Jika ingin mengetahui sejarah tempo dulu sebuah kota, maka berkunjunglah ke museum kota tua yang ada di situ.
Itulah yang kulakukan di Semarang. Sebab waktu singgahku terlalu pendek untuk menjelajah seluruh sudut kota lama di sana.
Beruntung, memang, aku berkunjung di waktu yang pas. Â Semarang baru saja punya Museum Kota Lama. Baru dibuka pada Februari 2022 lalu.
Aku baca di "medol" (media online) museum itu menggunakan teknologi imersif. Itu teknologi pengaburan batas dunia nyata dan dunia simulasi digital, sehingga pengunjung merasa berada di tengah kota Semarang tempo dulu. Museum Kota Lama adalah penerap pertama dii Indonesia.
"Bagus sekali," pikirku saat mengakses e-tiket gratis via aplikasi Lunpia -- aplikasi khusus wisata Semarang. Kubayangkan diri menelusuri jalan dan gang Kota Lama secara imersif nanti di museum.
Sip, dapat e-tiketnya berupa barcode. Satu nomor ponsel bisa mendapat dua tiket. Aku pakai dua nomor ponsel untuk mendapat empat tiket. Istri, aku, dan dua anak kami.
"Asyik, gratis," sorak anakku. "Hush, gak ada yang gratis," sanggahku. "Uang pembangunan dan pengelolaan museum itu diambil dari pajak yang kita bayarkan."
Kami pilih sesi kunjungan paling akhir, pukul 15.00-15.30 WIB. Satu sesi 30 menit lamanya.
Tepat pukul 14.30 WIB kami mulai melangkah dari Taman Srigunting, jantung Kota Lama, menyusuri  Heerenstraat, sekarang Jalan Letjen Suprapto, ke arah timur. Tiba di persimpangan dengan Oosterwalstraat, sekarang Jalan Cendrawasih, kami berbelok ke kanan. Seterusnya menyusuri jalan ke selatan, hingga tiba di Museum Kota Lama.Â
Gedung museum itu berdiri di tengah Bundaran Bubakan, Purwodinatan. Bundaran ini tadinya adalah spot air mancur. Sewaktu diadakan penggalian untuk revitalisasi taman kota, ditemukan di situ instalasi depo loko trem pertama di Hindia Belanda..
Temuan itu kemudian menginspirasi pembangunan Museum Kota Lama di sana. Maka jadilah museum senilai Rp 3.9 miliar.Â
Ke situlah kami berempat melangkahkan kaki. Di bawah terik matahari sore.
***
Setelah menyeberangi jalan lingkar bundaran museum dari arah barat, kami melintasi jembatan kaca yang membentang di atas kolam air tanpa ikan.
Ujung timur jembatan itu tepat menghadap patung Dipta Dipa karya seniman Yani M. Sastranegara. Patung logam setinggi total 450 meter itu adalah abstraksi dan simbolisasi dinamika kesejarahan kota lama.
Bentuk patung menyerupai mata panah raksasa. Â Itu terinspirasi oleh bentuk Bastion Amsterdam pada sudut tenggara tembok Kota Lama. Pondasi bastion itu berada di sekitar bundaran Bubakan.
Di pelataran museum sejumlah calon pengunjung sudah menunggu. Untuk diketahui, setiap sesi kunjungan maksimal 30 orang. Kapasitas museum ini terbatas.
Kulirik arlojiku. Jarumnya menunjuk waktu pukul 14.51 WIB.Â
Aku mendekat ke pintu museum, dengan harapan akan terkuak. Sebab kusangka itu pintu otomatis seperti di mal-mal. Eh, pintu malah terbuka manual. Seorang perempuan bermasker melongok dari dalam.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Oh, maaf, Bu. Kami mau masuk museum. Sesi pukul tiga sore."
"Mohon tunggu lima menit lagi, ya, Pak. Sesi setengah tiga belum selesai."
Perempuan ramah tadi tepat janji. Pukul 15.00 WIB pintu museum dibuka. Seorang Mbak Pemandu dalam balutan blouse and slack hitam mengabsen pengunjung satu per satu secara manual. Â
"Jadi apa gunanya e-tiket barcode," gugatku dalam hati. Tadinya kupikir barcode itu cukup dihadapkan pada mesin pemindai. Ternyata justru manual.
Mendadak aku merasa bodoh dengan e-tiket di ponselku. Serasa menyimpan arsip digital unfaedah. "Bagaimana bisa museum berteknologi imersif ini tak dilengkapi mesin pemindai e-tiket?" Aku tak bisa menjawabnya.
"Mohon lepas alas kaki dan simpan di rak." Mbak Pemandu mengingatkan. Baguslah. Itu cara menjaga kebersihan lantai. Â
"Silahkan berdiri menghadap dinding." Kami, pengunjung, manut pada instruksi Mbak Pemandu. Berdiri menghadap dinding yang dilelekati sebuah replika perahu.
Lampu ruangan dimatikan. Gelap. Tiba-tiba kerlap-kerlip warna-warni lampu, berputar-putar macam di lantai disko.
Aku berdiri bodoh di pojok ruangan. Bingung tentang makna lampu disko itu. Tapi sebelum terpikirkan apapun, sebuah film animasi tertayang di dinding. Â
Animasi itu menggambarkan kesibukan Semarang sebagai kota pelabuhan niaga. Dulu, sampai abad 15, kota lama Semarang itu masih berupa kepulauan. Kira-kira garis pantainya berada di Simongan Semarang Barat, lokasi Kelenteng Sam Poo Kong sekarang. Laksamana Cheng Ho, penyebar Islam dari Cina, dulu (1405) berlabuh di situ. Â
Tampak dalam film kesibukan di pelabuhan. Ada pedagang Eropa (Belanda?), Arab, dan Cina. Ada serdadu Belanda. Lalu inlander sebagai kuli penarik gerobak. Serta perahu dan kapal hilir-mudik atau buang sauh.
Setidaknya begitulah penuturan Mbak Pemandu yang tempo bicaranya memburu. Semacam cerocos pacar cemburu. (Pangapunten inggih, Mbak.)
Belum sepenuhnya aku bisa menyambungkan tuturan dan tayangan, Mbak Pemandu sudah mempersilahkan untuk foto-fotoan. Pengunjung berebutanlah foto-fotoan dengan pose naik replika perahu. Seolah sedang berlayar di perairan Semarang lampau.
Ah, begitu rupanya teknologi imersif.
Dibolehkan foto-fotoan di museum. Mungkin untuk mengakomodasi kegetolan warganet +62 pamer status di Twitter atau Instagram. Hanya saja, tanpa alasan, dilarang menggunakan kamera profesional.
"Sekarang kita pindah ke ruang imersif."
"Bah! Tadi itu bukan imersif?"
Kami, pengunjung, bergerak mengikuti arahan Mbak Pemandu macam kerbau dicucuk hidung.
Sekali lagi lampu dipadamkan. Lampu disko warna-warni kerlap-kerlip. Â Foto Presiden Jokowi dan Menteri PUPR Basuki tertayang di dua sisi dinding.Â
Sumpeh, gue gak faham nape wajah dua tokoh besar yang masih sehat-walafiat itu ada di museum. Â Apakah sudah waktunya mereka dimuseumkan?
Film animasi mulai diputar. Di keempat sisi dinding ruangan tertayang suasana Semarang masa lalu, sekitar tahun 800-an. Mula-mula rawa belukar. Lalu muncul bangunan-bangunan pemukiman.Â
Pura-puranya kami sedang berada di tengah Semarang lama. Kan, imersif. Tapi aku tak merasa begitu, sih. Malah agak pusing.
Mbak Pemandu mulai bertutur. Tetap dengan tempo dan tone memburu macam tadi.
Cerita melompat ke jauh ke akhir abad 15. Kerajaan Demak mengirim Kyai Ageng Pandanarang, kelak disebut Sunan Pandanaran I, ke pulau Bergota -- salah satu pulau di pantai Semarang kala itu.Â
Dia menemukan fenomena ekologis aneh di sana. Â Pepohonan asem Jawa tumbuh (j)arang-(j)arang di pulau itu. Maka dinamainya tempat itu (a)Sem (J)arang, Semarang. Â
Sunan Pandanaran I adalah pendiri desa Semarang. Penerusnya adalah anaknya, Pandanarang II atau Sunan Pandaran II.Â
Di bawah kepemimpinan Pandanaran II Semarang tumbuh pesat. Karena itu Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang, kelanjutan Kerajaan Demak, menjadikannya wilayah kabupaten. Itu terjadi pada 2 Mei 1547 -- ditetapkan sebagai hari lahir Semarang.
Dalam perkembangan selanjutnya Pajang ditaklukkan  Mataram tahun 1582. Maka Semarang menjadi wilayah Kerajaan Mataram.
Pada tahun 1678 Amangkurat II dari Mataram menggadaikan Semarang  kepada VOC untuk keperluan pelunasan utangnya. VOC menguasai daerahcitu.
Untuk melindungi aset dan kepentingan ekonominya, VOC membangun benteng kecil di sana. Namanya benteng  de Vijfhoek van Samarang. Dinamai begitu karena punya lima sudut bastion-- masing-masing dinamai Raamsdonk, Bunschoten, Zeeland, Amsterdam, dan Utrecht.Â
Benteng itu berisi kantor dan rumah pejabat dan staf VOC. Penjagaan dilakukan oleh 30-40 orang serdadu.Â
Benteng de Vijfhoek sudah tertera dalam peta Semarang tahun 1695. Kira-kira posisinya di barat laut Kota Lama, tepat di sisi timur Kali Semarang.
Lalu, tutur Mbak Pemandu tadi, pada tahun 1705 Pakubuwono I menyerahkan Semarang kepada VOC. Itu imbalan untuk VOC yang telah membantunya menumpas pemberontakan Trunojoyo (1646-1677) dan merebut kembali Kraton Kartasura.
Periode akhir abad 15 itu sampai 1705, untuk pemahamanku sendiri, kusebut Periode Semarang Mataram.
Selanjutnya Periode Semarang VOC, kusebut saja begitu, tahun 1706-1799. Tahun 1799 adalah tahun pembubaran VOC oleh Pemerintah Belanda.
Periode Semarang VOC adalah masa penegakan perdagangan monopolistik. Untuk meluaskan ruang kegiatan ekonominya, VOC merubuhkan bagian selatan dan timur benteng de Vijfhoek pada pertengahan abad 18.Â
Selanjutnya  VOC membangun tembok kota persegi empat dengan enam bastion. Masing-masing bastion dinamai de Zee, de Smits, Ijzer, Amsterdam, Ceylon, dan de Herstellers.
Struktur kota dan arsitektur bangunan Kota Lama waktu itu dibuat menyerupai kota-kota di Belanda. Karena itu kota dalam tembok itu dijuluki Little Nedherland.
Pembangunan tembok kota itu sekaligus perlindungan terhadap eskalasi "Geger Pecinan" (1740-1743). Itu perlawanan koalisi pasukan Cina dan Jawa terhadap VOC. Pemicunya ulah VOC membantai sekitar 10,000 orang etnis Cina di Batavia.Â
Perang itu merambat ke sepanjang Pantura sampai pedalaman Mataram. Kraton Kartasura, di bawah raja Pakubowono II yang pro-VOC, luluh-lantak karenanya.
Periode Semarang VOC dicatat sejarah sebagai masa pembentukan koloni Belanda di Kota Lama. Kota itu tertutup, dikelilingi kanal air. Pintu masuk utamanya adalah Jembatan Berok di sisi barat kota. Disebut Berok karena lidah orang Jawa susah melafalkan Burg (gerbang).
Seperti telah disinggung, Pemerintah Belanda membubarkan VOC pada 31 Desember 1799. Â Perusahaan dagang monopolistik itu hancur akibat korupsi, kalah saing, utang menumpuk, dan pembiayaan berlebihan untuk perang.
Tahun 1800 dengan demikian menjadi awal Periode Semarang Hindia Belanda. Kota Lama sepenuhnya dikuasai pemerintah Hindia Belanda. Periode ini berlangsung sampai 1942, tahun awal pendudukan Jepang.
Pada periode itu Kota Lama mengalami kemajuan pesat. Kota membuka diri untuk menjadi modern. Ditandai dengan penghancuran tembok kota pada tahun 1824.Â
Sebagai pengingat tembok, jalan-jalan sekeliling Kota Lama dinamai Noorderwalstraat (sekarang Jalan Merak), Oosterwalstraat (sekarang Jalan Cendrawasih), Zuiderwalstraat (sekarang Jalan Kepodang), dan Westerwaalstraat (sekarang Jalan Mpu Tantular).
Dengan terbukanya kota, sejumlah pengusaha Eropa non-Belanda, Arab, dan Cina masuk ke Kota Lama dan sekitarnya. Mereka melakukan investasi bisnis. Sebut misalnya H. Speigel (Austria-Hungaria) yang mendirikan NV Winkel Maatschappij "H Spiegel", sebuah toko pakaian, perlengkapan rumahtangga dan peralatan kantor.Â
Ada Marta Badjunet, pengusaha Arab Yaman. Dia mendirikan perusahaan EMKL Marba (akronim namanya) dan toko barang-barang mewah de Zeikel.Â
Lalu ada Oei Tiong Ham. Dia membangun konglomerasi bisnis Oey Tiong Ham Concern. Bisnisnya mulai dari perdagangan opium hingga bisnis gula dan hasil bumi lainnya. Â Oey Tiong Ham dikenal sebagai Raja Gula, orang terkaya Asia.
Itu untuk menyebut beberapa saja pengusaha non-Belanda.
