Terdengar musik rada ajeb-ajeb, ngajak goyang, euy. Lampu disko warna-warni kerlap-kerlip lagi. Selfie dan wefie lagi.
Halah!
Sementara aku berdiri tampak bodoh di pojok ruangan. Tak tahu harus ngapain. Istri dan kedua anak kami juga begitu.
"Kita pindah ke ruang display." Mbak Pemandu mengarahkan. Lagi, kami bergerak macam kerbau dicucuk hidung.
Di ruang diplay sudah menunggu seorang Mas Pemandu. Dengan suara empuk macam penyiar TVRI tempo dulu, dia menjelaskan timeline Semarang berpa rangkaian foto berkapsion yang terpampang panjang di dinding.Â
Aku tak terlalu fokus lagi mendengar. Bukan karena tempo bicara Mas Pemandu macam orang buru-buru karena harus mengejar kereta ke Stasiun Tawang. Tapi karena penjelasannya adalah pengulangan sejarah Semarang sejak masa Mataram, VOC, sampai Hindia Belanda.Â
Tadi kisah itu sudah kubabar di atas.
Kunjungan ditutup dengan simulasi naik trem dari Kota Lama menuju Lawang Sewu. Para pengunjung berebut naik ke loko, foto-fotoan, lalu turun lagi. Aku mengamati sambil bertanya-tanya, "Mereka ngapain, ya".
"Sebenarnya pergi ke museum itu untuk apa, sih? Foto-fotoan atau belajar sejarah?" Aku bertanya-tanya lagi sambil mengamati situs instalasi depo trem di bawah teras berlantai kaca. Tampak seperti instalasi bengkel perawatan loko.
Tapi akhirnya ada juga kejutan. Soal alas kaki. Tadi kami lepas dan taruh di rak pintu masuk. Kok ya sekarang rak sepatu itu ada di pintu keluar. Â Kok bisa, ya.
***