini Pendapatan.  Rasio Gini Pendapatan di Jakarta meningkat 0.73% (0.003 poin), rerata 0.18% per tahun, dari 0.409 (2017) menjadi 0.412 (2022).  Angka Gini Rasio nasional sendiri menunjukkan tren penurunan -2.56% (-0.01 poin), atau rerata -0.51% per tahun, dari 0.39 (2017) menjadi 0.38  (2022).

Artinya ketimpangan pendapatan di Jakarta semakin melebar. Itu indikasi peningkatan GDP lebih banyak dinikmati kelompok 20% penduduk berpendapatan tertinggi.

Angka Kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Jakarta naik 21.96% (0.83 poin), atau rerata 5.14% per tahun, dari 3.78% (2017) menjadi 4.61% (2022).  Sementara jumlah penduduk miskin Indonesia turun -5.43% (-0.55 poin), atau rerata -0.95% per tahun, dari 10.12% (2017) menjadi 9.57% (2022).

Fakta pertambahan penduduk miskin di Jakarta menguatkan kesimpulan bahwa peningkatan PDB-nya hanya dinikmati oleh kelompok 20% berpenghasilan tinggi.  

Indeks Pembangunan Manusia. IPM Jakarta naik 1.59 poin atau 1.99%, rerata 0.39% per tahun, dari 80.06 (2017) menjadi 81.65 (2022).  Sedangkan IPM nasional naik 2.10 poin atau 2.97%, rerata 0.59% per tahun, dari 70.81 92017) menjadi 72.91 (2022).

Angka pertumbuhan IPM Jakarta yang lebih rendah dibanding angka nasional adalah indikasi kondisi kesehatan, pendidikan, dan kelayakan hidup (tiga indikator IPM) warga Jakarta tidak berubah signifikan.  Artinya tingkat akses warga Jakarta terhadap hasil pembangunan relatif stagnan. 

Indeks Kebahagiaan.  Angka IK Jakarta merosot 0.65 poin dari 71.33 (2017) menjadi 70.68 (2021). Sementara IK nasional naik 0.80 poin atau 1.13% dari 70.69 (2017) menjadi 71.49 (2021).

Artinya kebahagiaan warga Jakarta merosot, diukur dari aspek-aspek  kepuasan terhadap kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumahtangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan, dan keamanan.

Merosotnya kebahagiaan warga Jakarta itu konsisten dengan fakta kesenjangan pendapatan yang tergolong tinggi, peningkatan angka kemiskinan, dan peningkatan IPM yang rendah.

Kesimpulannya pertumbuhan taraf sosial-ekonomi Jakarta dalam periode pemerintahan Anies (2017-2022)  secara keseluruhan relatif stagnan atau bahkan merosot. Pertumbuhan PDB rendah, Rasio Gini Pendapatan (ketimpangan) meningkat, kemiskinan meningkat, pertumbuhan IPM rendah, dan indeks kebahagiaan warga menurun.

Artinya, Jakarta di tangan Anies tidak mengalami kemajuan sosial-ekonomi atau, dengan kata lain, tidak menunjukkan adanya perubahan signifikan.

***

Tapi bukankah Anies menjalankan sejumlah program yang diklaim sebagai program transformasi dan kolaborasi Jakarta? Simak infografis berikut.

Program transformasi dan kolaborasi Jakarta 2017-2022 (Sumber: okezone.com)
Program transformasi dan kolaborasi Jakarta 2017-2022 (Sumber: okezone.com)

Tentu perlu analisis mendalam untuk menjelaskan mengapa setumpuk program transformasi dan kolaborasi itu tak berdampak peningkatan taraf sosial-ekonomi warga Jakarta. 

Tapi sebuah penjelasan sementara, hipotetis, dapat diajukan di sini. Diduga bahwa program-program transformasi (dan kolaborasi) yang dijalankan Anies di Jakarta itu adalah gejala "modernisasi tanpa pembangunan."

Maksudnya, Anies melakukan modernisasi pada sistem layanan dan prasarana/sarana publik, tapi tak memberi dampak perubahan positif atau perbaikan signifikan pada taraf kehidupan sosial-ekonomi warga Jakarta.

Sasaran utama pembangunan sebagai perubahan positif berencana adalah peningkatan taraf sosial-ekonomi warga atau masyarakat. Jika itu tak tercapai di Jakarta semasa pemerintahan Anies, berarti program pembangunan waktu itu tidak berjalan sebagai proses peningkatan taraf sosial-ekonomi masyakat. Tetapi berlangsung sebagai proses pengembangan properti. Di situ pemerintah berfungsi tak lebih dari sekadar developer, pengembang.

Dalam konteks itu, prasarana/sarana fisik yang dibangun tak lebih dari simulakra "ikon sukses perubahan", hiperrealitas yang diglorifikadi lewat kekuatan media sosial. Suatu realitas semu (maya) yang tak kogereb dengan realitas empiris. Ini menjelaskan mengapa pendukung Anies sangat meradang saat merespon rencana renovasi JIS, suatu "simulakra agung" untuk sukses perubahan Jakarta.

Pada akhirnya, saya hanya menyampaikan sebuah analisis yang terbuka untuk didebat atau difalsifikasi. Silahkan saja. Kita berdiskusi secara logis.

Tapi sebagai bahan diskusi saya harus menyimpulkan di sini bahwa, berdasar analisis di atas, Anies Baswedan dan Koalisi Perubahan tidaklah pro-perubahan, melainkan cenderung pada paham anti-perubahan. (eFTe)

Catatan Kaki:

[1] "Anies Baswedan: Tidak Mungkin Ada Keberlanjutan Tanpa Perubahan," Tempo.co (6 Mei 2023)

[2] "Anies: Perubahan Bukan Berarti Menghilangkan yang Kemarin," Kompas. com (17 Maret 2023)

[3] "Koalisi Perubahan dan Persatuan", Wikipedia.org

[4] "Ganjar dan Anies, Rekam Jejak Siapa yang Lebih Baik?" Kompasiana.com (31 Mei 2023)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun