Pada hari kedua saya berada di sana, waktu itu masih menginap di RM Jawa Timur Wolowaru, mitra lokalku mengajak lapor dulu ke Pak Camat. Â Sambil saya membawa travel bag lumayan besar, kami berjalan jaki ke Kantor Camat. Â
"Itu tas tinggal di pinggir jalan saja, sudah," kata mitraku saat akan masuk ke Kantor Camat.
"Janganlah." Aku menolak. Dalam pikiranku sebagai orang Jakarta, bisa lenyapkah tasku digondol orang.
"Biar sudah. Tinggal saja. Aman." Mitraku meyakinkan. Entah apa motifnya.
Percaya pada mitra kerja, tas kutinggal begitu saja tergeletak di pinggir jalan aspal.
Kami berbincang dengan staf Pak Camat, karena camat sedang pergi, mungkin sekitar satu jam. Â Saya betul-betul lupa dengan tasku waktu itu.
Baru setelah keluar dari kantor, saya teringat lagi akan tas itu. Saat kupandang ke arah jalan, ternyata tas itu masih utuh teronggok di sana. Sedikitpun tak berubah posisinya.
Fakta itu membuatku takjub. Lalu sebagai peneliti sosial mencoba menafsir maknanya. Rupanya sekalipun miskin, pantang bagi orang Ende, atau orang NTT umumnya, mengambil barang yang bukan haknya.
Saya mendadak merasa malu karena telah mengenakan mengenakan keranfka pikir orang Jakarta terhadap orang Ende. Â di Jakarta tak usah menunggu satu jam. Satu menit saja lalai, tas bisa melayang.Â
Kejujuran orang Ende itulah pelajaran pertama  yang saya dapatkan pada hari kedua berada langsung  di tengah masyarakat tersebut.
***