Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiktoker Richard Theodore dan Kejujuran Orang NTT

17 Juni 2023   07:05 Diperbarui: 18 Juni 2023   07:12 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Richard Theodore (kiri), seleb TikTok yang viral usai sebut orang NTT tidak jujur, dan Azman Ali, pewarung NTT "obyek" konten Tiktok Richard. (TikTok.com/@donnyrapu via jatimnetwork.com) 

Tiktoker lagi, viral lagi. Tak bisakah kita menghindari keriuhan murahan yang menyakiti sesama?

Ini tentang ulah tiktoker Richard Theodore, CEO Summer Minibar (bisnis mamin, 80 outlet),  yang secara subyektif, sepihak dan serampangan, telah menyimpulkan orang NTT tidak jujur.

Ceritanya secara ringkas, berdasar video Tiktok Richard, begini.

Richard, yang juga pemilik bisnis Sambal Bakar Indonesia,  dan temannya sedang di Pelabuhan Tobilota, Pulau Adonara, hendak naik kapal menyeberang ke pulau lain.  Di darmaga, tiba-tiba dia ingat ponselnya tertinggal di warung Pak Azman Ali, masih sekitaran pelabuhan. Lalu bersama temannya, dia bersiap  kembali ke warung tadi. 

"Kalau gak jujur kita gebukin. Kita lihat orang NTT jujur apa nggak " kata Richard. 

"Tes kejujuran, nih. Kita lihat apakah bapaknya jujur atau tidak." Temannya menegaskan.

"Lima menit dari sekarang, ya." Richard menimpali.

Selang lima menit, mereka bergegas kembali ke warung. Richard langsung masuk dan menemukan ponselnya terbungkus plastik di atas toples.

"Wah, ketinggalan. Kenapa tidak panggil kami?" tanya Richard sambil meraih ponselnya.

"Sudah jauh. Mesti naik motor. Saya kemas, toh," jawab Pak Azman.

"O ya, udah," balas Richard sambil berbalik, tanpa mengucapkan terimakasih.

"Karena bapak jujur, ini ada  rejeki untuk bapak," kata teman Richard sambil mengangsurkan selembar uang.

"Eh, tidak usah. Janganlah." Pak Azman menolak pemberian uang itu. 

Berdasar kronologi di atas, Richard menyimpulkan Pak Azman tidak tulus, tidak seratus persen jujur. Menurutnya, kalau Pak Azman tulus dan jujur, harusnya dia mengingatkan Richard, bahwa ponselnya tertinggal.

Nanti akan saya bahas apakah kesimpulan Richard logis dan etis atau tidak. 

Satu hal yang pasti, tersebab konten Tiktok itu, Richard telah menjadi sasaran kecaman dan kemarahan warga dan tokoh-tokoh NTT, karena dinilai menghina orang NTT dengan mengatainya tak jujur.

Saya tak hendak mereviu semua kata dan kalimat kecaman dan kemarahan rekan-rekan kita di NTT kepada Richard. Tapi luapan ketersinggungan dan kemarahan komedia Arie Kriting mungkin cukup mewakili.

Kata Arie,  lewat akun Tiktoknya, "Buat anak-anak orang kaya yang pergi tes-tes kejujuran di NTT, saya mau bilang kamu **jing. ... Kamu ada hak apa untuk tes-tes orang punya kejujuran di sana. Dan kamu ada hak apa bilang seorang bapak di NTT itu tidak jujur. Dia kasih kembali kau punya barang, kok. Cuma kau saja yang tidak tahu terima kasih. Daripada kau jauh-jauh bawa uang ke sana, sok-sok mau bakti sosial tapi kau injak-injak harga diri, mending kau pakai anggaran untuk tes kejujuran kau punya bapak sendiri."

Saya akan coba tunjukkan kesimpulan Richard bahwa "orang NTT tidak jujur" itu tidak saja tak logis atau cacat logika tapi juga tak etis. Tapi sebelum ke situ, saya ingin cerita sedikit pengalaman pribadi soal kejujuran orang NTT.  

***

Untuk keperluan riset kemiskinan, pada tahun 1990 saya pergi dan tinggal selama sebulan di Desa Wonda, Kecamatan Wolowaru, Ende. 

Pada hari kedua saya berada di sana, waktu itu masih menginap di RM Jawa Timur Wolowaru, mitra lokalku mengajak lapor dulu ke Pak Camat.  Sambil saya membawa travel bag lumayan besar, kami berjalan jaki ke Kantor Camat.  

"Itu tas tinggal di pinggir jalan saja, sudah," kata mitraku saat akan masuk ke Kantor Camat.

"Janganlah." Aku menolak. Dalam pikiranku sebagai orang Jakarta, bisa lenyapkah tasku digondol orang.

"Biar sudah. Tinggal saja. Aman." Mitraku meyakinkan. Entah apa motifnya.

Percaya pada mitra kerja, tas kutinggal begitu saja tergeletak di pinggir jalan aspal.

Kami berbincang dengan staf Pak Camat, karena camat sedang pergi, mungkin sekitar satu jam.  Saya betul-betul lupa dengan tasku waktu itu.

Baru setelah keluar dari kantor, saya teringat lagi akan tas itu. Saat kupandang ke arah jalan, ternyata tas itu masih utuh teronggok di sana. Sedikitpun tak berubah posisinya.

Fakta itu membuatku takjub. Lalu sebagai peneliti sosial mencoba menafsir maknanya. Rupanya sekalipun miskin, pantang bagi orang Ende, atau orang NTT umumnya, mengambil barang yang bukan haknya.

Saya mendadak merasa malu karena telah mengenakan mengenakan keranfka pikir orang Jakarta terhadap orang Ende.  di Jakarta tak usah menunggu satu jam. Satu menit saja lalai, tas bisa melayang. 

Kejujuran orang Ende itulah pelajaran pertama  yang saya dapatkan pada hari kedua berada langsung  di tengah masyarakat tersebut.

***

Mengapa Richard dan saya tiba pada kesimpulan yang bertolak-belakang tentang kejujuran orang NTT?

Jawabnya karena pengalamanku bersifat genuine, apa adanya, sedangkan pengalaman Richard bersifat rekayasa. Dia telah secara sengaja berencana mengetes kejujuran orang NTT.

Fakta-fakta yang teramati dalam video Tiktok Richard memberi indikasi kuat tentang rencana tes kejujuran itu.

Pertama, dengan mengatakan "Kita lihat orang NTT jujur apa nggak" Richard telah membuat hipotesa bahwa "Orang NTT tidak jujur".  Itu predisposisi Richard.

Kedua, Richard secara sengaja mengulur waktu lima menit sebelum pergi kembalu ke warung untuk mencari ponselnya. Dia tahu persis ponselnya tertinggal, atau mungkin sengaja ditinggal, di warung Pak Azman. 

Karena itu Richard tak mencari ponsel yang hilang karena tertinggal. Tapi hendak menguji kejujuran orang NTT, diwakili Pak Azman, pada kasus penemuan "barang tanpa tuan."

Ketiga, saat tiba di warung Richard langsung mengambil ponsel yang diklaimnya tertinggal, tanpa menanyakan keberadaan ponselnya  lebih dulu kepada Pak Azman. Alih-alih, dia menggugat Pak Azman dengan bertanya  "Kenapa tidak panggil kami?" 

Dengan bertanya seperti itu, Richard telah memaksakan hipotesisnya terbukti, sesuai dengan predisposinya. Dia tak perduli jawaban Pak Azman yang memilih menyimpan (mengemas) ponsel itu karena tak punya motor untuk mengejar Richard ke pelabuhan.

Richard malahan berburuk sangka dengan mengatakan Pak Azman pasti akan menjual ponsel itu setelah dia danbtemannya pergi menyeberang. Ini predisposisi Richard lagi tentang  ketakjujuran orang NTT.

Tiga indikasi di atas jelas menunjukkan kesesatan logika Richard dalam aksi tes kejujuran orang NTT.  Saya jelaskan di bawah ini.

Pertama, pembuktian karakter sosial suatu kelompok etnis tidak bisa hanya berdasar satu kasus tunggal (ponsel tertinggal atau ditinggal) yang melibatkan hanya satu individu anggota kelompok etnis itu. 

Richard sesat logika karena menyimpulkan sebuah gejala sosial -- yaitu orang NTT tidak jujur -- secara pars prototo, fakta individual menjadi fakta umum. Artinya, kalau Richard menemukan seorang individu NTT tidak jujur, maka berarti semua orang NTT tidak jujur (ad ignorantum). Kesimpulan semacam itu disebut kesimpulan berlebihan (hasty generalization), sehingga tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara logika. 

Kedua, Richard sudah punya predisposisi dalam bentuk hipotesis  bahwa orang NTT tidak jujur.  Untuk membuktikan hipotesis itu dia kemudian merekayasa kasus tunggal "ponsel tertinggal di warung".  

Perhatikan dia tak perduli pada penjelasan Pak Azman. Dia, dengan kekusaannya sebagai tiktoker influencer,  justru memaksakan kesimpulannya sendiri dengan argumen tanpa dasar. 

Dengan kata lain, Richard secara sengaja dan terencana telah membuat kesimpulan yang cacat dan, karena itu, tidak logis. Justru sebaliknya, Richardlah yang telah berlakon tak jujur, bukan Pak Azman atau orang NTT.

Sudah tak logis, tak etis pula, seperti akan saya jelaskan selanjutnya.

***

Jika warga NTT merasa terhina lalu marah karena kesimpulan Richard, maka itu indikasi kesimpulan tersebut tidak etis sehingga melukai perasaan etnisitas mereka. Kesimpulan serampangan Richard dinilai menista etnis-etnis lokal di NTT karena secara eksplisit dia menyebut "orang NTT". Itu artinya semua kelompok etnis di sana.