Investasi paling monumental waktu itu adalah pembangunan jaringan kereta api pertama. Konsesinya dipegang oleh Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij (NIS).Â
Tepat 10 Agustus 1867, kereta api pertama rute Semarang-Tanggung beroperasi. Selanjutnya jalur kereta api itu dibangun hingga mencapai Vorstenlanden, tanah Surakarta dan Yogyakarta.
Tak hanya kereta api antarkota, trem dalam kota Semarang juga dikembangkan. Pemegang konsesinya  Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Trem Semarang untuk pertama kalinya dioperasikan tahun 1883.Â
Stasiun induknya berada di Jurnatan-Purwodinatan. Di sekitar Museum Kota Lama sekarang. Tempat instalasi depo lokonya ditemukan terpendam.
"Silahkan kalau mau foto-foto." Mbak Pemandu menutup tuturannya. "Ah, sudah selesai, ta?" Aku tersentak. Tadi melamun rupanya.
Terdengar musik rada ajeb-ajeb, ngajak goyang, euy. Lampu disko warna-warni kerlap-kerlip lagi. Selfie dan wefie lagi.
Halah!
Sementara aku berdiri tampak bodoh di pojok ruangan. Tak tahu harus ngapain. Istri dan kedua anak kami juga begitu.
"Kita pindah ke ruang display." Mbak Pemandu mengarahkan. Lagi, kami bergerak macam kerbau dicucuk hidung.
Di ruang diplay sudah menunggu seorang Mas Pemandu. Dengan suara empuk macam penyiar TVRI tempo dulu, dia menjelaskan timeline Semarang berpa rangkaian foto berkapsion yang terpampang panjang di dinding.Â
Aku tak terlalu fokus lagi mendengar. Bukan karena tempo bicara Mas Pemandu macam orang buru-buru karena harus mengejar kereta ke Stasiun Tawang. Tapi karena penjelasannya adalah pengulangan sejarah Semarang sejak masa Mataram, VOC, sampai Hindia Belanda.Â
Tadi kisah itu sudah kubabar di atas.
Kunjungan ditutup dengan simulasi naik trem dari Kota Lama menuju Lawang Sewu. Para pengunjung berebut naik ke loko, foto-fotoan, lalu turun lagi. Aku mengamati sambil bertanya-tanya, "Mereka ngapain, ya".
"Sebenarnya pergi ke museum itu untuk apa, sih? Foto-fotoan atau belajar sejarah?" Aku bertanya-tanya lagi sambil mengamati situs instalasi depo trem di bawah teras berlantai kaca. Tampak seperti instalasi bengkel perawatan loko.
Tapi akhirnya ada juga kejutan. Soal alas kaki. Tadi kami lepas dan taruh di rak pintu masuk. Kok ya sekarang rak sepatu itu ada di pintu keluar. Â Kok bisa, ya.
***
Sambil melangkah keluar dari pelataran museum, aku berpikir, apa sih yang bisa dikisahkan pemandu dan diserap pengunjung dalam tempo 30 menit di museum? Â
Terlalu sedikit, juga terlalu sumir informasinya. Hanya garis besar saja.
Itu sebabnya aku merasa bodoh selama 30 menit di Museum Kota Lama. "Rasanya aku kok gak tahu apa-apa, ya." Bagiku, terlalu banyak bolongnya penjelasan Mbak/Mas Pemandu yang cakep itu.
Tapi sekurangnya pengalaman 30 menit bodoh di museum itu membuatku penasaran tentang sejarah Kota Lama Semarang. Lalu aku berselancar di internet untuk melahap tulisan-tulisan tentang Semarang Lama. Itu semua menjadi rujukanku saat menulis artikel ini.Â
Maksudku, aku harus menambal sendiri bolong-bolong informasi sejarah Kota Lama yang dikisahkan Mbak/Mas Pemandu di museum.
Selain juga menjelajah langsung sudut-sudut kita lama. Untuk lebih memahami masa lalu kota itu. Nanti kutulis tentang ini kalau sempat.
Tapi di atas itu semua, aku sebenarnya punya harapan yang tak terpenuhi di Museum Kota Lama Semarang.
Pertama, aku berharap ada wisata virtual jelajah Kota Lama, lengkap dengan penjelasan tentang gang, jalan, dan gedung-gedungnya.
Kedua, aku berharap mendapat oleh-oleh dari museum berupa lembar cetak timeline dan peta Kota Lama Semarang sejak periode Mataram, VOC, sampai Hindia Belanda. Kalapun harus beli, tak masalah.
Apakah harapanku berlebihan? (eFTe)
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H