Aku berhipotesis bahwa agroekologi jalur kereta api Banyubiru adalah lahan kering. Hipotesisku tak meleset. Areal persawahan hanya terlihat saat melintasi ujung barat Karanganyar dan Demak. Kemungkinan sawah tadah hujan.
Selebihnya, saujana agroekologi didominasi lahan kering dengan topografi bergelombang. Vegetasi didominasi tegakan hutan jati dan sengon. Lalu tanaman semusim jagung dan hortikultura pisang. Aku menduga juga tanaman kacang hijau.Â
Terkait kelangkaan sawah di sepanjang koridor rel, aku sempat bertanya-tanya tentang manfaat waduk Kedungombo. Bukankah waduk yang  dioperasikan sejak 1991 ini dibangun di perbatasan Grobogan, Boyolali, dan Sragen? Setelah mencari data, ketahuan waduk Kedungombo hanya mengairi 60,ooo ha di daerah hilirnya. Tepatnya di Grobogan, Demak, Kudus, Pati, dan Jepara. Grobogan dan Sragen hanya menjadi sumber air irigasi saja.
Dengan kondisi agroekologis semacam itu, dapat diduga tingkat kemiskinan di Karanganyar, Sragen, Grobogan, dan Demak tergolong tinggi. Terutama di daerah pedesaan. Â Data BPS tahun 2022 menunjukkan jumlah penduduk miskin di empat kabupaten itu melampaui 10 persen. Walau tak termasuk kedalam kelompok lima kabupaten termiskin di Jawa Tengah.
Tiga kali berhenti di tiga stasiun antara, jumlah penumpang di gerbong kami tidak berkurang, juga tak bertambah. Semua penumpang tujuan akhir Semarang.Â
"Kalau lowong terus begini, apakah KAI tidak merugi?" pikirku. Tapi pengoperasian Banyubiru tentulah didasarkan pada analisis kelayakan bisnis. Barangkali pada hari-hari Jumat, Sabtu, dan Minggu jumlah penumpang di jalur ini lumayan besar.