Para pengecam Richard menuduh dia rasis, merendahkan etnik-etnik NTT, dan tuduhan itu tidak keliru. Richard memang telah mengabaikan etika sosial saat membuat dan menyiarkan konten Tiktoknya.

Pada tingkat pertama, Richard telah menistakan Pak Azman karena mengesampingkan dan bahkan menolak penjelasan Pak Azman tentang duduk perkara ponsel tertinggal itu. Richard justru berasumsi sendiri, memaksakan pikiran sendiri,  lalu menyimpulkan dan menuduh Pak Azman tidak jujur. 

Menurut Richard, kalau Pak Azman jujur, maka harysnya dia memanggilnya dan memberitahu henponnya tertinggal. Itu ukuran kejujuran pribadi yang dipaksakan Richard kepada Pak Azman. Sikap etnosentris namanya itu. Sangat bias dan menghakimi.

Seluruh dunia kemudian menerima informasi fitnah, karena sepihak dan invalid, tentang Pak Azman, seorang lelaki tua pewarung yang takjujur. Bisa dibayangkan rasa sakit dan terhinanya Pak Azman. Karakternya dibunuh secara semena-mena oleh seorang lelaki muda yang tak dikenalnya. Dia kehilangan harga diri di hadapan anggota keluarga, tetangga, dan teman-temannya. 

Pada tingkat kedua, karena Richard menyebut frasa "orang NTT", maka kesimpulannya juga bermakna hinaan untuk etnis-etnis NTT. Seluruh dunia kini disuguhi informasi fitnah bahwa "orang NTT tidak jujur".  Akibatnya sangat mungkin khalayak pengakses konten Tiktok Richard akan punya persepsi buruk atau negatif tentang karakter sosial orang NTT umumnya.

Richard memang sudah meminta maaf, lewat video Tiktok juga, kepada warga NTT atas kesimpulan yang merendahkan orang NTT itu. Dia mengakui kontennya itu sepenuhnya merupakan kesalahannya sendiri. Implisit dia mengakui unsur kesengahaan dan rekayasa dalam konten Tiktoknya. 

Tapi permintaan maaf tak pernah bisa membayar lunas kesakitan psikologis dan sosiologis yang telah dialami Pak Azman dan orang NTT  akibat penyiaran simpulan Richard yang tidak logis dan tidak etis itu. Sangat mungkin dia harus "membayarnya" dengan "cara lain".

***

Orang Batak punya petitih "Jolo nidilat bibir asa nidok hata". Artinya, "Jilat bibir dulu sebelum mengujarkan lisan." Itu semakna dengan pepatah  umum "Mulutmu harimaumu." Atau "Pikir dahulu pendapatan sesal kemudian tiada guna."

Richard pasti tahu pepatah itu. Tapi sengaja atau tidak, jelas dia telah mengabaikannya. Karena itu maka ada risiko yang mesti ditanggungnya.

Konten Tiktok Richard itu lazim disebut sebagai eksperimen sosial. Konten semacam itu banyak ditemukan di kanal-kanal Tiktok dan Youtube. Sebagian menghibur karena "korban" kemudian diberi penjelasan. Tapi sebagian, dan ini banyak,  bikin miris dan marah karena secara sengaja menggiring penonton pada kesimpulan negatif tentang "korban".  Konten Tiktok Richard itu termasuk  henis terakhir ini.

Eksperimen sosial semacam itu sebenarnya lazim dalam dunia sains. Peneliti pedagogi, psikologi, dan sosiologi lazim melakukannya sebagai salah satu metode riset. Tapi pelaksanaannya dipandu oleh kaidah-kaidah logika dan etika secara ketat. Agar eksperimen itu tidak sampai cacat logika dan menabrak etika sosial. Sebab hal itu akan menyakiti dan merugikan individu-individu obyek eksperimen.

Saya menemukan banyak konten eksperimen sosial Tiktok dan Youtube yang mengabaikan logika dan etika. Atau boleh dibilang miskin logika dan etika. Sehingga kerap berdampak negatif, menyakiti pihak-pihak yang menjadi "obyek" konten itu.

Barangkali pencipta konten seperti Richard itu terlalu dikuasai ayat media sosial "more immoral, more viral, more money, more honey." (Baca artikel saya: "Ayat Media Sosial: More Immoral, More Viral, More Money, More Honey", K.30.01.2023). Kesakitan dan kepahitan yang diderita "obyek" konten media sosial yang taklogis dan taketis, adalah uang dan madu manis bagi para pencipta konten.

Tapi tolonglah, buka pintu nurani. Atau apakah dunia medsos sudah sedemikian dekadennya, sehingga tak bisa lagi berhenti menyakiti sesama demi uang dan madu? (eFTe)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun